Hidup selamat di dunia dan akhirat adalah dambaan setiap insan. Itu sebabnya al-Qur’an mengajarkan doa yang mengumpulkan seluruh kabaikan dunia dan akhirat, sehingga para ulama menyebutnya dengan doa sapu jagad. Doa itu berbunyi, “Rabbanâ âtinâ fid dun-yâ hasanah wa fil âkhirati hasanah”.(Q.S. al-Baqarah: 201). Kebaikan dalam kehidupan dunia-akhirat, dapat berarti memperoleh keselamatan dan kebahagiaan. Apapun profesi dan pekerjaan seseorang, ujung-ujungnya yang dicari adalah bahagia dan selamat. Agar kita selamat, tentunya kita bersedia menjalankan perkara yang mengantarkan kita kepada keselamatan.
Lalu apa hal yang menyelamatkan tersebut? Jawaban atas pertanyaan tersebut dapat kita temukan dalam sabda Nabi Saw sebagaimana dikutip dalam kitab Nasha’iul `Ibâd, karya salah seorang ulama Nusantara, Syeikh Nawawi al-Bantani. Kitab ini biasa dikaji di pesantren-pesantren di Indonesia, termasuk di Pesantren LSQ (Lingkar Studi al-Qur’an) ar-Rohmah Yogyakarta. Di dalam kitab tersebut ada hadis Nabi Saw yang menyatakan, Tsalâtsun munjiyatun (ada tiga perkara yang akan menyelamatkan). Hadis ini dinilai shahih oleh para ulama dan diriwayatkan Imam al-Bazar dari sahabat Anas Bin Malik.
Tiga perkara yang akan menyelamatkan seseorang itu adalah:
Pertama, khasyatullâh fi al-sirri wal `alâniyyah, (takut kepada Allah Swt, di saat sedang sendirian maupun ketika bersama orang lain). Sikap khas-yah ini (takut kepada Allah Swt) mendorong seseorang akan lebih hati-hati dan tidak sembrono dalam menjalani kehidupan, sehingga tidak mudah melakukan pelanggaran terhadap aturan syariat Allah Swt. Dalam al-Qur’an, frasa khasyatillah (takut kepada Allah) setidaknya disebut sebanyak empat kali. Salah satunya untuk mengsifati orang-orang yang beriman, seperti dalam Q.S. al-Mukminun 57 dan juga untuk mensifati makhluk yang lain, seperti gunung seperti dalam Q.S. al-Hasyr: 21.
Para ahli Antropologi, ada yang berkata bahwa benih-benih agama itu muncul bermula dari adanya rasa takut, yang kemudian mendorong seseorang untuk mencari pertolongan dan perlindungan kepada Dzat Yang Maha Kuasa. Dari situ lalu muncul kesadaran ber-Tuhan. Rupanya Tuhan memang memberikan rasa takut kepada manusia, justru sebagai proteksi bagi dirinya. Sikap takut kepada Allah Swt, menjadi proteksi bagi seseorang terhindar dari siksa neraka dan terhidar dari kehidupan yang merugikan dirinya. Bahkan sikap takut dalam pengertian lebih tertentu, juga merupakan proteksi bagi kehidupannya. Seandainya kita tidak ada rasa takut mati atau takut terjatuh atau tabrakan, niscaya kita tidak akan berhati-hati dalam mengendarai mobil atau motor. Nah, karena di dalam diri kita ada rasa takut terjadi kecelakaan, maka kita menjadi berhati-hati dalam mengendarai sepeda motor atau mobil.
Kedua, al-Qasdu fil faqri wal ghinâ (bersikap ekonomis dan moderat di saat miskin dan kaya). Artinya, seseorang tersebut tetap menjaga sikap moderasi (tengah-tengah) dalam memenej kehidupannya, tidak berlebih-lebihan. Sikap ekonomis sesungguhnya sikap yang moderat antara boros dan kikir. Boros dan menghambur-hamburkan harta untuk hal yang tidak ada gunanya jelas berbahaya dan dapat menjerumuskan kepada kebangkrutan ekonomi kita. Sebaliknya, kikir alias bakhil juga mengantarkan seseorang menjadi tidak memiliki kepedulian sosial.
Islam mengajarkan sikap moderasi tengah-tengah dalam membelanjakan harta. Jika kita ingin selamat, maka jangan boros dan jangan kikir dalam membelanjakan harta, sebagaimana dinyatakan juga dalam Surat al-Furqan, alladzîna idzâ anfaqû lam yusrifû walam yaqturû wa kâna baina dzâlika qawâma. (Q.S. al-Furqân: 67).
Salah satu ciri dari Ibadur Rahman (hamba yang dicintai Tuhan) adalah apabila mereka membelanjakan hartanya, mereka tidak berlebihan (boros) dan tidak kikir, melainkan bersikap tengah-tengah antara keduanya. Al-Qur’an juga melarang kita berlaku kikir yang digambarkan seperti orang yang membelenggu tangannya ke leher dan juga melarang membeberkan tangan semuanya, sebagai gambaran perilaku boros. (Q.S al-Isra: 29).
Ketiga, al-adlu fir ridlâ wal ghadlab (besikap adil baik di saat rida/senang maupun murka). Adil adalah prinsip utama dalam Islam yang harus dijaga, baik kepada diri sendiri maupun kepada orang lain, baik kepada teman maupun musuh. Al-Qur’an bahkan menyatakan bahwa berlaku adil adalah lebih dekat kepada taqwa. Semakin seseorang mampu berlaku adil, maka ia kan semakin tinggi derajat ketakwaannya.
Lalu apa itu adil? Para ulama berkata, adil adalah meletakkan sesuatu secara proprsional. Anda dikatakan adil manakala Anda mau memberikan hak kepada orang lain yang memang berhak menerimanya, dan tidak mengambil hak orang lain yang bukan hak Anda. Pesan Nabi Saw, agar kita berlaku adil saat senang dan saat murka sesugguhnya sangat filosofis. Sebab kadang di saat kita senang kepada orang lain kita menjadi tidak adil, lalu memberikan haknya secara berlebih. Sebaliknya, di saat kita marah atau benci kepada seseorang kita pun cenderung mengurangi haknya, sehinga tidak adil. Itu sebabnya keadilan adalah nilai kemuliaan yang harus kita junjung tinggi, di manapun, kapan pun dan kepada siapapun. Wa Allahu a`lam bi al-shahab.