Di antara sekian banyak tokoh Islam yang kontroversial dan berpengaruh dalam sejarah pemikiran Islam, nama Ibn Taimiyyah (w. 1328) tetap berdiri sebagai figur yang keras, kokoh, namun juga paradoksal. Ia dikenal luas sebagai pengkritik tajam filsafat Yunani dan para filsuf Muslim, bahkan sering dianggap sebagai musuh utama filsafat dalam Islam. Namun, seperti yang dianalisa dan sampaikan Georges Tamer (2013) gambaran ini ternyata menyembunyikan lapisan-lapisan kompleks dalam warisan intelektual Ibn Taimiyyah.

Esai ini mencoba melihat bagaimana Ibn Taimiyyah yang tampak menolak filsafat justru tampil dalam diskursus kontemporer sebagai -ironisnya- seorang filsuf. Ia bukan hanya memerangi gagasan-gagasan filosofis, tetapi juga memanfaatkan perangkatnya, kadang mewarisinya, bahkan dalam beberapa kasus melampauinya. Apakah Ibn Taimiyyah seorang filsuf? Atau benarkah, seperti dikatakan Tamer, ia “meminum racun filsafat, mencernanya, kemudian berhasil meramunya menjadi madu”?(Tamer, 2013, p. 333)

Filsafat Yunani dan Tradisi Islam

Sejak awal, filsafat dalam tradisi Islam berakar dari proyek besar penerjemahan karya-karya Yunani ke dalam bahasa Arab. Tokoh seperti al-Fārābī dan Ibn Rusyd (Averroes) tidak hanya mengadopsi kerangka berpikir Plato dan Aristoteles, tetapi juga menjadikannya bagian dari pembangunan masyarakat Islam yang rasional. Bagi mereka, kebenaran wahyu dan kebenaran akal tidaklah bertentangan, bahkan bisa selaras.(Adamson, 2023; El-Rouayheb & Schmidtke, 2016; Rizvi, 2019)

Namun, gerakan ini tidak berjalan tanpa penentang. Kalangan mutakallim (teolog Muslim) seperti al-Asy‘arī dan kemudian al-Ghazālī, memandang filsafat Yunani sebagai ancaman terhadap kemurnian ajaran Islam. Al-Ghazālī memang memanfaatkan logika Aristoteles, namun ia juga meruntuhkan filsafat metafisika dalam karya monumentalnya, Tahāfut al-Falāsifah (Kerancuan Para Filsuf).(Al-Ghazālī, 2000) Dalam lanjutan arus ini, muncul Ibn Taimiyyah, yang tidak sekadar bersikap kritis, tetapi mengangkat senjata penuh terhadap seluruh bangunan filsafat logika dan metafisika Aristotelian.(Ibn Taimiyyah, 2005)

Kritik Radikal atas Logika Aristoteles

Kritik Ibn Taimiyyah yang paling monumental terhadap filsafat dapat ditemukan dalam dua karyanya: al-Radd ‘alā al-Manṭiqiyyin (Sanggahan terhadap Para Ahli Logika) dan Dar’ Ta‘āruḍ al-‘Aql wa al-Naql (Menolak Pertentangan antara Akal dan Wahyu).(Al-Jalaynid, 1988) Di sana, ia menegaskan supremasi al-Qur’an dan Sunnah sebagai satu-satunya sumber kebenaran, dan bahwa logika formal tidak layak dijadikan alat untuk membangun pengetahuan agama.

Bagi Ibn Taimiyyah, definisi dalam logika Aristoteles adalah metode yang menyimpang. Ia menolak konsep ḥadd taḥqīqī (definisi sejati), dengan alasan bahwa hakikat sesuatu tidak dapat ditangkap hanya melalui penyusunan genus dan diferensia. Ia berpandangan bahwa eksistensi di dunia nyata tidak pernah hadir dalam bentuk universal sebagaimana digambarkan dalam logika, melainkan dalam bentuk partikular dan spesifik.(Kazi, 2013)

Secara metodologis, Ibn Taimiyyah juga menolak silogisme. Menurutnya, silogisme tidak menghasilkan pengetahuan baru, tetapi sekadar mengulang pengetahuan yang sudah ada. Ia mengajukan metode alternatif berupa analogi (qiyās tamṡīlī), yang lebih dekat dengan metode para faqīh. Dengan demikian, epistemologi Ibn Taimiyyah lebih bersifat empiris dan kontekstual ketimbang abstrak-formalistik.(El-Tobgui, 2020).

Menjadi Filsuf saat Menolak Filsafat

Meskipun Ibn Taimiyyah secara eksplisit menolak filsafat, para sarjana Muslim kontemporer melihatnya sebagai filsuf besar dalam makna lain. Mereka tidak menilai filsafat dari loyalitas terhadap Aristoteles atau sistem metafisika tertentu, tetapi dari keberanian seseorang dalam menggunakan akal secara kritis dan konstruktif.

