Membincangkan pendidikan tidak lepas dari tiga komponen utama: materi, metode, dan guru. Pertama-tama dapat kita katakan bahwa materi pembelajaran itu penting. Dan ini menjadi andalan setiap sekolah dan lembaga pendidikan berlomba-lomba dalam menyamakan materi pembelajarannya. Sama halnya dengan sirkulasi kurikulum yang terus mengalami revisi setiap kali berganti menteri dan kebijakan. Sedikit menyiksa, terutama bagi para siswa di sekolah-sekolah desa untuk mengikuti standar dan aturan main ini.
Untuk menjadi yang terbaik, orang tua siswa harus merogoh kocek tambahan untuk mengikuti bimbingan belajar di luar sekolah agar harapan setara dengan sekolah-sekolah favorit di kota-kota dapat terwujud. Atau, pihak sekolah menambah jam-jam di luar ketentuan belajar demi menggenjot prestasi belajar mereka. Kebijakan pemerintah pusat menekan guru melalui jumlah jam pelajaran hingga sekolah-sekolah desa seakan menjadi pemicu menekan siswa yang turun temurun. Siswa dipaksa menelan mata pelajaran dalam kondisi lelah. Menambah jam belajar sampai jelang petang. Mampukah mencerna semua pelajaran itu? Saya rasa tidak. Kecuali hanya mata kantuk dan tubuh lelah.
Meskipun materi menjadi aspek penting, tetapi metode pengajaran juga memegang peranan yang tak bisa diabaikan. Sebagus apa pun materinya, jika metode pengajarannya tidak menarik tak akan mampu mendorong siswa untuk mencintai materinya. Terbukti, berapa banyak siswa yang tidak menyukai matematika disebabkan metode pengajarannya yang monoton dan tak mengasyikkan. Pola pikir dan sikap guru yang kaku dan terkesan serius membuat siswa cenderung bosan dan malas berpikir.
Sehingga metode yang menjadi kunci kedua sangat berkaitan erat dengan siapa pengajarnya. Seberapa kreatif pengampu mata pelajaran dalam menyampaikan materi dan metode pengajaran yang digunakan. Tanpa eksplorasi dan eksperimentasi dalam pola pengajaran yang terus menerus maka hasilnya tidak akan maksimal. Namun demikian, semua komponen itu yang paling utama adalah ruh seorang guru.
*
Akhir-akhir ini, tidak sedikit siswa yang merasa tertekan dengan rumitnya mata pelajaran. Mereka dituntut menguasai sejumlah materi yang mungkin belum saatnya. Seperti baru-baru ini diwacanakan bahwa anak-anak SD dituntut merampungkan materi bahasa Inggris, misalnya. Matematika yang semakin hari semakin ruwet dan menjemukan dijejalkan tanpa ampunan. Dan ketika murid tidak mampu, guru cenderung menyalahkan siswa.
Lebih dari itu, tidak sedikit para guru yang membuat gap di ruang kelas. Siswa pintar dibedakan dengan yang bodoh dalam mata pelajaran tertentu yang diampunya. Tanpa sadar para guru membedakan cara bersikap antar keduanya. Siswa yang pintar disikapi secara lembut, sementara siswa bodoh dalam mata pelajaran yang diampunya disikapi secara kasar. Terkadang seorang guru meluapkan amarahnya karena siswa tak mengindahkan penyampaiannya sehingga membuat beberapa murid menjadi introvert, anti sosial, malu datang ke sekolah, bahkan ada yang mengalami stres berat.
Padahal seorang guru seharusnya juga mengevaluasi cara mengajarnya. Melihat ke dalam dirinya maupun metode penyampaiannya. Tidak serta merta menyalahkan siswa. Bisa jadi bukan karena mata pelajarannya, tetapi karena faktor gurunya. Pola penyampaiannya yang menjemukan, tidak menguasai materi, penampilan yang kurang rapi, bahkan aroma tak sedap juga menjadi pemicu siswa malas mengikuti mata pelajarannya.
Tidak hanya itu, seorang guru juga tidak semestinya hanya melulu berbicara masalah pembayaran dan iuran-iuran sekolah. Para siswa diintimidasi dengan berbagai ancaman ketika belum melunasi pembayaran sekolah, mulai tidak mendapatkan bangku sampai tidak bisa mengikuti ujian. Seharusnya hal semacam ini disampaikan kepada para walinya melaui forum komite, bukan dengan cara mengintimidasi siswanya. Memang, harus diakui di beberapa sekolah di desa, terutama sekolah-sekolah swasta di pinggiran kota, kegiatan belajar dan mengajar tidak dapat berjalan tanpa support fee dari orang tua siswa.
Selain itu, pelaporan hasil belajar dan peningkatan mutu seharusnya menjadi hal yang wajib dilakukan pihak sekolah. Orang tua siswa juga penting diajak musyawarah tentang pola parenting anak, siasat mengatur jam belajar, pengetahuan psikologi seorang anak agar dapat memberikan yang terbaik di luar sekolah.
Peran komite sekolah harus menjadi garda depan dari pihak luar sekolah untuk turut serta mengawasi kualitas belajar siswa. Bukan sebaliknya, sekadar menjadi penyambung lidah dalam masalah pendanaan, keuangan, dan aspek-aspek sekunder lainnya. Perkumpulan komite harus dijadikan ajang belajar bersama, mendidik siswa sekaligus orang tua siswa. Tidak melulu soal uang, uang, dan uang.
Lebih penting lagi, seorang guru harus mengajar dengan hati. Proses transfer pengetahuan harus dijalani dengan penuh cinta dan kasih sayang. Ketersambungan ruhani antara guru dan murid menjadi prasyarat utama dan paling utama dalam mewujudkan kesuksesan. Guru yang sukses memahamkan pengetahuan, murid yang sukses mencerna penyampaian.
Selayaknya seorang guru senantiasa memikirkan siswanya. Mendoakan para siswa dalam setiap kesempatan, bukan mencaci dan membullinya. Membimbing siswa yang sulit mencerna materi, bukan mempermalukan di depan siswa-siswa lainnya. Seorang guru sepatutnya mengajar dengan penuh keikhlasan. Niat tulus membimbing dan mendidik siswanya karena Allah. Memberikan motivasi tanpa lelah, menjadi tauladan dalam akhlak, kedisiplinan, dan perangainya. Nasihatnya menyejukkan dan ungkapannya mengandung hikmah.
Pelan tapi pasti, pancaran ruhani akan menembus relung jiwa para siswa. Sedikit demi sedikit para siswa akan mencintai pengetahuan, menekuni pelajaran, dan merubah pola pikir dan sikapnya ke arah yang lebih baik. Sehingga bertambahnya ilmu akan sejalan dengan pemhaman yang menjelma dalam tangkah laku keseharian. Bukankah kita selalu berdoa, “Tuhan, tambahkanlah ilmu, dan karunia kami pemahaman.”