Sebagai sebuah bacaan penyemai imajinasi dan penutur petuah tanpa kelewat didaktis, sastra anak mempunyai posisi khusus dalam khazanah literer. Sastra anak—yang memang menyasar kalangan kanak—menjadi pemantik nalar imajinatif bagi mereka yang masih meraba dan merasa realita. Dari sudut pandang ini, sastra anak tentunya tak bisa dilepaskan dari perkembangan pikiran dan jiwa anak-anak.

Sastra anak mempunyai langgam narasi dan gaya bahasa yang beda dengan sastra orang dewasa. Orang-orang kerap menyebut hal ini sebagai sastra serius. Bahasa figuratifnya lebih sederhana dan akrab bagi mereka sesuai kategori usia. Nasihat konstruktifnya menggiring mereka dalam menentukan dan memandang laku sehari-hari.

Satu buku di antara sedikit teks yang menyoroti isu sastra anak di Indonesia adalah Menafsir Sastra Anak (Nomina, 2024) garapan Yulita—sapaan akrab Yulita Putri. Buku ini mengulas beberapa prosa kanak, baik dari dalam maupun luar negeri. Yulita tampak tekun dalam bertungkus lumus dengan prosa anak dengan beragam latar spasial dan temporal.

Yulita menelisik bagaimana penokohan dan bentang cerita di dalam prosa anak. Melalui penulisan ulasan susastra anak—yang mungkin masih terus berlanjut setelah buku ini terbit—Yulita mampu memetakan tautan cerita secara intertekstual dengan apa-apa yang ada di luar teks.

Sekian ulasan di buku ini mempunyai jangkar referensi yang kuat. Penulisnya, Yulita, tak ingin pembaca hanya mendapat gambaran dari teks semata tanpa rujukan karya lain.

Teks referensial ini dapat berupa buku, puisi, film sampai lagu.

Dengan pencantuman sumber lain, Yulita seperti mempertontonkan pembaca karnaval yang megah dan meriah di jalan protokol, meski kelewat riuh. Inilah salah satu kekuatan dari catatan Yulita.

Yulita menulis catatan dan komentar untuk merekam pengalaman membaca sekaligus menjenguk kembali keping-keping ingatan masa lampau. Dengan sadar, Yulita menulis di pengantar bahwa “dunia anak sangat mengasyikkan.”

Sebagai pembaca (sudah) dewasa, tentu saja ada semacam panggilan naluriah untuk melirik apa-apa yang tersimpan di laci sejarah, yang terekam di memori ingatan. Sebuah perasaan yang mungkin dirasakan pula oleh para pembaca dewasa di luar sana, yang kangen pada masa kecil.

Selain ajang dialog personal, Yulita juga turut memberi kritik dan saran bagi pemajuan sastra anak di Indonesia. Yulita menemukan bahwa beberapa sastra anak justru tidak ramah anak.

Pasalnya, beberapa cerita menampilkan problematika seperti sisi gelap citra perempuan dan bias gender yang kontras. Dengan memaparkan simptom ini, Yulita mengatakan bahwa sastra anak bisa jadi sangat politis: sastra anak dapat jadi perpanjangan tangan orang dewasa yang hendak menyuntikkan sudut pandang tetapi agaknya mengkotak-kotakkan dan belum cocok bagi mereka.

Satu esai-ulasan dalam buku ini pun menyinggung soalan buku anak impor. Ya, buku anak yang ditulis oleh penulis dari luar negeri. Buku-buku anak menghamparkan kisah-kisah dari negeri nun jauh di seberang menghadirkan fragmen cerita dan kondisi geografis yang beda.

Terang saja, sekian kisah melukiskan butiran salju, cerobong asap, serigala, gaun anggun, hidangan penutup, sampai kastil.

Beberapa hal ini, menurut Yulita membuat pembaca dalam negeri (baca: Indonesia) merasa terpengarah dan tertarik. Dengan penerjemahan yang masif dan elemen cerita yang tak mungkin dijumpai di Indonesia, Yulita menganggap sastra anak terjemahan bukan hanya terbit rasa kagum, tetapi juga pengkultusan atasnya. “Yang lokal,” tulis Yulita, “dianggap tertinggal, membosankan dan menggurui.”

Secara keseluruhan, buku ini menarik pembaca lebih dekat dengan sastra anak dan wacana-wacana yang melingkupinya. Sastra anak, bagi Yulita, memang pantas mendapat sorotan dan tanggapan untuk lebih membumi, merengkuh secara hangat setiap pembaca anak dari pelosok negeri.

 

Tentang Buku

Penulis: Yulita Putri 

Penerbit : Nomina Ide Karya 

Cetakan : Pertama, 2024 

Tebal : 145 halaman 

ISBN: 978-623-89006-6-4

Komentar