Jelang lebaran seperti ini, joke-joke “kaleng monde isi rengginang” mulai bertebaran di media sosial. Entah sejak kapan joke itu muncul dan entah siapa pencestusnya. Namun, sepertinya ada keresahan kolektif yang dirasakan orang-orang terhadap fenomena “kaleng monde isi rengginang” ini.
Bisa dimaklumi memang, orang-orang itu mungkin merasa tertipu. Ketika bertamu dan melihat kaleng monde, tentu ekspektasinya bisa memamah biskuit monde yang enak itu. Tapi ketika dibuka, blaik, isinya kok rengginang. Momen itu niscaya akan menjadi momen yang canggung: tidak dilambil kok tidak enak sama tuan rumah, karena sudah terlanjur dibuka, mau diambil tapi kok tidak sesuai ekspektasi. Dilema.
Orang-orang pun menyeru di media sosial “jangan ada kaleng monde isi rengginang di antara kita!”. Atau “masukkan rengginang dalam toples bening demi kemaslahatan bangsa!”. Keresahan terlihat nyata seolah gerakan memasukkan rengginang dalam kaleng monde/khong guan/tango adalah suatu gerakan yang terstruktur, sistematis dan masif. Padahal tidak semua ruma melakukan hal itu.
Mestinya kasus memasukkan rengginang dalam kaleng monde ini dibaca dengan isu lingkungan. Kita harus berbaik sangka, bahwa pelakunya amat sangat peduli lingkungan. Daripada kaleng monde dibuang dan menjadi sampah, tidak ada salahnya dimanfaatkan ulang untuk mengemas rengginang. Toh kaleng monde itu masih bersih di higienis.
Hanya saja, kadang saya bertanya-tanya, apa yang salah dengan rengginang? Seolah ia menjadi pesakitan di setiap lebaran. Bukankah rengginang adalah makanan yang tak buruk-buruk amat rasanya? Apalagi jika digoreng dengan tingkat kematangan yang pas dan kerenyahannya terjaga.
Rengginang adalah kearifan lokal, sangat khas Indonesia. Ia menjadi pelengkap, di antara biskuit-biskuit kaleng yang praktis, mudah didapat dan biasanya berasa manis. Kerenyahan rengginang dipercaya dapat menghangatkan obrolan kala silaturahmi lebaran. Memakan rengginang dalam jumlah banyak, ditambah teh hangat, diyakini juga cukup mengenyangkan. Beda dengan menyantap biskuit kaleng.
Soal biskuit kaleng, tampaknya kini makin memenuhi meja-meja di hari lebaran, terutama di perkotaan. Dulu, saya ingat, sebelum lebaran ibu saya masih sempat menggoreng kacang, emping dan mete untuk disuguhkan. Bahkan di rumah buyut saya, selalu tersaji tape dan rempeyek yang khas dan jadi favorit. Untuk minuman, rasanya orang dulu masih sempat menyajikan sirup dan teh kepada tetamu saat lebaran, sekarang mulai digantikan air mineral atau sari buah atau teh dalam gelas yang disusun di meja. Minuman instan dalam kemasan itu kadang cuma diminum sedikit dan tidak dihabiskan.
Kembali ke rengginang. Yang dipersoalkan orang-orang sepertinya memang bukan soal rasa rengginang yang tidak enak. Juga bukan tentang rengginang yang dianggap makanan kelas dua, yang kastanya lebih rendah dari biskuit atau wafer kaleng. Yang bikin mereka kesal adalah perasaan “tertipu”, bahwa antara isi dan kemasan tidaklah sama.
Namun, bukankah “tipuan” semacam itu sebetulnya sering mereka temukan di kehidupan mereka. Orang berjubah dan bersorban tapi gemar mencaci maki. Berbaju koko tapi perilaku tidak islami. Kemasannya agamawan tapi isinya preman. Kepala daerah yang mengaku pro rakyat tapi korupsi. Dan masih banyak contoh lain tentang kemasan yang tidak sesuai dengan isinya.
Jadi, kita tidak perlu kaget-kaget amat saat bertemu kaleng monde isi rengginang. Toh kita sudah terlatih dan terbiasa menjumpai hal-hal serupa di kehidupan sehari-hari.
Akhirul kalam, selamat mudik. Selamat menggoreng rengginang.