Abu Ubaydah adalah salah satu dari sepuluh orang pertama kali masuk Islam. Nama aslinya Amir bin Abdullah al-Jarrah, tetapi lebih terkenal dengan julukan Abu Ubaydah bin al-Jarrah.[1] Ia termasuk sahabat Nabi yang hijrah ke Habasyah (Ethiopia) gelombang ke-2. Dia termasuk salah satu dari sepuluh orang yang dijamin masuk syurga oleh Nabi Saw.[2] Ketika Nabi hijrah ke Madinah, ia ikut serta.
Ketika orang-orang Yaman ke Madinah datang menemui Nabi dan meminta agar dikirimkan kepada mereka seseorang yang akan mengajari mereka tentang Islam, Nabi Saw memilih Abu Ubaydah bin al-Jarrah, seraya bersabda: “Hadza Amiinu Hadzihil ‘ummah. Inilah orang yang terpercaya dari umat ini.”[3]
Imam al-Dzahabi dalam kitab Siyar al-A’lam al-Nubala’ mencatat betapa bagusnya kepribadian Ubaydah bin al-Jarah ini di mata Nabi Saw. Suatu ketika ‘Amr bin Ash bertanya kepada Nabi, “Ya Rasul, siapakah orang yang paling Anda senangi di antara para shahabatmu?” “Abu Bakar”, jawab Nabi. “Lalu siapa lagi?” tanya ‘Amr bin Ash. “Abu Ubaydah bin al-Jarrah,” jawab Nabi.
Di kesempatan lain, ketika Nabi telah meninggal, seorang shahabat lainnya datang dan bertanya kepada Aisyah, isteri Nabi “Siapakah dari shahabat Nabi yang paling beliau Saw. sukai?” “Abu Bakar, lalu Umar bi kHatab, lalu Abu Ubaydah bin al-Jarah,” Jawab Aisyah.[4]
Dua riwayat di atas membuktikan betapa Ubaydah bin Jarrah adalah shahabat yang utama.
Ketika Nabi meninggal, beberapa saat kaum Muslimin bingung dalam menentukan siapa yang akan menggantikan Nabi memimpin umat Islam. Saat itulah Abu Bakar al-Shiddiq mengajukan Nama Umar bin Khathab dan Abu Ubaydah bin al-Jarrah. Sayang para shahabat senior lainnya justru mengajukan nama Abu Bakar al-Shiddiq, yang akhirnya kemudian disepakati sebagai Khulafaur Rasyidin pertama pengganti Nabi. Keimanannya bahkan dipersaksikan Allah dengan menurunkan surat al-Mujadalah ayat 22.[5]
Ia meninggal akibat terkena wabah penyakit menular di ‘Amawas, sebuah daerah di Syam, pada tahun 18 H, dalam usia 58 tahun. Menurut sumber sejarah, daerah ini disebut ‘Amawas karena kependekan dari “’Amma al-Nas wa Tawasawa” (melingkupi manusia dan menerjangnya). Wabah itu sendiri kemudian dikenal dengan nama Tha’un ‘Amawas, karena dari tempat itulah asal mula munculnya wabah tersebut saat itu.[6]
Kisah tertularnya Abu Ubaydah oleh wabah Tha’un yang kemudian mengantarkannya kepada kematian, diabadikan dalam tiga kitab hadis: kitab al-Musnad karya Imam Ahmad bin Hambal, kitab al-Muwatha’ karya Imam Malik, dan kitab Shahih al-Bukhari karya Imam al-Bukhari. Saat itu, Umar bersama rombongan para shahabat datang dari Madinah ke Syam. Tetapi ketika baru sampai di sebuah tempat yang bernama Sargha, ia bertemu rombongan Ubaydah bin Jarrah yang juga menuju ke kota yang sama, Syam.
Datanglah seseorang yang membawa berita bahwa Syam ternyata sedang dilanda wabah penyakit Thaun yang ganas. Umar ragu untuk meneruskan perjalanan. Ia panggil para shahabat Muhajirin senior untuk bermusyawarah. Ada yang mengusulkan, Umar beserta rombongan harus tetap melanjutkan perjalanan ke Syam, karena sudah terlanjur jauh-jauh berangkat dari Madinah. Sebagian lain menghendaki, sebaiknya kembali saja ke Madinah, karena ada penyakit ganas. Sebaiknya tidak menghadapkan orang banyak pada resiko tertular wabah mematikan. Intinya, tidak ada kata sepakat.
