Tulisan sederhana ini menyajikan rangkuman analitis atas buku Mawqif A’immat al-Ḥarakah al-Salafiyyah min al-Taṣawwuf wa al-Ṣūfiyyah (2001) yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Tasawuf dalam Pandangan Ulama Salaf (2011), dan dalam bahasa Inggris dengan judul Sufism and the Imams of the Salafi Movement (2021) karya Syaikh ‘Abd al-Ḥāfiẓ al-Makkī. Tulisan ini bertujuan untuk membedah tesis utama penulis, metodologi yang digunakan, serta menganalisa argumen-argumennya dalam konteks perdebatan teologis yang lebih luas antara tradisi Salafi dan Sufi. Tulisan ini terbagi menjadi dua bagian utama: rangkuman singkat atas argumen buku tersebut, kemudian analisa atas karya ini dalam konteks keilmuan yang lebih luas.
Bagian I: Rangkuman Singkat dan Argumen Buku
Merebut Kembali Tasawuf dalam Tradisi Salafi
Karya Syaikh ‘Abd al-Ḥāfiẓ al-Makkī ini merupakan sebuah intervensi polemis yang bertujuan untuk mengoreksi narasi dominan dalam lingkaran Salafi kontemporer yang memandang Tasawuf secara antagonis.
Tesis sentral buku ini adalah bahwa para imam yang dihormati dan menjadi panutan gerakan Salafi bukan hanya pendukung, tetapi juga praktisi ‘Tasawuf’. Tujuan eksplisitnya adalah untuk “meluruskan catatan” dalam menghadapi “budaya oposisi yang intens terhadap Tasawuf” di kalangan Salafi modern. Penulis membingkai fenomena anti-Sufi ini sebagai sebuah fitnah (ujian atau kekacauan) ideologis yang harus diluruskan. Dengan demikian, buku ini sejak awal memposisikan dirinya sebagai sebuah sanggahan terhadap apa yang dianggapnya sebagai penyimpangan dari posisi asli para pendiri gerakan tersebut.
Kerangka Teologis: Tasawuf sebagai Iḥsān
Untuk membangun fondasi teologisnya, penulis, melalui pengantar penerjemah, secara strategis menyandarkan argumennya pada Hadis Jibrīl yang terkenal. Dalam hadis ini, agama Islam dibagi menjadi tiga dimensi: īmān (keyakinan), islām (praktik lahiriah), dan iḥsān (keunggulan spiritual). Buku ini mendefinisikan Tasawuf sebagai sinonim dari iḥsān, atau metode untuk mencapai iḥsān. Pembingkaian ini sangat krusial, karena ia menempatkan Tasawuf bukan bagian unsur luar Islam atau bid‘ah, melainkan sebagai komponen integral dan tak terpisahkan dari agama itu sendiri. Konsekuensinya, penolakan terhadap Tasawuf yang otentik menjadi setara dengan penolakan terhadap salah satu dari tiga pilar fundamental agama.
Metodologi: Otoritas Sumber Primer
Metodologi yang diadopsi penulis bersifat tekstual dan langsung. Tujuannya adalah untuk “hanya mengutip kutipan dari karya-karya para ulama ini dan menyajikannya untuk kepentingan pembaca”. Pendekatan ini dirancang untuk menghindari polemik modern dan kembali langsung ke teks-teks otoritatif dari tokoh-tokoh yang justru sering dikutip oleh narasi anti-Sufi. Pemilihan tujuh imām; Muḥammad ibn ‘Abd al-Wahhāb, Ibn Qayyim al-Jawziyyah, al-Żahabī, Ibn Kaṡīr, Ibn Rajab al-Ḥanbalī, Ibn Taimiyyah, dan Aḥmad ibn Ḥanbal, didasarkan pada status sentral mereka dalam gerakan Salafi. Penulis bahkan menyoroti bahwa Muḥammad ibn ‘Abd al-Wahhāb sendiri merujuk pada Ibn al-Qayyim, al-Żahabī, Ibn Kaṡīr, dan Ibn Rajab sebagai otoritas keilmuan di zamannya, sehingga memperkuat relevansi pilihan ini.
Sikap Para Imam terhadap Ṣūfī menurut al-Makkī
Bagian inti dari buku ini menyajikan kutipan-kutipan dari tulisan para imam tersebut untuk membuktikan tesis utamanya.
Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhāb dan Pengakuan Jalan Sufi
Al-Makkī menyajikan beberapa kutipan dari tulisan Muḥammad ibn ‘abd al-Wahhāb untuk menunjukkan bahwa ia tidak menolak Tasawuf secara keseluruhan. Bukti kunci yang disajikan antara lain:
Pengakuan eksplisit Ibn ‘Abd al-Wahhāb bahwa para ahli agama terbagi menjadi fuqahā’ dan kaum Sufi yang berfokus pada ‘ibādah dan pencarian akhirat.
Referensinya terhadap “ilmu amalan hati, yang dikenal sebagai ilmu Sulūk” (perjalanan spiritual) dan “latihan-latihan keagamaan dari orang-orang yang melakukan latihan spiritual dan Sulūk”.
Kesaksian putranya, ‘Abdullāh, yang secara tegas menyatakan, “Kami tidak menolak jalan kaum Sufi dan penyucian diri batin… selama individu tersebut berpegang teguh pada aturan-aturan Syarī‘ah”. Kutipan ini disajikan sebagai klarifikasi definitif yang menunjukkan bahwa gerakan Wahhabi pada awalnya tidak menolak esensi Tasawuf yang selaras dengan syariat.
Ibn Qayyim al-Jawziyyah
Bab yang didedikasikan untuk Ibn al-Qayyim adalah salah satu yang paling ekstensif, bertujuan untuk menggambarkannya bukan hanya sebagai seorang sarjana yang menulis tentang Tasawuf, tetapi sebagai seorang praktisi yang mendalam dan seorang ‘ārif (orang yang mengenal Allah). Al-Makkī memulai bab ini dengan biografi dari Ibn Rajab yang mendeskripsikan Ibn al-Qayyim sebagai seorang ‘ārif, seorang sālik dan sufi, serta seseorang yang mengalami “keadaan ekstatis otentik (wajd)”.
Argumen utama dibangun di atas analisis karya monumental Ibn al-Qayyim, Madārij al-Sālikīn. Al-Makkī menyoroti beberapa tema kunci:
Penguasaan Terminologi: Pemaparan rinci Ibn al-Qayyim tentang istilah-istilah teknis Sufi seperti maqāmāt (stasiun-stasiun spiritual) dan aḥwāl (keadaan-keadaan spiritual), fanā’ (peleburan diri), faqr, dan firāsat (firasat berbasis iman).
Penghormatan terhadap para Sufi: Penghormatannya yang mendalam terhadap tokoh-tokoh Sufi awal seperti Junayd al-Baghdādī (yang ia sebut Sayyid al-Ṭā’ifah, pemimpin kelompok Sufi), Sahl al-Tustārī, dan Abū Sulaymān al-Dārānī.
Hubungan Pribadi: Penyebutan diskusi pribadinya dengan sang guru, Ibn Taimiyyah, mengenai masalah disiplin spiritual (riyāḍah), serta pengakuannya sebagai seorang murid yang belajar dari Syaikh al-Harawī al-Ṣūfī, penulis kitab Manāzil al-Sā’irīn yang ia syaraḥ.
Sentralitas Ilmu: Penekanan kuat Ibn al-Qayyim bahwa Sulūk yang benar terikat oleh Al-Qur’an dan Sunnah, yang menggemakan prinsip-prinsip para Sufi awal. Hal ini selaras dengan tesis al-Makkī tentang Tasawuf yang patuh syariat.
Para Sejarawan (al-Żahabī & Ibn Kaṡīr) dan Pengesahan Sufi melalui Hagiografi
Al-Makkī berargumen bahwa karya-karya sejarah al-Żahabī dan Ibn Kaṡīr berfungsi sebagai pengesahan “diam-diam” terhadap Tasawuf. Hal ini ditunjukkan melalui entri-entri biografi mereka yang penuh hormat dan sering kali memuji para guru Sufi. Penulis menyajikan contoh-contoh di mana kedua imam ini memuji para Sufi tertentu atas kesalehan, kezuhudan, dan kepatuhan mereka pada Sunnah, sambil tetap mencatat kritik mereka terhadap tokoh-tokoh yang mereka anggap menyimpang.
Ibn Rajab & Aḥmad ibn Ḥanbal: Para Salaf al-Ṣāliḥ
Dalam bagian ini, al-Makkī menggambarkan Ibn Rajab dan Imām Aḥmad sebagai teladan kesalehan dan asketisme (zuhd) yang merupakan inti dari Tasawuf otentik.
