Entah judul ini tepat atau tidak. Ide yang terbersit dalam fikiran saya di peringatan hari kartini ini adalah, sosok perempuan cerdas, pejuang dan kritis. Rasanya, mengingat sosok kartini adalah salah satu cara yg bagus untuk merawat nalar kritis dan semangat juang, terutama bagi kaumnya, para perempuan.
Ini penting menurut saya, karena belakangan, perempuan semakin dijajah dan dibungkam serta dimatikan nalar kritisnya dg berbagai macam cara. Di antaranya adalah dg dijadikan objek atas penerapan dalil agama yg bersifat interpretatif-subjektif.
Ingatan saya melayang menuju ke sebuah event seminar yg diadakan beberapa bulan lalu, kalau tidak salah. Seminar itu tentang poligami, tips dan hal berkaitan dengannya. Narasi dalam flyer yang disebar secara masif dalam berbagai media sosial, sangat provokatif dan tidak mendidik, bahkan cenderung merusak tatanan kehidupan sosial dan agama.
Bagaimana tidak? Di tengah maraknya kasus perebutan pasangan sah oleh orang ketiga, yg kemudian muncul dg sebutan pelakor, tiba-tiba tema yg diusung berbunyi, “Ukhti, izinkan aku mencintai suamimu”, sungguh ini adalah manipulasi yg sempurna untuk melegalkan perilaku menyimpang dengan cara yg seolah syar’i.
Narasi tersebut seolah muncul dari calon perebut suami yang mencoba menyampaikan kepada istri sahnya. Ini adalah narasi provokatif, karena hampir tidak mungkin dilakukan oleh wanita yg berfikir sehat dan normal. Baik dari pihak yg akan merebut mau pun yang akan direbut. Jika lobi-lobi atau pendekatan dilakukan secara biasa-biasa saja oleh pihak suami kepada istrinya, hampir tidak mungkin ia berhasil mendapatkan izin. Begitu juga, si perempuan yang akan menjadi calon perebut itu tidak akan berani, bahkan mungkin akan sangat malu untuk melakukan hal tersebut. Lalu, apa kaitannya dg narasi tersebut? Dalam narasi itu terdapat upaya untuk mematikan akal sehat dan nalar kritis para perempuan.
Para perempuan dipaksa untuk tidak berfikir panjang atas konsep poligami yg ditawarkan kepada mereka. Ini adalah ajaran agama yg wajib mereka terima, mereka taati, bernilai ibadah dan berpahala. Meski pun sepanjang sisa hidup mereka harus menahan perihnya perlakuan tak imbang dari para suaminya. Ini bukan tentang poligami semata, juga bukan tentang ketidak-setujuan terhadap praktek poligami. Karena secara historis dan realistis, poligami itu ada dan terjadi.
Ini adalah tentang cara yang ditempuh oleh para praktisi poligami kekinian yang kadang terlalu berlebihan dan mengenyampingkan banyak hal untuk dipertimbangkan. Di kalangan para tokoh agama masa lalu, praktek poligami sudah ada dan biasa terjadi, tapi tidak seaneh dan sevulgar hari ini. Bahkan tak jarang mereka menyimpannya rapat-rapat dengab berbagai pertimbangan, psikologi anak misalnya atau psikologi istri-istrinya.
Nah, kembali pada ide pokok tulisan sederhana ini, bahwa, perempuan harus tetap menjaga nalar kritisnya, menjaga akal sehatnya dan tidak mudah menerima hal-hal yg mereka lihat dan mereka dengar begitu saja. Jangankan yg berbau agama, yang sangat perlu dalil kuat dan kajian secara ketat, bahkan tentang kehidupan sosial, ekonomi dan politik pun juga demikian. Perempuan harus tetap dan terus bersikap kritis.
Semangat belajar yg digaungkan oleh Kartini harus diserap sebagai energi positif oleh kaum perempuan sebagai modal untuk tetap menjaga akal sehat dan nalar kritisnya.
Pada dasarnya, lelaki atau suami yang baik, yang qawwam bagi istrinya adalah, suami yg selalu memberikan dorongan kepada istrinya untuk terus belajar dan memberikan ruang dialog di dalam keluarga. Karena bagaimana pun, perempuan, sebagai seorang istri sekaligus seorang ibu bagi anak-anaknya, punya hak yg sama untuk mendayung bahtera rumah tangga. Bahkan dalam konteks edukasi keluarga, perempuan selaku ibu, adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya. Lalu dari mana sekolah yang baik akan terwujud, jika perempuan tidak diberi ruang yang cukup dan proporsional untuk belajar dan mengekspresikan pemikirannya.
Hari ini, di era Millenial ini, mestinya upaya mematikan nalar kritis ini harus dilawan dengan memperluas cakrawala ilmu pengetahuan yang salah satunya adalah dengan budaya membaca dan berdiskusi!
*Dosen Sekolah Tinggi Islam Pandanaran (STAISPA) dan Pimpinan Majlis Shalawat al-Intifa’ Yogyakarta.