Seruan pada rasionalisme membuka gerbang untuk masuk ke dalam yang disebut era modern. Berpikir secara rasional dianggap jalan untuk membuka belenggu-belenggu kebodohan dan stagnansi dalam kegelapan zaman pertengahan, terutama di Eropa. Tak dipungkiri, ia menuntut manusia modern menuju penemuan-penemuan ilmiah baru, teknologi-teknologi canggih, dan kendali manusia yang semakin mencengkeram atas dunia.

Pada gilirannya, dominasi rasionalisme tak hanya berlangsung pada hal-hal duniawi: agama pun ia ketuk. Mulai bertebaran ajakan “beragama secara rasional.” Sepintas, tampak tak ada yang salah. Agama menyerukan pada penggunaan akal pikiran untuk memahami Tuhan dan menciptakan tatanan dunia yang baik. Tapi, apakah agama sebatas demikian?

Karen Armstrong lewat bukunya The Lost Art of Scripture (terj: Seni yang Hilang dari Kitab Suci) menantang anggapan ini. Ia menekankan sisi holistik agama yang tak semestinya direduksi dengan rasionalisme. Kitab Suci sebagai wahyu ilahi mesti dipandang secara visioner, imajinatif, dan spiritual alih-alih analitikal semata. Dengan demikian, Kitab Suci dapat hidup abadi di benak penganutnya sebagai tuntunan hidup ilahi yang penuh makna. Buku ini menegaskan bahwa agama beserta Kitab Sucinya tidak dapat dipersempit sebagai doktrin-doktrin analitikal semata, melainkan pengalaman hidup yang perlu dirasakan.

Armstrong menyuguhkan ide besarnya yang dapat saya katakan terangkum dalam pendahuluan. Pendahuluan ini dimulai dengan membahas otak kiri dan otak kanan serta fokus kerja masing-masing bagian, di mana kerja-kerja ilmiah dan kemajuan zaman menjadikan otak kiri lebih diunggulkan. Terutama di Barat, makna transformatif agama akan kemanusiaan kian termarjinalkan sebab dianggap tak rasional dan tak berdampak pada kemajuan zaman yang menggantungkan diri pada otak kiri. Dominasi otak kiri yang juga merembet pada pembacaan Kitab Suci menuntun pembacanya baik pada fundamentalisme ataupun skeptisisme yang, pada gilirannya, dapat memarjinalkan sisi spiritual dan visi holistiknya.

Ia lewat buku ini berupaya mengembalikan posisi otak kanan dalam kehidupan beragama. Kitab suci perlu dibaca, bukan semata analitis, secara emosional dengan mendayagunakan otak kanan. Karena itu, dalam sebagian besar tradisi agama, Kitab suci kerapkali dibaca dengan nyanyian yang indah dipadukan dengan gerakan badan untuk menghadirkan nuansa pengalaman mistik. Ritus-ritus ibadah, terutama, seringkali tak dapat dicerna dalam kerangka kerja otak kiri, tapi, justru di situlah letak urgensinya. Ritus ibadah menghadirkan estetika dan pengalaman magis nan mistis yang tak dapat dihadirkan oleh proses kognisi otak kiri.

Demikian pula mitos dalam agama. Kendati sering kali dianggap tak masuk akal, mitos dalam catatan Armstrong tidak dimaksudkan untuk dipahami secara literal maupun analitis, melainkan agar para penganut agama menangkap makna transformasi radikal bagi pikiran dan hati mereka.

Keberadaan mitos kerap kali ditujukan agar ia hidup sebagai cerita untuk ditarik maknanya ke dalam kehidupan umat beragama pada zaman yang mereka jalani. Ini juga yang menjadi titik sentral pembacaan Kitab Suci menurut Armstrong: agar dapat membacanya secara otentik, Kitab Suci mesti dibaca secara kreatif dan imajinatif untuk ditempatkan secara relevan layaknya ia berbicara pada zaman kita. Dengan demikian, nostalgia masa lalu bukanlah maksud dari membaca Kitab Suci karena relevansi adalah kunci.

Armstrong kemudian melanjutkan ke bagian ekplorasi khazanah keagamaan dunia secara kultural dan historis. Dalam bagian ini, ia benar-benar menunjukkan dirinya bagai ensiklopedia berjalan dalam bidang studi agama. Ia mengajak pembaca untuk menengok kembali tradisi keagamaan besar di penjuru dunia, relasinya dengan ide-ide historis kultural yang meliputinya, faktor politik yang sedikit banyak turut andil dalam perkembangan ide keagamaan, dan keterhubungannya dengan “kitab suci” dan yang ilahiah. Bagian ini hendak menekankan bahwa agama senantiasa hidup karena ia terjalin erat dengan relevansi umat pada masa itu, terutama saat ia dibutuhkan sebagai orientasi hidup, baik secara personal maupun sosial.

Setelahnya, penulis kelahiran Irlandia ini memfokuskan pembahasan pada Kekristenan Barat yang, meskipun telah menorehkan kemajuan peradaban dan berkontribusi banyak dalam perubahan besar, agaknya kehilangan orientasinya. Revolusi radikal sains, yang mulanya sebagai upaya pembebas belenggu dari dominasi Gereja, telah memberi porsi berlebih kepada otak kiri sehingga kini mereka tergagap-gagap dalam menangkap pesan religius melalui otak kanan.

Akibatnya, interpretasi literal yang juga membangkitkan fundamentalis Kristen bermunculan. Agama Kristen di Barat mulai kehilangan daya tarik mengikuti pudarnya interpretasi kreatif yang relevan dari umatnya. Fenomena ini, lanjut Armstrong, turut memengaruhi budaya dan agama lain di Timur yang memiliki pandangannya sendiri terhadap Kitab Suci dan ketuhanan.

Pada akhirnya, Karen Armstrong mengajak kita mempertanyakan relevansi kitab suci dengan dunia yang kita tinggali saat ini. Adakah dia menyajikan nilai-nilai keadilan sosial untuk menggapai dunia yang damai? Adakah dia memberi panduan etika politik yang arif bagi manusia dalam mengatur tatanan dunia? Bagaimana dan sudah cukupkah umat beragama mampu menangkap pesan kitab suci secara kreatif untuk membuatnya ‘berbicara’ di masa kini? Sejauh mana umat beragama menangkap dan merefleksikan pesan humanisme kitab suci bagi permasalahan di masa kini?

Buku ini ‘mendobrak’ paradigma pembacaan literal atas kitab suci dan menekan analisis-analisis otak kiri kita yang barangkali telah mendominasi alam bawah sadar sampai titik tertentu. Ia kembali mengajak kita mengapresiasi tradisi kegamaan yang barangkali tak tersedia presedennya di dalam literatur keagamaan namun sejatinya menuntun kita untuk dapat menangkap pesannya secara lebih menyeluruh sebagai pengalaman yang hidup, alih-alih pengetahuan yang jauh.

Buku tebal namun mengalir ini mengingatkan pada apa yang Ali Syariati sampaikan mengenai bahasa kitab suci. Baginya, mengapa Kitab Suci, khususnya al-Quran, diturunkan sebagiannya dengan model cerita dan sebagian lainnya mengandung kata-kata yang ambigu dan multimakna (musytarak) adalah agar ia senantiasa hidup melampaui zaman, terpatri dalam benak pembacanya, dan mampu dihidupkan lewat narasi-narasi sastrawi yang indah disbandingkan bila ia dituliskan secara runtut dan metodis yang justru akan mematikan nalar pembacanya.

Komentar