Sukoharjo, 25 Oktober 2025 — Upaya membangun desa yang ramah bagi perempuan dan anak membutuhkan kesadaran kolektif dari berbagai unsur masyarakat. Semangat inilah yang menjadi dasar terlaksananya Workshop Penguatan Peran Perempuan dalam Membangun Desa Layak Anak melalui Kebijakan Inklusif Berbasis Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak (DRPPA). Kegiatan tersebut merupakan hasil kolaborasi antara Lakpesdam PWNU Jawa Tengah dan Program Pengabdian kepada Masyarakat UIN Raden Mas Said Surakarta.
Kegiatan ini berlangsung di Gedung Pascasarjana UIN Surakarta dan diikuti oleh berbagai unsur organisasi keagamaan seperti IPNU-IPPNU, Fatayat, Muslimat, dan Ansor dari Sukoharjo. Dalam sambutannya, Khairul Imam, M.S.I., selaku Koordinator Kerja Sama dan Pengembangan Lembaga Lakpesdam PWNU Jawa Tengah, menegaskan pentingnya sinergi lintas elemen untuk membangun desa yang inklusif dan berpihak kepada kelompok rentan.
“Desa yang ramah perempuan dan peduli anak tidak akan pernah terwujud tanpa keterlibatan banyak pihak,” ujarnya. “Kita perlu membangun kesadaran bahwa perempuan dan anak bukan hanya penerima kebijakan, tetapi juga subjek aktif dalam proses pembangunan desa.” Tegasnya.
Workshop ini dikemas secara partisipatif dan interaktif, menghadirkan narasumber yang kompeten yakni Maria Sucia selaku Faounder Daur Resik dan tergabung dalam aktivis perempuan muda Indonesia (FAMM) suasana berjalan kondusif, bahkan hidup antara peserta dan narasumber. Maria Sucia, yang menjadi narasumber utama, mengajak peserta untuk membayangkan dan menggambar wujud “desa ideal” yang benar-benar ramah bagi perempuan dan anak.
Peserta dibagi dalam kelompok kecil dan diberi kesempatan untuk berdiskusi serta menuangkan gagasan mereka dalam bentuk peta konsep. Setiap kelompok kemudian melakukan “kunjungan desa”, berkeliling ke kelompok lain untuk berdialog, bertanya, dan memberi tanggapan terhadap ide-ide yang muncul dari kelompok lain. Interaksi ini memunculkan refleksi bersama tentang pentingnya kolaborasi sosial dalam membangun lingkungan yang aman, adil, dan berperspektif gender.
Suasana kegiatan semakin dinamis ketika narasumber memandu permainan ringan berbentuk kuis yang menguji pandangan peserta tentang isu-isu sosial dan usia anak. Pertanyaan semacam “Apakah anak diperbolehkan menikah di usia 17 tahun?” atau “Apakah seorang anak diperbolehkan bekerja diusian 15 tahun?” dan pertanyaan menarik lainnya seputar anak.
Hal demikian yang menjadi pemantik bagi peserta untuk menimbang ulang nilai-nilai sosial yang selama ini hidup di masyarakat. Diskusi berkembang menjadi ruang belajar kritis, di mana para peserta berani mengemukakan pandangan dan merefleksikan realitas sosial di sekitar mereka.
Setelah sesi diskusi dan kunjungan antarkelompok, dua kelompok diminta mempresentasikan hasil karyanya di depan peserta lain. Mereka menjelaskan bagaimana desa ideal menurut perspektif masing-masing, yang tidak hanya menempatkan perempuan dan anak sebagai penerima manfaat, tetapi juga sebagai penentu arah kebijakan di tingkat lokal. Narasumber kemudian menutup sesi dengan refleksi yang menyentuh keseharian, seperti persoalan menstruasi pada remaja dan pentingnya komunikasi yang asertif antara orang tua dan anak. Ia mengajak peserta untuk berpikir ulang tentang cara pandang yang sering kali membatasi ruang gerak perempuan dan anak dalam kehidupan sosial.
“Perubahan sosial tidak akan terjadi jika kita hanya diam dan merasa cukup dengan keadaan yang ada. Dibutuhkan keberanian untuk berpikir ulang dan mengubah pola pikir bersama,” ungkapnya.
Ia juga menjelaskan tig akelas dalam kerangka perubahan sosial, dengan mengingatkan pentingnya memahami tiga kelas transformasi sosial yang saling berkaitan: pertama, Power (kekuatan atau posisi) bagaimana masyarakat membangun struktur kekuasaan yang adil dan partisipatif; kedua, prestise (wibawa) bagaimana nilai dan penghormatan sosial diberikan berdasarkan kontribusi dan integritas; ketiga, Privilege (keistimewaan) bagaimana hak dan peluang tidak hanya dimiliki oleh sebagian, tetapi dapat diakses oleh semua, termasuk perempuan dan anak.
Kegiatan ini menjadi ruang perjumpaan ide dan semangat antara akademisi, aktivis, dan masyarakat. Kolaborasi antara Lakpesdam PWNU Jawa Tengah dan UIN Raden Mas Said Surakarta bukan hanya simbol kerjasama kelembagaan, tetapi juga bentuk nyata komitmen bersama dalam mengarusutamakan nilai-nilai keadilan, kesetaraan, dan kepedulian sosial. Melalui Workshop ini, harapan untuk mewujudkan Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak bukan sekadar wacana, tetapi langkah awal menuju gerakan sosial yang berkelanjutan dan berpihak pada kemanusiaan.
Dalam tambahan keterangan, M Zainal Anwar, M.S.I, Ketua Lakpesdam PWNU Jawa Tengah mengatakan bahwa kegiatan ini merupakan tindak lanjut dari diskusi sebelumnya yang digelar di IPMAFA Pati dalam acara Forum Kader NU Jawa Tengah yang ke-3 dengan tema utama “Ramah Anak dan Perempuan dalam Kajian Fiqh Sosial.”
Kegiatan worksop Desa Layak Anak ini sangat strategis karena mayoritas pesantren terletak di pedesaan. “Lokasi pesantren mayoritas di pedesaan. Jika suatu desa layak anaka, secara ekosistem tata kelola, maka kehidupan di desa dan pesantren sama-sama memiliki visi daerah yang layak anak dan juga perempuan,” tegas M Zainal Anwar yang juga dosen prodi Pemikiran Politik Islam UIN Raden Mas Said Surakarta.