Contohnya, filsuf Mesir Muḥammad ‘Imārah menyebut Ibn Taimiyyah sebagai “filsuf Salafi” karena kemampuannya mengonstruksi sistem epistemologi Islam yang mandiri. Bahkan, sebagian sarjana menyebut bahwa kritik Ibn Taimiyyah terhadap logika mendahului gagasan-gagasan yang muncul dalam empirisisme Inggris; dari Francis Bacon, John Locke, hingga John Stuart Mill dan Bertrand Russell.(‘Imārah, 2011)

Tentu saja, kemiripan ini tidak menunjukkan bahwa Ibn Taimiyyah dipengaruhi oleh para pemikir Eropa itu. Sebaliknya, para penafsir modern melihat Ibn Taimiyyah sebagai pemikir orisinal yang tiba pada kesimpulan serupa melalui jalan yang berbeda. Ia dianggap sebagai nominalis karena menolak eksistensi entitas universal di luar pikiran. Ia juga disebut empiris karena menekankan pentingnya observasi dalam menghasilkan pengetahuan yang valid.

Ibn Taimiyyah dan Arrusydiyyah (Averroisme)

Lebih jauh, Georges Tamer menunjukkan sebuah tesis menarik: dalam banyak hal, Ibn Taimiyyah justru menampilkan sikap yang sejalan dengan Ibn Rusyd. Keduanya sama-sama menolak logika kalām dalam membuktikan eksistensi Tuhan, menolak pembedaan antara akal dan wahyu, dan menentang gagasan penciptaan dari ketiadaan secara mutlak.(Tamer, 2013)

Misalnya, dalam persoalan keabadian alam, Ibn Taimiyyah dan Ibn Rusyd menolak teori kalām tentang penciptaan waktu. Keduanya mengakui bahwa Tuhan menciptakan secara terus-menerus, dan bahwa tidak mungkin Tuhan pernah “tidak mencipta” lalu mulai mencipta. Keduanya juga menentang penolakan sifat-sifat Tuhan oleh teolog Asy‘ari, dan menekankan bahwa teks al-Qur’an tentang Tuhan “bersemayam di atas Arsy” harus dipahami apa adanya.

Kedekatan ini membuat sebagian sarjana, seperti ‘Abd al-Majīd al-Ṣaghīr, berani menyebut Ibn Taimiyyah sebagai “Averroist Timur” (Al-Rusydiyyah al-masyriqiyyah).(Tamer, 2013) Meskipun secara retoris Ibn Taimiyyah mengecam Ibn Rusyd, tetapi secara substantif banyak gagasan mereka sejalan. Bahkan bisa dikatakan bahwa Ibn Taimiyyah memperluas kritik Ibn Rusyd terhadap al-Ghazali dan para mutakallimūn.(Ahmed & Fouad, 2019; Hoover, 2018; Janssens, 2023).

Dari Kutukan Menjadi Pujian

Pergeseran besar terjadi dalam pembacaan terhadap Ibn Taimiyyah dalam abad ke-20 dan 21. Sebelumnya, ia dilihat sebagai fundamentalis yang kaku dan rigid, sumber inspirasi radikalisme, bahkan ideolog kekerasan. Namun kini, sejumlah pemikir Muslim dan Barat membalik narasi itu, Ibn Taimiyyah tidak lagi hanya pengutuk filsafat, tetapi ‘pemurni’ filsafat dalam Islam.(Al-Barīdī, 2021; Al-Marzūqī, 1996; Al-Samhūrī & Syukrī, 2020; Kügelgen & Anke, 2013; Sa‘d, 1989)

Bagi mereka, Ibn Taimiyyah bukan anti-rasional, melainkan ‘pembersih’ akal dari polusi metafisika Yunani. Ia tidak mengganti logika, tetapi meramu logika Islami berbasis pengalaman dan wahyu. Ia bukan musuh filsafat, melainkan penantang yang brilian. Seperti yang disimpulkan Tamer, Ibn Taimiyyah “meminum racun filsafat, tetapi racun itu justru menjadi penawar bagi umat Islam.”(Kügelgen & Anke, 2013; Tamer, 2013)

Dalam pembacaan semacam ini, Ibn Taimiyyah menjadi simbol bagi proyek Islamisasi ilmu pengetahuan; sebuah upaya menggali sistem epistemologi, etika, dan ontologi yang berakar pada al-Qur’an dan Sunnah. Ia menjadi patron bagi rasionalitas Islam yang tidak tunduk pada Barat maupun tradisi filsafat Yunani.

Penutup

Pada akhirnya, pertanyaan apakah Ibn Taimiyyah seorang filsuf tergantung pada bagaimana kita mendefinisikan filsafat itu sendiri. Jika filsafat berarti mengagungkan Aristoteles, tentu Ibn Taimiyyah bukanlah filsuf. Tetapi jika filsafat adalah keberanian berpikir mendalam, kritik terhadap sistem dominan, dan usaha membangun fondasi pengetahuan yang kokoh, maka Ibn Taimiyyah jelas seorang filsuf.

Ironi besar dari sejarah filsafat Islam adalah bahwa mereka yang paling keras terhadap filsafat justru menjadi bagian dari tradisi filosofis yang lebih besar. Al-Ghazālī, meskipun mengkritik para filsuf, tetap dianggap sebagai sufi, teolog, dan filsuf. Begitu juga Ibn Taimiyyah, sekalipun menolak sistem filsafat, ia tidak dapat dikeluarkan dari peta besar pemikiran Islam yang rasional dan filosofis.

