Menjelang peringatan Hari Santri 2025, dunia pesantren Indonesia dirundung duka. Belum tuntas air mata ini diusap karena tragedi Pesantren al-Khoziny, kini santri pun harus mengelus dada melihat dunia pesantren ‘di-bully’ di Trans7. Banyak tokoh yang marah dengan narasi yang tak berimbang tersebut. Saya pun tak sepakat dengan caranya memotret kehidupan santri.
Memang kehidupan di pesantren tidak sempurna. Banyak tokoh pesantren yang juga serius mengkritik budaya negatif di pesantren, seperti perundungan, kekerasan fisik maupun seksual, hingga lingkungan yang aman dan sehat. Justru dengan memahami kelemahan internal itu, pesantren dapat terus bertumbuh.
Namun, di tengah kegeraman banyak kalangan dengan media nasional tersebut, saya memilih jalan lain untuk berefleksi: mengapa ini bisa terjadi. Saat ini, yang tampak di permukaan adalah konfrontasi antara kelompok ‘santri’ dan ‘abangan’. Satu framework peninggalan penjajahan yang sayangnya masih diwarisi hingga kini.
Perdebatan seputar pesantren membawa kita pada dua kelompok utama: tradisionalis dan modernis. Keduanya mempunyai basis massa masing-masing. Hal ini mengingatkan saya pula, beberapa waktu lalu di kelas perkuliahan, saya mengajak mahasiswa untuk mendiskusikan buku “What is Religious Authority” karya Ismail Fajrie Alatas.
Salah satu poin utama dari karya tersebut adalah melihat sunnah dan jamaah dalam kerja artikulasi. Maknanya bahwa sunnah Nabi tidak dapat dipisahkan dari kerja merangkai jamaah. Ini bukan lagi soal klaim mana yang lebih sunnah, pakai qunut atau tidak, tetapi bagaimana kedua praktik tersebut diartikulasikan dalam kerja sosial yang membentuk jamaah.
Di antara rangkaian sunnah dan jamaah itu ada konektor atau penghubung—yang dalam hal ini adalah ulama, kiai, ustaz, bahkan pedagang dalam konteks dakwah awal di Nusantara. Konektor ini lantas membuat otoritas keilmuan yang ditentukan oleh seberapa kuat jamaah yang dibangun dalam satu komunitas.
Kerja artikulasi ini menjadi berhasil ketika dapat mewujudkan hubungan hierarkis yang bertahan lama. Pesantren telah membuktikan bagaimana sunnah, konektor dan jamaah membentuk masyarakat Islam di Nusantara jauh sebelum negeri ini merdeka. Tetapi, pesantren hanyalah satu bagian jamaah. Ada lagi jamaah lain yang terbentuk melalui gerakan modern seperti sekolah umum.
Idealnya, perbedaan sunnah, jamaah dan konektor bukanlah persoalan selama dikelola dengan tepat. Meski pada saat yang sama, keragaman sunnah itu perlu dipahami dalam kerangka yang lebih utuh: ada payung yang sama (common standard). Dalam hal ini, saya sepakat membawa narasi sunnah dan jamaah untuk membuka ruang dialog, tetapi tidak berujung pada relativisme sunnah.
Nah, ketika kita sudah memahami bahwa praktik sunnah dan jamaah yang mengamalkannya beragam, bagaimana mengelolanya? Dalam sejarah, kita melihat setiap jamaah sering mengaku sebagai praktik yang sahih dan selainnya bid’ah. Mengapa ini bisa terjadi? Sebab sangat sedikit jembatan yang menghubungkan antar jamaah. Setiap komunitas lebih nyaman membangun tembok yang menebalkan prasangka.
Ditambah lagi, semangat modernitas juga turut memperparah jurang pemisah. Muhammad Rofiq Muzakkir dalam buku “Studi Islam dan Masyarakat Muslim Kontemporer: Dari Neo-Tradisional, Liberal sampai Dekolonial” menegaskan bahwa kolonialisme dan modernitas Barat adalah kekuatan hegemonik yang membentuk horizon berpikir kita. Misalnya pengajaran filsafat ilmu yang hanya mengandalkan episteme Barat sangat berpotensi menjadi eurosentris.
Secara sederhana, paradigma modern ini menuntun kita untuk memahami bahwa yang maju adalah kehidupan seperti di Barat yang serba rasional dan saintifik. Padahal itu hanya satu di antara beragam epistemologi. Dalam tradisi Islam Jabirian dikenal tiga pemikiran: bayani (teks), burhani (akal) dan ‘irfani (intuisi). Dunia pesantren mengombinasikan tiga paradigma tersebut. Kajian bayani melalui pengajian kitab tafsir, hadis, fikih, dll; diskusi burhani dengan analisis kajian mantiq dan bahtsul masa`il; sekaligus laku kehidupan yang sederhana dan asketik menjadi modal pembelajaran irfani.
