Fenomena “ustaz selebritis” semakin menonjol dalam lanskap keagamaan di Indonesia. Kehadiran mereka tidak hanya di layar televisi, tetapi juga di kanal YouTube, Instagram, hingga TikTok, dengan jutaan pengikut yang menggemari gaya komunikasi populer dan cara menyampaikan ajaran agama yang mudah dicerna.

Fenomena ini kini tidak berhenti pada konten dakwah gratis, tetapi juga merambah ke ranah kajian berbayar yang dipromosikan secara eksklusif. Pertanyaan kritis pun muncul: apakah dakwah kini telah bergeser menjadi komoditas, atau sekadar bentuk profesionalisasi di era modern?

Tradisi pemberian penghargaan kepada ulama sejatinya bukan hal baru. Sejak dulu, para guru agama kerap diberi hadiah atau sedekah dari murid dan jamaah. Bedanya, kini formatnya lebih terang-terangan: biaya pendaftaran, paket eksklusif, hingga kelas daring dengan tarif tertentu.

Sebagian menganggap ini wajar karena dakwah juga memerlukan biaya operasional. Namun, kritik tidak bisa dihindari: apakah model semacam ini justru mengubah makna dakwah dari misi spiritual menjadi bisnis yang eksklusif dan sulit diakses kalangan bawah?

Dalam perspektif budaya populer, fenomena ini jelas merupakan bentuk komodifikasi agama. Dakwah dikemas layaknya produk hiburan: promosi besar-besaran, testimoni peserta, hingga atmosfer eksklusif yang hanya bisa dinikmati mereka yang mampu membayar. Padahal, yang dipertaruhkan adalah pesan agama yang semestinya membawa pencerahan bagi semua.

Meski begitu, kita tidak bisa menutup mata terhadap dampak positif. Ustaz selebritis mampu menjangkau generasi muda dengan bahasa segar, memanfaatkan teknologi untuk menyebarkan dakwah secara luas, bahkan menggunakan sebagian dana dari kajian berbayar untuk program sosial. Dengan pengelolaan yang transparan, model ini bisa menjadi bentuk profesionalisme yang sah.

Namun, sejumlah catatan kritis perlu disorot. Pertama, dalam beberapa kajian berbayar, muncul fenomena peserta yang curhat terbuka, bahkan sampai membongkar aib rumah tangga. Hal ini berisiko mengubah forum dakwah menjadi arena konsumsi cerita pribadi yang rentan disalahgunakan. Kedua, ada cerita jamaah yang berhutang demi mengikuti kajian eksklusif, seolah-olah ilmu agama hanya bisa diperoleh dengan biaya tinggi. Ironi ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah dakwah yang seharusnya meringankan justru menambah beban umat?

Ketiga, terlihat jelas adanya kesenjangan sosial. Kajian berbayar hanya dapat diikuti kalangan menengah ke atas, sementara masyarakat kecil merasa tersisih. Padahal, prinsip dakwah adalah menyampaikan kebenaran tanpa diskriminasi. Keempat, fenomena ini juga berdampak pada sepinya kajian di masjid dan mushola kampung. Ketika ribuan jamaah berbondong-bondong menghadiri kajian berbayar di gedung megah, masjid sekitar justru kosong. Hal ini mencerminkan pergeseran orientasi umat dari dakwah berbasis komunitas menuju dakwah berbasis selebritas.

Dalam perspektif Islam moderat, solusi yang ditawarkan adalah tawazun (keseimbangan). Dakwah memang memerlukan dukungan material agar berkelanjutan, dan wajar jika seorang ustaz menerima kompensasi. Namun, prinsip ikhlas dan keterbukaan tetap harus dijaga. Model kajian berbayar sebaiknya tetap membuka ruang akses gratis bagi yang tidak mampu, misalnya dengan rekaman terbuka atau sistem subsidi silang. Dengan begitu, profesionalisme bisa berjalan tanpa mengorbankan inklusivitas.

Fenomena ini juga menuntut refleksi tentang otentisitas dakwah. Apakah pesan disampaikan karena panggilan iman, atau sekadar mengikuti logika pasar dan popularitas? Jika dakwah lebih diarahkan pada selera pasar, ada risiko substansi agama dikaburkan demi rating dan keuntungan. Di sinilah integritas seorang da’i diuji: menjaga agar dakwah tetap murni sebagai jalan pencerahan, bukan industri hiburan.

Sebagai jamaah, kita pun perlu bersikap kritis namun adil. Tidak menghakimi ustaz selebritis secara sepihak, tetapi juga tidak menutup mata terhadap bahaya komersialisasi berlebihan. Dialog terbuka antara jamaah, ustaz, dan lembaga dakwah diperlukan untuk membangun model yang sehat dan berkeadilan, misalnya dengan transparansi penggunaan dana atau memastikan hasilnya kembali untuk kepentingan umat.

Sehingga, dakwah harus kembali pada esensinya sebagai cahaya yang menerangi semua orang tanpa sekat. Ustaz selebritis dengan pengaruhnya besar seharusnya mampu menjaga marwah dakwah sebagai ruang spiritual yang inklusif. Kajian berbayar bisa menjadi bentuk profesionalisme, tetapi jangan sampai menghilangkan semangat keterbukaan dan kebersamaan. Dengan menempatkan dakwah di jalur yang seimbang, kita bisa memastikan agama tetap hadir sebagai sumber pencerahan, bukan sekadar komoditas di pasar populer.

Komentar