Ibn Rajab: Al-Makkī menggunakan kamus biografi Ibn Rajab, Al-Żayl ‘alā Ṭabaqāt al-Ḥanābilah, untuk menunjukkan adanya tradisi Tasawuf yang mendalam dan tersebar luas di dalam mazhab Ḥanbalī itu sendiri. Ini secara langsung menantang persepsi modern yang menganggap Ḥanābilah secara inheren anti-Sufi.
Imām Aḥmad: Argumennya adalah bahwa kehidupan Imām Aḥmad dan karyanya, Kitāb al-Zuhd, merepresentasikan praktik Tasawuf para Salaf yang belum terkodifikasi; berfokus pada kesalehan batin, rasa takut kepada Allah, dan ketidak-terikatan pada dunia, yang kemudian disistematisasi oleh para Sufi generasi berikutnya.
Ibn Taimiyyah dan Rekonstruksi Tasawuf
Ini adalah bab paling krusial dan kompleks dalam buku al-Makkī. Argumen yang disajikan adalah bahwa Ibn Taimiyyah bukanlah musuh Tasawuf per se, melainkan seorang reformis yang berusaha memurnikannya dari inovasi-inovasi filosofis dan bid‘ah.
Pembedaan Inti: Al-Makkī memfokuskan buktinya pada pembedaan yang jelas yang dibuat oleh Ibn Taimiyyah antara “Sufi dari Kalangan Ahli Istiqāmah” seperti Fuḍayl ibn ’Iyād dan Junayd al-Baghdādī yang ia puji, dengan “Sufi dari Kalangan Ahli Bid‘ah” yang menganut doktrin seperti ḥulūl (inkarnasi) dan ittiḥād (penyatuan dengan Tuhan).
Al-Makkī juga menjelaskan pujian Ibn Taimiyyah kepada tokoh-tokoh tertentu seperti ‘Abd al-Qādir al-Jīlānī dan penerimaannya terhadap fokus kaum Sufi awal pada “amalan-amalan hati” (a‘māl al-qulūb).
Penerimaan Karāmah: Al-Makkī mencatat penegasan Ibn Taimiyyah terhadap karāmah para wali (karāmat al-awliyā’) sebagai bagian yang sah dari akidah Sunni, selama tidak bertentangan dengan Syariah.
Buku ini juga menyinggung bukti yang menunjukkan afiliasi Ibn Taimiyyah sendiri dengan tarekat Qādiriyyah, sebuah poin yang digunakan untuk memperkuat statusnya sebagai orang dalam tradisi Sufi. Diskusi dan analisa kritis tentang tema ini kami jelaskan secara detil dalam buku Tasawuf Salafi (2024)
Bagian II: Analisa
“Politik” Kutipan
Meskipun metodologi al-Makkī memiliki kekuatan, ia juga mengandung kelemahan signifikan yang membentuk argumennya secara keseluruhan. Kekuatan utama buku ini terletak pada kompilasi teks primer yang substansial. Kutipan-kutipan ini secara langsung menantang narasi anti-Sufi yang terlalu disederhanakan dan monolitik yang lazim di banyak kalangan Salafi kontemporer. Dengan menyajikan bukti tekstual dari para imam yang mereka hormati, al-Makkī memaksa adanya sebuah diskusi yang lebih bernuansa dan berbasis teks.
Namun, kutipan-kutipan tersebut terbaca sangat selektif dan sering kali dekontekstual. Meskipun kutipan-kutipan tersebut otentik, penyajiannya cenderung meminimalkan penentangan para imam yang mendasar dan sistematis terhadap mayoritas praktik dan doktrin Sufi yang dominan pada zaman mereka dan masa kini.
Teks Ibn Taimiyyah
Al-Makkī menyoroti pujian Ibn Taimiyyah terhadap para zuhhād awal. Namun, analisis yang lebih luas menunjukkan bahwa pujian ini diseimbangkan oleh sanggahan-sanggahan Ibn Taimiyyah yang sangat luas dan sistematis terhadap pilar-pilar utama tradisi Sufi di era Mamluk. Topik-topik yang sebagian besar dihindari oleh al-Makkī meliputi;
- Waḥdat al-Wujūd: Kutukan keras Ibn Taimiyyah terhadap doktrin Ibn ‘Arabī sebagai bid‘ah panteistik yang lebih buruk dari doktrin Kristen.
- Tawassul dan Istighāṡah: Larangan absolutnya untuk mencari perantaraan atau pertolongan dari orang yang telah meninggal, yang ia anggap sebagai bentuk syirik. Ini adalah salah satu praktik populer dalam Tasawuf yang sama sekali tidak disinggung dalam bingkai gambaran positif al-Makkī.