Episteme Barat yang serba rasional tak akan mampu mengejawantahkan kehidupan pesantren secara utuh. Orang modern mungkin kesulitan memahami bagaimana santri tunduk, patuh, dan hormat pada kiai. Apa pun yang diperintahkan dituruti begitu saja. Namun dengan budaya yang serupa, mereka yang kerja di kantoran pun sering terjebak pada kepatuhan kepada atasan. Bahkan mereka rela bekerja di akhir pekan demi dapat menerima gaji secara utuh. Dari sini, kita dapat memahami bahwa narasi menjadi rasional dan modern tidak selalu tepat. Ketika rasionalitas itu justru digunakan untuk menghakimi apalagi sampai melabeli orang lain mundur dan terbelakang; hanya karena budaya yang dihidupi berbeda.
Logika ini adalah cara berpikir penjajah Eropa dahulu melihat negara jajahannya. Di bawah semangat modernitas, mereka menyerang negara yang tertinggal. Meskipun itu bertentangan dengan prinsip kemanusiaan yang mereka pegang. Sebab mereka memahami kemanusiaan itu hanya bisa ditegakkan pada mereka yang sudah berpikir ‘modern’.
Lantas apa yang bisa dilakukan? Saya meminjam pisau analisis fusion of horizon Gadamer untuk menemukan jalan keluarnya. Sebelum melakukan peleburan wawasan, ia menekankan penting membangun kesadaran. Kita perlu sadar terkait identitas masing-masing.
Meski penyederhanaan itu tidak tepat karena meringkas identitas manusia yang kompleks, bolehlah kita sebut dua identitas yang sedang ‘bertarung’ hari ini: tradisionalis yang diwakili dengan masyarakat pesantren dan modernis yang berasal dari suara netizen. Setiap manusia perlu sadar bahwa pengetahuan yang membentuk pemahaman kita saat ini berasal dari apa yang kita terima sejak kecil dan lingkungan. Artinya, setiap pengetahuan bahkan kebudayaan manusia itu pasti beragam.
Dalam konteks yang lebih luas, kesadaran ini membawa kita untuk melakukan sesuatu dengan penuh kesungguhan. Ketika seorang santri memuliakan gurunya, itu bukan karena sang guru dipandang seperti malaikat tanpa salah, tetapi santri sedang belajar bagaimana menghormati orang yang berilmu. Pun dengan kesadaran ini pula, seorang murid dapat mengerem diri, kala yang disuruh oleh sang guru adalah keburukan. Kita tak menutup mata bahwa kasus kekerasan fisik dan seksual di pesantren itu makin marak terjadi. Belum lagi fenomena gawagis dan nawaning yang dalam beberapa potret menimbulkan keresahan.
Setelah melakukan refleksi ke dalam dengan penuh kesadaran, barulah fusion of horizon ini dapat berlangsung. Peleburan wacana ini menjadi titik tengah ketegangan tradisionalis dan modernis. Artinya, keduanya perlu belajar satu sama lain. Kelompok tradisionalis tidak bisa berdiam diri dari banyaknya praktik yang salah di pesantren. Kaidah yang diwacanakan di pesantren jelas: menjaga tradisi sekaligus siap beradaptasi.
Tetapi, poin yang perlu diperhatikan, perubahan pandangan dan sikap itu harus tumbuh dari kesadaran personal. Bukan paksaan dari pihak luar apalagi karena sebatas menaati kebijakan. Maka ini juga menjadi kritik bagi kelompok modernis yang sering memaksa pesantren untuk bergerak cepat mengikuti perkembangan zaman.
Sebenarnya hari ini kita pun melihat jalan pesantren yang terbuka dengan modernitas. Di beberapa pesantren, media sosial dari Instagram sampai Youtube dikelola dengan menarik. Bahkan ada yang mempunyai penerbitan sendiri seperti Sidogiri Press. Ada pula yang mempunyai lembaga Ma’had Aly dan universitas. Ada lagi yang membawa tata kelola eco-pesantren yang ramah lingkungan. Semua ini adalah bukti bahwa pesantren tidak menutup diri dari perkembangan.
Dari sini, dapat dipahami bahwa memahami identitas itu perlu, tetapi tidak dengan menebalkan apalagi menegasikan identitas yang lain. Sebagaimana Tuhan menciptakan satu mulut dan dua telinga, kita seharusnya lebih banyak mendengarkan daripada menyampaikan. Apalagi jika yang keluar dari mulut ini adalah kebencian, kata Nabi, lebih baik diam.
‘Ala kulli hal, rentetan peristiwa yang membawa marwah pesantren ini dapat menjadi muhasabah bersama. Refleksi ini tidak hanya bagi santri, tetapi juga masyarakat non-santri. Semua harus berbenah, apalagi di tengah berbagai permasalahan bangsa. Alih-alih energi kita habis untuk membahas pesantren, lebih elok jika luapan emosi ini disalurkan untuk mengatasi krisis kebangsaan dan lingkungan. Ataukah selama ini, ada yang takut kala seluruh kekuatan sipil bersinergi bersuara untuk perbaikan negeri?

