Alfin Miftahul Khairi*

Bulan Ramadan yang suci tercoreng dengan aksi perusuh di tanggal 21-22 Mei, kemarin. Dilansir cnnindonesia.com (24/5), jumlah perusuh yang ditangkap saat demo yang berujng aksi anarkis berjumlah 441 orang. Polisi masih memilah-milih peran dari jumlah ratusan tersebut mana yang pelaku lapangan, operator dan aktor intelektual.

Polisi juga telah mengidentifikasi jika sebagian dari perusuh tersebut merupakan preman Tanah Abang yang mendapatkan bayaran mulai dari Rp100-300 ribu per hari. Sedangkan sisanya berasal dari luar DKI Jakarta seperti Jawa Barat dan Banten. Kerusuhan pada 21-22 Mei itu terjadi di sejumlah lokasi antara lain di depan gedung Bawaslu Jalan MH Thamrin, Asrama Polisi di Petamburan dan Flyover Slipi, Gambir.

Banyaknya senjata yang ditemukan di tangan perusuh menambah dugaan kuat aparat kepolisian bahwa aksi tersebut sudah jauh-jauh hari dipersiapkan dengan matang. Bahkan ada empat orang perusuh yang positif menggunakan narkoba (detik.com, 24/5). Dan juga sebagian bertatto dengan beragam gambar rajahan di tubuh. Kemudian muncul pertanyaan sederhana dari saya pribadi, benarkah mereka pendukung capres-cawapres 01 dan 02?

Mari kita flashback di tahun 2017. Indonesia dikagetkan dengan terbongkar dan terungkapnya sindikat kelompok pelaku kejahatan siber yaitu Saracen oleh Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri. Tiga orang ditetapkan sebagai tersangka yaitu Jasriadi (32), Muhammad Faizal Tanong (43), dan satu orang perempuan, Sri Rahayu Ningsih (32). Ketiganya ditangkap di tiga lokasi yang berbeda-beda. Riau, Jakarta Utara dan Cianjur.

Saracen terkenal dengan kelompok penyebar berita hoax, SARA dan ujaran kebencian. Tujuan utama dari kelompok ini adalah ekonomi semata. Kelompok Saracen menetapkan tarif puluhan juta dalam proposal yang ditawarkan ke sejumlah pihak. Tidak tanggung-tanggung, Rp. 72 juta per paket. Rinciannya sebagai berikut; Rp. 15 juta untuk biaya pembuatan situs, Rp. 45 juta per bulan untuk membayar sekitar 15 buzzer, Rp. 10 juta untuk ketua Saracen, Jasriadi, dan sisanya biaya untuk membayar orang-orang yang disebut wartawan.

Untuk menyebar berita propaganda kebohongan, kelompok Saracen mempunyai akun lebih dari 2000 akun media sosial. Pihak kepolisian menambahkan bahwa akun yang tergabung dalam jaringan kelompok Saracen berjumlah lebih dari 800.000 akun. Berita yang dimuat di situs tersebut disesuaikan dengan pesanan. Karena pesanan, dapat dipastikan berita tersebut jauh dari unsur-unsur dan etika jurnalistik.

Ditangkapnya kelompok Saracen seakan tidak membuat rakyat Indonesia sadar bahwa kita seperti diadu domba. Terutama untuk mereka yang fanatik dalam mendukung calon presidennya. Orang ketiga selalu membahayakan, tidak tampak tapi selalu mengawasi keadaan. Mereka diciptakan seakan membuat onar, kericuhan dan chaos di negeri ini.

Layaknya kelompok Saracen, aktor intelektual dari peristiwa kerusuhan 21-22 Mei tersebut mungkin sekarang sedang tertawa terpingkal-pingkal. Aksi yang dibuatnya sukses besar. Indikatornya adalah semua elit politik menuduh lawan politiknya masing-masing dibalik hasrat politiknya akan kekuasaan. Yang berada di akar rumput tidak mau kalah, semua saling menuduh, mencaci membabi-buta dan tidak terkontrol.

Tidak ada yang berpikir bahwa ada dalang dibalik semua ini. Bulan Ramadan seakan tidak berguna untuk mengurangi diri untuk membenci, hati untuk berbaik sangka dan perilaku yang jauh dari apa yang dicontohkan oleh Nabi Muhamad saw. Benar sabda nabi, bahwa jihad melawan hawa nafsu adalah hal terberat yang dihadapi oleh umat manusia. Terutama untuk umat muslim saat ini di negeri tercinta.

Harus ada langkah konkrit dari para elit politik, negarawan, tokoh masyarakat dan agamawan dari semua unsur agama untuk meredam kegaduhan yang terjadi saat ini. Jangan sampai Indonesia hancur lebur seperti apa yang terjadi di Timur Tengah. Untuk Anda yang sedang membaca tulisan ini, mari sebarkan perdamaian dimulai dari orang-orang terdekat Anda. Bukankah damai itu indah? Selamat berpuasa.

*Aktif mengajar di jurusan Bimbingan Konseling Islam, IAIN Surakarta.

Komentar