- Ziyārah (Ziarah Kubur): Pembedaannya yang tegas antara ziarah yang disyariatkan (untuk mengingat kematian) dan ziarah yang terlarang (untuk mencari berkah, membangun bangunan megah di atas kubur, atau melakukan perjalanan khusus untuknya), yang menjadi dasar kultus makam para wali dalam tradisi Sufi.
Muḥammad ibn ‘Abd al-Wahhāb
Al-Makkī menyajikan pengakuan umum Ibn ‘Abd al-Wahhāb tentang adanya “kaum Sufi”. Namun, ini mengabaikan fakta bahwa seluruh proyek reformisnya adalah perang langsung melawan praktik-praktik dominan yang dipengaruhi Sufi di Najd pada abad ke-18. Fokus utamanya adalah:
- Penghormatan atas Kuburan: Misi utamanya adalah penghancuran makam dan kuil yang dihormati oleh penduduk setempat, yang ia pandang sebagai bentuk penyembahan berhala.
- Samā‘: Kecamannya terhadap praktik Sufi seperti zikir berjamaah sebagai bid‘ah.
- Kasyf al-Syubuhāt: Seluruh risalahnya adalah sanggahan terhadap argumen-argumen yang digunakan untuk membenarkan perantaraan melalui para wali, yang merupakan jantung dari kesalehan Sufi populer.
Dengan menyoroti afirmasi para imam terhadap definisi Tasawuf sebagai penyucian jiwa (tazkiyah) yang sesuai syariat, al-Makkī membangun sebuah argumen yang meyakinkan. Namun, argumen ini secara efektif menciptakan straw man. Kritik Salafi modern, dan juga kritik historis dari Ibn Taimiyyah dan Ibn ‘Abd al-Wahhāb, tidak ditujukan pada model asketisme awal yang ideal ini. Sebaliknya, kritik mereka menargetkan realitas Tasawuf institusional yang terwujud dalam bentuk tarekat, pemujaan terhadap syeikh, kultus makam, dan Tasawuf falsafi yang diusung oleh al-Ḥallāj dan Ibn ‘Arabī. Dengan demikian, buku ini berhasil membuktikan bahwa para imam Salafi tidak menentang kesalehan batin, tetapi gagal, dan bahkan cenderung mengaburkan, penentangan mendasar mereka terhadap praktik-praktik yang justru mendefinisikan konflik Salafi-Sufi saat ini.
Gambaran Tasawuf yang Lebih Lengkap
Karya al-Makkī kurang memberikan konteks bahwa Tasawuf yang dihadapi para imam bukanlah sebuah entitas monolitik. Sejarah menunjukkan evolusi dari praktik zuhd (asketisme) sederhana pada abad-abad pertama Islam menjadi doktrin-doktrin sistematis yang lebih kompleks pada abad ke-3 H/9 M dan seterusnya. Spektrum ini terbentang dari asketisme yang dipuji oleh para imam hingga ‘monisme filosofis’ yang mereka kutuk.
Sintesis Deobandi (?)
Latar belakang penulis memberikan kunci penting untuk memahami tujuan karyanya. Syaikh al-Makkī adalah seorang khalīfah terkemuka dari Syaikh Muḥammad Zakariyyā al-Kandahlawī, seorang tokoh sentral dalam gerakan Deobandi.
Deobandisme dan “Jalan Tengah”
Aliran Deobandi merupakan sebuah sintesis unik dalam Islam Sunni. Ia menggabungkan kepatuhan yang ketat pada mazhab fikih Ḥanafī dan fokus skripturalis pada Hadis (mirip dengan Salafi) dengan kerangka kerja praktis dan institusional Tasawuf (kepatuhan pada tarekat seperti Chishti, Naqsyābandī, dll.). Para ulama Deobandi memandang Tasawuf sebagai “jiwa” dari Syariah, yang esensial untuk kesalehan sejati, tetapi mereka bersikeras bahwa ia harus sepenuhnya tunduk pada norma-norma skriptural.
Apologetika Deobandi
Gerakan Deobandi menghadapi polemik dari dua arah; dari kalangan Barelvi dan Sufi tradisional lainnya yang menuduh mereka “kering” dan berbau Wahhabi karena menolak praktik seperti Mawlid, dan dari kalangan Salafi yang menuduh mereka melakukan bid‘ah karena mengikuti tarekat. Buku al-Makkī adalah intervensi strategis dalam konflik kedua, dengan audiens utamanya adalah Muslim yang cenderung Salafi.