Sejarah menunjukkan bahwa kutukan terhadap filsafat tidak selalu berakhir dengan kematian filsafat itu sendiri. Kadang, kutukan itu justru membuka jalan bagi kelahiran bentuk filsafat yang baru, yang lebih membumi, kritis, dan Islami. Dan dalam konteks ini, warisan Ibn Taimiyyah masih hidup dan berkembang dalam wacana filsafat Islam kontemporer.

 

Bahan Bacaan

‘Imārah, M. (2011). Maqām al-Aql ‘inda Syaikh al-Islām Ibn Taymiyyah. Maktabah Wahbah.

Adamson, P. (2023). Ibn Sina (Avicenna): A Very Short Introduction. OXFORD UNIVERSITY PRESS.

Ahmed, B., & Fouad. (2019). Ibn Rushd in the Ḥanbalī Tradition. Ibn Taymiyya and Ibn Qayyim al-Jawziyya and the Continuity of Philosophy in Muslim Contexts. The Muslim World, 109(4), 561–581.

Al-Barīdī, ‘Abd Allāh. (2021). Ibn Taimiyyah Failasūf al-Fiṭrah: Naḥwa Kabsalah al-Failasūf. Dār Aṡar.

Al-Ghazālī, A. H. (2000). Tahāfut al-Falāsifah (M. Marmura (Ed.)). Brigham Young University Press.

Al-Jalaynid, M. al-S. (1988). Dar’ Ta‘āruḍ al-‘Aql wa al-Naql li Syaikh al-Islām Ibn Taimiyyah. Markaz al-Ahrām li al-Tarjamah wa al-Nasyr.

Al-Marzūqī, A. Y. (1996). Iṣlāḥ al-‘Aql fi al-Falsafah al-‘Arabiyyah: min Wāqi‘iyyah Arisṭū wa Aflāṭūn ilā Ismiyyah Ibn Taimiyyah wa Ibn Khaldūn (2nd ed.). Markaz Dirāsāt al-Waḥdah al-‘Arabiyyah.

Al-Samhūrī, R., & Syukrī, ‘Abd al-Salām. (2020). Hal Kāna Ibn Taimiyyah Failasūfan Ismiyyan? Dirāsah Taḥlīliyyah Naqdiyyah fī Qirā’ah Abī Ya‘rub al-Marzūqī li Ibn Taimiyyah. Tabayyun: A Quarterly Peer-Reviewed Philosophical Studies and Critical Theories Journal, 8(31), 61–80.

El-Rouayheb, K., & Schmidtke, S. (Eds.). (2016). The Oxford Handbook of Islamic Philosophy (Vol. 1). Oxford University Press. https://doi.org/10.1093/oxfordhb/9780199917389.001.0001

El-Tobgui, C. S. (2020). Ibn Taymiyya on Reason and Revelation: A Study of Darʾ taʿāruḍ al-ʿaql wa-l-naql. Brill.

Hoover, J. (2018). Ibn Taymiyya’s Use of Ibn Rushd to Refute the Incorporealism of Fakhr al-Din al-Razi. In ed. (Ed.), Islamic Philosophy from the 12th to the 14th Century (pp. 469–491). Bonn University Press/V&R unipress.

Ibn Taimiyyah, A. ibn ’Abd al Ḥalīm. (2005). al-Radd ‘alā al-Manṭiqiyyīn (‘Abd al-Ṣamad Syaraf al-Dīn Al-Kubbī (Ed.)). Mu’assasah al-Rayyān.

Janssens, J. (2023). Ibn Taymiyya on Ibn Rushd in the Darʾ taʿārud․ al-ʿaql wa-l-naql (with Special Attention to His Quotations of Ibn Rushd’s Tahāfut al-tahāfut). In Contextualizing Premodern Philosophy (pp. 147–178). Routledge. https://doi.org/10.4324/9781003309895-9

Kazi, Y. (2013). Reconciling Reason and Revelation in the Writings of Ibn Taymiyya (d. 728/1328. Yale University.

Kügelgen, & Anke. (2013). The Poison of Philosophy: Ibn Taymiyya’s Struggle for and against Reason. In B. Krawietz & G. Tamer (Eds.), Debating (pp. 253–328). De Gruyter.

Rizvi, S. (2019). Philosophy in the Islamic World: A History of Philosophy Without Any Gaps Volume 3, by Peter Adamson. Intellectual History of the Islamicate World, 7(1).

Sa‘d, A.-Ṭablāwī M. (1989). Mauqif Ibn Taimiyyah min Falsafah Ibn Rusyd. Maṭba‘ah al-Amāna.

Tamer, G. (2013). The Curse of Philosophy: Ibn Taymiyya as a Philosopher in Contemporary Islamic Thought. In B. Krawietz & G. Tamer (Eds.), Islamic Theology, Philosophy and Law: Debating Ibn Taymiyya and Ibn Qayyim Al-Jawziyya (pp. 329–374). de Gruyter.

 

Komentar