Dari waktu ke waktu, menarik mengamati dinamika perkembangan tata busana masyarakat Arab Saudi dan persepsi atau pandangan mereka terhadap busana itu.
Masyarakat Indonesia yang tak familiar dengan seluk-beluk sejarah dan peta geo-kultural masyarakat Saudi mungkin menganggap warga Saudi menggunakan busana seragam. Yakni, pria mengenakan gamis/jubah warna putih (lengkap dengan kain penutup kepala), sementara perempuan memakai abaya (semacam jilbab), hijab, dan cadar yang serba hitam.
Busana itu, oleh umat Islam Indonesia umumnya, dianggap atau dipersepsikan sebagai “busana Muslim/Muslimah.”
Seperti negara lain, masyarakat Saudi juga sangat kompleks. Mereka bukan kelompok monolitik yang memiliki sikap, pandangan, dan praktik seragam. Tradisi dan budaya mereka beraneka ragam. Sejarahnya sangat berliku. Setiap daerah dan kelompok suku punya ciri khas pakaian masing-masing. Gamis putih dan abaya hitam bukan satu-satunya jenis pakaian yang mereka kenakan.
Meskipun sama-sama etnis Arab, mereka dari berbagai suku, klan, dan fam yang berlainan. Arab Saudi setidaknya dibagi menjadi enam wilayah geo-kultural, masing-masing penduduknya mengembangkan bentuk tradisi dan kebudayaan sendiri (termasuk tata busana) sesuai karakter alam, lingkungan, struktur sosial, tingkat pluralitas penduduk, profesi warga, dan sejarah masyarakat lokal.
Keenam kawasan geo-kultural itu: (1) Najd di bagian tengah (termasuk Riyadh, Qassim, Ha’il), (2) Hijaz di bagian barat (termasuk Jedah, Mekah, Madinah, Tabuk), (3) Arabia Barat Daya (tepi Laut Merah termasuk Asir, Baha, Jazan), (4) Arabia Utara (termasuk Jauf), (5) Najran di Arabia Selatan yang berbatasan dengan Yaman, (6) Arabia Timur di tepi Teluk Arab (meliputi Hassa, Qatif, Khobar, Dhahran, dan lainnya).
Model busana masyarakat Hijaz, dalam sejarahnya, sangat modern dan stylish. Hal itu bisa dimaklumi karena Hijaz kawasan kosmopolitan dan multikultural. Sudah sejak lama Hijaz jadi pusat niaga internasional dan perjumpaan berbagai warga dunia. Gaya berpakaian masyarakat di Arabia Timur juga tergolong modern (sebagian, ke-Barat-Barat-an) karena disinilah pusat industri, khususnya bidang migas, sehingga banyak kaum ekspatriat, termasuk negara-negara Barat.
Daerah Arabia Selatan, Utara, dan Barat Daya terkenal kuat dalam memegang tradisi berbusana lokal (tradisional/daerah), khususnya kaum pria. Kaum lelaki di Najran, sehari-sehari masih mengenakan wizra (futah), semacam kain sarung yang dilipatkan di pinggang kemudian diikat dengan sabuk. Wizra dan izar (kain seperti dikenakan saat ibadah haji dan umrah) adalah dua jenis pakaian Arab pra-Islam yang masih eksis hingga kini.
Peran sentral Wahabi Najd
Di antara enam kawasan geo-kultural itu, Najd (Arabia Tengah), dalam sejarahnya, dikenal berkultur militan-konservatif dalam hal ekspresi keagamaan dan kebudayaan (termasuk berpakaian). Meskipun begitu, kini Najd juga sudah banyak mengalami perubahan fundamental dan dramatis.
Dulu, militansi dan konservatisme Najd itu bisa dimaklumi karena di sinilah tempat gerakan Wahabi pertama kali muncul, dipimpin seorang teolog-reformis, Muhammad bin Abdul Wahhab (1703-92). Di kawasan ini pula, Muhammad Al Saud (1710-1765) mendirikan pusat kerajaan Arab Saudi pertama (tepatnya di Diriyah, tempat kelahirannya) di abad 18.
Jika “Wahabi” diambil dari nama Muhammad bin Abdul Wahhab at-Tamimi, maka nama “Saudi” diambil dari nama ayah Muhammad Al Saud, yaitu Saud bin Muhammad Al-Muqrin, kala itu Amir Diriyah.
Kelak, jaringan politisi, birokrat, sarjana, dan aktivis agama kelompok Wahabi Najd inilah yang membuat aturan etika berbusana dan menyeragamkan model berpakaian masyarakat di seluruh wilayah Saudi.
Puncaknya, awal 1980-an ketika kelompok/faksi Islam garis keras atau sayap militan dan ultrakonservatif diberi otoritas penuh oleh Raja Khalid di panggung kekuasaan dan keagamaan, mereka bergerak cepat membuat berbagai peraturan dan norma berpakaian bagi masyarakat yang tinggal di seantero Arab Saudi, baik warga setempat maupun pendatang (kaum ekspat/migran).