“Panggilkan untukku para shahabat Anshar,” perintah Umar bin Khatab kepada Abdullah bin Abbas yang saat itu ada dalam rombongan.[7]
Para shahabat Anshar pun dipanggil. Diajak bermusyawarah. Ternyata tidak ada kata sepakat juga. Pada saat itu datanglah Abdurrahman bin Auf membawa kabar, bahwa dulu mendiang Nabi Muhammad Saw. pernah bersabda: “Jika Jika kalian mendengar wabah tersebut menjangkiti suatu negeri, maka janganlah kalian menuju ke sana, namun jika dia menjangkiti suatu negeri dan kalian berada di dalamnya, maka janganlah kalian keluar dan lari darinya” (HR Bukhari, Muslim, Malik, Ahmad).[8]
Mendengar informasi dari Abdurahman bin Auf ini, Umar lalu memutuskan untuk membatalkan perjalanan ke Syam, dan kembali ke Madinah. Tetapi Ubaydah bin al-Jarrah menolak keputusan ini. “Apakah kamu hendak lari dari takdir Allah, hai Umar?” kata Ubaydah. Bagi Ubaydah, terkena wabah penyakit atau tidak itu sudah ditakdirkan Allah, jadi tidak perlu kembali ke Madinah.
“Andai saja yang bertanya ini bukan dirimu, wahai Ubaydah,” kata Umar menyimpan sungkan kepada sosok shahabat senior ini. “Iya, kami akan lari dari takdir yang satu menuju takdir yang lain. Sama-sama takdir Allah. Bagaimana pendapatmu jika kau membawa seekor unta lalu sampai di sebuah lembah dengan dua sisi, ada yang subur dan ada yang kering kerontang. Mana yang kau pilih? Seandainya kau membawanya ke sisi yang subur, sesungguhnya itu takdir Allah. Tapi jika kau membawanya ke sisi yang kering kerontang, itupun kau membawanya dengan takdir Allah juga,” jawab Umar panjang lebar.
Umar lalu kembali ke Madinah.
Tetapi tidak dengan Abu Ubaydah. Ia tetap meneruskan perjalanan, pergi ke Syam.
Sesampainya di Syam, benar saja, wabah telah merajalela. Abu Ubaidah bin Jarrah berkhutbah di hadapan orang-orang; “Wahai manusia! sesungguhnya penyakit ini merupakan rahmat dari Rabb kalian, doa para Nabi kalian, dan sebab kematian orang-orang shalih sebelum kalian. Dan sesungguhnya Abu Ubaidah memohon kepada Allah untuk mendapat bagian dari rahmat tersebut.” Tak lama kemudian Ubaydah pun terjangkit penyakit tersebut sehingga meninggal dunia. Syahid.
Sepeninggal Abu Ubaydah, Mu’adz bin Jabal menggantikan Ubaydah untuk memimpin orang-orang, kemudian dia dia berdiri menyampaikan khutbah setelah wafatnya Abu Ubaidah: “Wahai manusia, penyakit ini merupakan rahmat dari Rabb kalian, doanya para Nabi kalian dan sebab kematiannya para orang-orang shalih sebelum kalian. Dan sesungguhnya Mu’adz memohon kepada Allah agar keluarga Mu’adz mendapat bagian dari rahmat tersebut.”
Tidak lama kemudian Abdurrahman bin Mu’adz, anak Muadz bin Jabal, terjangkit wabah tersebut, dan meninggal dunia. Syahid.
Kembali Mu’adz berdiri, memohon kepada Rabbnya untuk dirinya, dan akhirnya dia juga terjangkit wabah penyakit tersebut di telapak tangannya.
Shahabat yang meriwayatkan hadis ini menceritakan: “Sungguh saya melihat Mu’adz memperhatikan penyakit lepra tersebut kemudian mencium bagian atas tangannya sambil berkata; “Aku tidak senang punya kamu dan dunia yang ada pada dirimu.” Tidak lama kemudian Mu’adz bin Jabal pun meninggal dunia. Syahid.