Versi “Tasawuf” yang diperjuangkan al-Makkī, yang secara ketat didefinisikan sebagai tazkiyah yang terikat syariat dan secara eksplisit menolak monisme filosofis serta “inovasi” populer, adalah cerminan dari model Tasawuf Deobandi. Oleh karena itu, argumen buku ini bukan sekadar pembelaan umum terhadap Tasawuf. Ini adalah pembelaan terhadap konsepsi Deobandi tentang Tasawuf. Dengan menunjukkan bahwa para imam Salafi mendukung model Tasawuf yang sangat mirip dengan model Deobandi, al-Makkī secara implisit melegitimasi tradisinya sendiri di mata para pengkritiknya dari kalangan Salafi. Dengan demikian, buku ini bukanlah karya sejarah murni, melainkan sebuah karya apologetika teologis kontemporer yang ‘sophisticated’.
Kontribusi utama buku ini adalah koreksinya atas polemik biner Salafi-Sufi. Ia mendorong diskusi yang lebih berbasis teks dan berfungsi sebagai dokumen penting yang mewakili salah satu untaian utama pemikiran Sunni modern (Deobandi).
Tapi perlu dicatat, buku ini cenderung polemis, yang mengarah pada penghilangan dan dekontekstualisasi signifikan seperti yang dirinci sebelumnya. Buku ini menyajikan sejarah parsial, berfokus pada titik-titik kesepakatan sambil mengabaikan ketidaksepakatan fundamental yang sebenarnya mendefinisikan konflik historis tersebut.
Karya al-Makkī dapat ditempatkan dalam dialog dengan karya-karya akademis Barat yang lebih kritis-historis. Sarjana seperti Yahya Michot (w. 2025), Ovamir Anjum, Arjan Post, dan Jon Hoover juga menentang label “anti-Sufi” yang disederhanakan untuk Ibn Taimiyyah. Namun, mereka melakukannya dengan menunjukkan keterlibatan Ibn Taimiyyah yang mendalam dan kompleks dengan seluruh tradisi Sufi, termasuk aspek-aspek filosofisnya, yang ia coba sanggah atas dasar rasional dan skriptural. Berbeda dengan al-Makkī yang hanya menyajikan Ibn Taimiyyah sebagai pendukung Tasawuf “yang baik”, para akademisi ini menggambarkannya sebagai seorang lawan teologis yang tangguh yang menganggap Tasawuf (termasuk tokoh seperti al-Ḥallāj dan Ibn ‘Arabī) cukup serius untuk dilibatkan dalam sanggahan yang rinci dan sistematis. Perspektif akademis ini memberikan gambaran yang lebih lengkap tentang Ibn Taimiyyah sebagai seorang reformis kritis, bukan sekadar pendukung selektif.
Sufism and the Imams of the Salafi Movement karya Syaikh ‘Abd al-Ḥāfiẓ al-Makkī adalah sebuah karya polemik teologis yang penting. Buku ini berhasil menunjukkan bahwa para punggawa intelektual Salafi tidak menentang konsep penyucian batin (tazkiyah) dan sangat menghormati para zuhhād dalam Islam.
Namun, kegagalan kritisnya terletak pada penggunaan bukti yang selektif. Dengan mendefinisikan Tasawuf dalam kerangka sempit tradisi Deobandi-nya sendiri dan dengan menghilangkan sanggahan mendasar para imam terhadap doktrin dan praktik inti Tasawuf institusional dan populer (seperti Waḥdat al-Wujūd, tawassul melalui orang mati, dan kultus makam), buku ini menyajikan gambaran yang secara keliru tampak harmonis.
Pada akhirnya, buku ini lebih merupakan argumen untuk legitimasi model spesifik “Tasawuf yang patuh Syariah” daripada sebuah penelitian historis yang netral. Meskipun berharga sebagai koreksi terhadap retorika anti-Sufi yang ekstrem, buku ini tidak menyelesaikan konflik teologis dan hukum fundamental yang telah mendefinisikan hubungan Salafi-Sufi selama berabad-abad. Ia adalah sebuah teks primer yang esensial untuk memahami perdebatan tersebut, tapi bukan kata akhir dalam perdebatan itu sendiri.
Wallāh A‘lam bi al-Ṣawāb