Sejak itulah kaum perempuan, jika di tempat umum, diharuskan memakai abaya, hijab, dan cadar berwarna hitam, yang menurut mereka dianggap sebagai warna yang paling mendekati diktum atau petunjuk dalam syariat Islam (yaitu kesederhanaan, di samping fungsi menutup aurat). Melanggar aturan ini, kena sanksi berat, termasuk dicambuk. Dampaknya, toko-toko yang menjual abaya pun akhirnya harus menjajakan abaya hitam.
Aturan serba ketat, kaku, dan rigid dalam berbusana ini berlangsung hampir 40 tahun sebelum kelompok militan agama ini dipreteli peran sosial-keagamaan mereka dari struktur kekuasaan dan pemerintahan. Institusi “Polisi Syariat” (mutawwa) yang puluhan tahun menjadi “penjaga moral” masyarakat juga sudah dibekukan.
Sebelum dilikuidasi, merekalah yang selama ini patroli di tempat-tempat umum guna mengecek ada tidaknya perempuan yang tak ber-abaya (atau berhijab) atau yang berkumpul laki-perempuan.
Sebelum era 1980-an, perempuan Saudi, khususnya yang berada di luar kawasan Najd, cukup leluasa dalam hal berbusana, tak harus mengenakan pakaian serba hitam. Bahkan tradisi busana masyarakat urban di kawasan Hijaz sebelum ditaklukkan keluarga Al Saud pada 1930-an sangat dipengaruhi gaya berbusana Turki Usmani (Ottoman) yang dulu sempat menguasai kawasan ini.
Meski ada perempuan yang memakai pakaian serba hitam, itu atas prakarsa atau kesadaran mereka sendiri, bukan karena paksaan, kewajiban, dan aturan pemerintah. Mereka juga leluasa memakai pakaian tradisional suku/daerah masing-masing yang sangat warna-warni dan penuh dengan asesoris.
Bahkan, seperti ditulis dalam berbagai kajian etnografi dan kesejarahan masyarakat Saudi tempo dulu (misalnya oleh Mai Yamani, Heather Ross, atau Amir Al-Sudairi) kaum perempuan kota, kelas menengah dan pedesaan berbasis pertanian tak pakai cadar di ruang publik. Hanya perempuan Arab Badui (Bedouin) saja yang dalam sejarahnya selalu pakai cadar karena mereka kelompok pastoralis-nomad yang pola hidupnya selalu berpindah-pindah untuk mencari sumber air dan makanan. Bagi mereka, cadar sangat berguna untuk melindungi wajah dari terik matahari dan debu padang pasir.
Fungsi cadar bagi perempuan Arab Badui ini kurang lebih sama dengan kaum lelaki Tuareg, salah satu kelompok etnik Berber. Fungsi kain cadar di sini bukan hanya untuk melindungi muka dari debu padang pasir saat menggembalakan ternak atau berburu, tetapi juga dari roh jahat (evil spirit).
Nah, leluhur masyarakat Arab Najd itu adalah kaum Badui, karenanya wajar mereka membawa serta tradisi berpakaian leluhur mereka, termasuk tradisi bercadar tadi.
Perkembangan masa kini
Sejak beberapa tahun terakhir, telah terjadi perubahan besar-besaran dalam dunia tata busana masyarakat Arab Saudi, pria maupun wanita. Seiring dengan kebijakan moderasi beragama dan berbudaya yang digaungkan pemerintah, Arab Saudi kini sedang menikmati kembali fleksibilitas berpakaian seperti tempo dulu. Tentu saja masih dalam koridor norma kepantasan dan kesopanan.
Pria Saudi kini semakin banyak yang mengenakan celana jeans, baju, kaos, jas, kolor, dlsb. Gamis banyak dipakai untuk acara-acara resmi (di kantor, resepsi pernikahan, wisuda, dlsb). Kaum perempuan, kalau di ruang publik, tak lagi takut ditangkap Polisi Syariat kalau tak berhijab atau tak mengenakan abaya. Abaya yang dijual di toko-toko atau butik pun tidak lagi didominasi warna hitam tapi sudah warna-warni.
Yang menarik, berbagai event peragaan busana (fashion show) bagi perempuan juga digelar dengan menghadirkan top model dari luar negeri. Pula, pameran busana tradisional/ daerah sering diselenggarakan untuk melestarikan eksistensinya.
Fenomena ini cukup kontras dengan apa yang terjadi di Indonesia saat ini. Di saat Saudi sedang memoderasi, memfleksibelkan, dan meluweskan budaya berbusana serta berupaya menghidupkan kembali pakaian daerah/tradisional agar tak punah, sebagian kelompok Islam kita malah gencar mengkampanyekan apa yang mereka klaim sebagai “busana islami/ syar’i” seraya mentabukan dan mengafirkan busana daerah/tradisional atau pakaian adat warisan para lehuhur Nusantara. Sungguh disayangkan!