Sabtu 23 November kemarin saya diminta berbicara tentang Tafsir Alquran Jawa dan Pesantren. Acara ini dihelat oleh Fakultas Ushuluddin IIQ Al-Nur Bantul. Tema ini merupakan tema yang tidak banyak diulas oleh para sarjana Barat. Apalagi pesantren kini malah lebih lekat dengan narasi radikalisme dan kontra radikalisme.

Padahal, pesantren sejak dulu, sudah lekat dengan dunia literasi. Di tengah keterbatasan bahan dan alat tulis serta konteks sosial politik yang menghimpit, para kiai pesantren di samping mengajar, juga mendedikasikan diri di dunia literasi.

Teks-teks yang ditulis para kiai pesantren cukup beragam: mulai dari disiplin ilmu fekih, kalam, ilmu alat, tafsir, mantiq, falak, hingga parukunan. Dari semua bidang itu, bidang fekih dan parukunan, seringkali dianggap oleh sebagian orang sebagai yang mainstream dalam dunia pesantren. Bidang tafsir misalnya, seringkali luput dari kajian peneliti mengenai literasi para kiai di pesantren. Padahal, banyak karya tafsir ditulis para kiai pesantren dengan kesadaran dan dialektika lokalitas yang khas.

Sekadar menyebut contoh, ada sederet tafsir yang lahir dari tangan kiai dan dunia pesantren, yaitu Faidl al-Rahman karya Kiai Saleh Darat; Tamsyiah, Malja al-Thalibin, Raudlah al-Irfan, Tafrij fi Qulub al-Mu’minin, kelimanya ditulis Kiai Ahmad Sanusi Sukabumi; Tafsir Alquran al-Adlim ditulis oleh Tafsir Anom V, penghulu di Kraton Surakarta sekaligus inisiator pendirian madrasah Manbaul Ulum dan murid Kiai Saleh Darat; Al-Iklil dan Tajul Muslimin ditulis oleh Kiai Misbah Mustafa, Tafsir Yasin dan Al-Ibriz ditulis oleh kiai Bisri Mustafa, Al-Mahalli dan Al-Furqan ditulis oleh kiai Mujab Mahalli Bantul, dan masih banyak lagi para kiai pesantren yang menulis tafsir.

Sejumlah kitab tafsir pesantren di atas merupakan khazanah pesantren yang menjadi salah satu bukti tentang dunia literasi pesantren di masa lalu. Dan dalam narasi lisan, kajian tafsir di pesantren hingga kini masih hidup dengan dinamis serta mempertahankan tradisi makna gandul dan teknik “utawi iki iku” yang memakai bahasa Jawa aksara pegon sebagai media komunikasi. Dengan dua cara ini, pesantren secara nyata berperan ikut melestarikan aksara pegon dan bahasa Jawa hingga saat ini. Selayaknya dan pantas pesantren diberi penghargaan sebagai pelestari bahasa dan aksara lokal yang kini kian punah.

Komentar