Pernah suatu ketika saat saya melakukan survei ke salah satu desa yang akan dijadikan Kampung Moderasi Beragama. Salah satu desa yang memang unik jika dibandingkan dengan desa lain yang ada di wilayah Kecamatan Banjarwangi Kabupaten Garut. Desa tersebut adalah Desa Dangiang.
Di sana ada salah satu situs peninggalan leluhur Desa tersebut. Ketika survei saya diantar oleh salah satu Penyuluh Agama Honorer Desa Dangiang Ustadz Abung, di perjalanan singgah dulu ke Joglo (tempat penyimpanan pusaka leluhur). Di sana saya mengambil beberapa foto joglo sebagai bentuk laporan dalam proposal yang akan dijadikan kampung moderasi beragama.
Selain foto bangunan saya mencoba berswafoto di depan bangunan joglo tersebut dan ternyata hasilnya blur, kemudian saya berswafoto yang ke dua kali ternyata hasilnya masih sama alias blur lagi. Saya pun merasa heran kenapa hal itu bisa terjadi. Antara percaya atau tidak, mungkinkah itu dipengaruhi oleh hal mistik? Untuk mendapatkan jawaban itu, akhirnya saya pergi ke juru adat di desa tersebut.
Juru adat Desa Dagiang adalah seorang tokoh agama dan tokoh masyarakat H. Entang Fauzi. Ketika sudah sampai di rumahnya saya bercerita tentang hal yang dialami tadi ketika berfoto di joglo. Beliau menuturkan dengan bahasa guyon, “mungkin bapak enga permisi dulu”, pungkasnya. Ya, ibarat kita masuk ke rumah orang tentunya harus ada tatakrama, salah satunya meminta Izin.
Akhirnya, saya mengulang swafoto di Joglo tersebut ditemani oleh juru adat, dan ternyata hasilnya jelas. Aneh memang, tapi nyata. Saya menjadi teringat sebuah pepatah yang mengatakan “di mana bumi dipijak, di situ langit dijungjung.” Sepatutnya kita harus menghormati adat istiadat budaya lokal yang berlaku di suatu daerah.
Berbicara adat istiadat/budaya dalam pandangan agama memang masih menjadi perdebatan. Namun di balik hal itu agama dan adat istiadat adalah dua hal yang saling berhubungan, saling berinterkasi. Agama memberikan warana (spirit) kepada kebudayaan sedangkan kebudayaan memberikan kekayaan terhadap agama. Budaya juga merupakan ekspresi cipta, karya dan karsa manusia yang mengandung nilai religiusitas, filosofis dan kearifan lokal. Tokoh terkenal Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pencetus gagasan Pribumisasi Islam mengatakan bahwa antara agama dan budaya memiliki independensi sendiri dan akan terus mengalami tumpang tindih.
Dalam pandangan moderasi beragama, penghormatan/penerimaan terhadap budaya lokal merupakan salah satu pilar yang dapat menopang kokohnya moderasi beragama. Salah satu contoh nyata adalah ketika pelaksanaan ritual adat Ngalungsur Geni (memandikan benda pusaka leluhur) yang dilaksanakan setiap satu tahun sekali pada tanggal 14 Rabiul Awal.
Ritual diawali dengan Ngalirap yaitu membersihkan makam leluhur, jalan dan masjid. Pada pelaksanaannya masyarakat berbondong-bondong mengikuti upacara adat tersebut. Ritual diawali dengan Tawasulan dan berdoa bersama kepada Allah SWT meminta rahmat dan ampunan untuk para leluhur Desa. Selain upacara Ngalungsur Geni ada juga upacara adat Ngampih Pare yang dilaksanakan ketika akan panen dan sesudah panen sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT.
Perayaan adat lokal terbukti dapat menyatukan seluruh lapisan masyarakat, aparatur pemerintah dan pihak terkait. Menghilangkan egosentris yang mungkin dimilki oleh setiap orang/ golongan. Dalam kacamata moderasi hal itu sangat penting karena hakikatnya moderasi beragama bertujuan untuk melahirkan sikap toleransi, saling menghargai walaupun berbeda paham ataupun golongan.
Namun dalam pelaksanaannya ada kekhawatiran yang dirasakan oleh juru adat Desa Dangiang yang merasa perlu untuk melakukan regenerasi adat/ budaya lokal agar tidak tergerus oleh perkembangan jaman dan mungkin akan dilupakan oleh generasi yang akan datang. Hal serupa yang saya khawatirkan melihat fenomena yang terjadi di tengah generasi muda yang merasa lebih bangga dengan adat/ kebiasaan orang barat dan lemahnya pemahaman moderasi beragama.
Sebagai langkah konkret yang dilakukan adalah membuat sekolah adat yang bertujuan untuk melestarikan adat istiadat/ budaya yang diikuti oleh berbagai kalangan dari muda-mudi, ormas, masyarakat umum. Sekolah adat ini diharapakan mampu memotivasi generasi muda untuk terus merawat dan melestarikan adat istiadat yang ada.
Ibarat peribahasa “sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui”, sekali melakukan pekerjaan, mendapatkan beberapa hasil sekaligus. Begitupun sekolah adat yang dilaksanakan di Desa Dangiang ini dapat dikolaborasikan dengan program penguatan moderasi beragama. Kolaborasi yang memang diharapkan, di satu sisi sebagai upaya dalam pelestarian budaya lokal dan di sisi lain sebagai wadah untuk memperkuat pemahaman dan implementasi nilai moderasi beragama.
Berkaca dari Wali Songo yang menggunakan pendekatan kebudayaan dalam menyebarkan agama Islam, maka tentunya penguatan moderasi beragama dengan pendekatan budaya lokal akan lebih mudah diterima oleh masyarakat.
*Atep Danial, Penyuluh Agama Fungsional Kabupaten Garut