Kemudian ‘Amr bin al-Ash menggantikan kedudukannya untuk memimpin orang-orang. ‘Amr bin Ash memilih kebijakan yang berbeda dengan kedua sahabat di atas tadi. Ia lebih memilih bersikap rasional. Ia berdiri menyampaikan khutbah di hadapan masyarakat:
“Wahai manusia! sesungguhnya jika wabah ini menjangkiti (suatu negri) maka dia akan melahapnya sebagaimana menyalanya api, maka menghindarlah kalian ke gunung-gunung.”
Saat itulah muncul Abu Watsilah al-Hudzali, protes kepada Amr bin Ash: “Demi Allah, kamu berdusta, saya pernah menyertai Rasulullah Saw, dan kamu lebih buruk daripada keledaiku ini.” Pedas sekali. Amr bin Ash disebut sebut lebih jelek dari keledai. DI depan hidungnya sendiri.
Tapi ‘Amr bin Ash hanya menimpali, “Demi Allah aku tidak akan membalas perkataanmu. Demi Allah saya tidak akan memperkarakan perkataanmu itu.” Ia kemudian turun dan orang-orangpun bubar.[9]
Ketika Syam dipimpin oleh Amr bin Ash inilah korban wabah menular itu dapat ditekan untuk kemudian hilang. Ia menempuh kebijakan mengolasi orang-orang yang sakit ke bukit-bukit, hingga penularannya tidak semassif sebelumnya. Meski demikian, menurut catatan para sejarahwan seperti al-Shafady dalam al-Wafi bi al-Wafayat, [10] atau juga al-Nuwairi dalam kitab Nihayah al-Arab fi Funun al-Adab, wabah yang melanda Syam tahun 18 H ini telah menelan korban jiwa sebanyak 25 ribu orang meninggal dunia saat itu.[11]
Berkaca dari sejarah di atas, adalah keliru anggapan bahwa hanya dengan berwudhu saja maka kita dapat terhindar dari wabah penyakit menular seperti corona. Memperbanyak wudhu memang baik, tetapi jelas tujuan berwudhu adalah menghilangkan hadas, bukan menangkal penyakit menular seperi corona.
Jika disuruh memilih yang mana, antara ikut ijtihad Umar bin Khatab atau ijtihad Abu Ubaydah bin Jarrah; atau memilih antara ijtihad Mu’adz bin Jabal dengan ijtihad Amr bin Ash, maka saya akan memilih untuk ikut ijtihad Umar bin Khathab dari pada Ubaydah bin Jarrah, lebih memilih mengikuti ijtihad Amr bin Ash daripada ijtihad Muadz bin Jabal, karena lebih menyelamatkan banyak manusia. “Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.” (QS. Al Maidah: 32).
***
Daftar Referensi
[1]Ibnu Hajar al-Asqalani, al-Ishabah fi Tamyiz al-Shahabah, vol. 7, 8 vol. (Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 1995), 225.
[2]Abdullah bin Muhammad bin Abdul Bar, al-Isti’ab fi Ma’rifati Ashab, vol. 4, 4 vol. (Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 1995), 272.
[3]Abdullah bin Muhammad bin Abdul Bar, al-Isti’ab fi Ma’rifati Ashab, vol. 4, 4 vol. (Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 1995), 272.
[4]al-Dzahabi, Siyar al-A’lam al-Nubala, vol. 3, 18 vol. (Beirut: Dar al-Fikr, 1997), 3.
[5]Abu Nu’aim al-Asfihani, Hilyah al-Awliya’, vol. 1, 12 vol. (Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2002), 145.
[6]Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Tahdzib Asma’ wa al-Lughat, vol. 01, 03 vol. (Beirut: Dar al-Fikr, 1996).
[7]Imam Malik, “Muwatho Malik, hadis nomor 1391,” di-takhrij via http://carihadis.com/Muwatho_Malik/=sargha, diakses 16 Maret 2020,.
[8]Imam al-Bukhari, “Shahih al-Bukhari, Hadis nomor 5288,” ditakhrij via, http://carihadis.com/Shahih_Bukhari/=sargha, diakses 16 Maret 2020.
[9]Ahmad Ibnu Hambal, “Musnad Ahmad, hadis nomor 1605,” di-takhrij via http://carihadis.com/Musnad_Ahmad/=lepra, diakses 16 Maret 2020,
[10]Ibnu Ubayk al-Shafady, al-Wafi bi al-Wafayat, vol. 30 (Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, t.t.), 288.
[11]Syihabuddin al-Nuwairy, Nihayah al-Arab fi Funun al-Adab, vol. 19–20 (Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, t.t.), 224