Ilmu pengetahuan modern sering kali diasumsikan netral, objektif, dan bebas nilai. Dalam kerangka pendidikan tinggi, khususnya di Indonesia, anggapan ini masih cukup kuat; sains modern adalah “ilmu”, sedangkan ilmu-ilmu agama dianggap sebagai “dogma-keyakinan”. Akibatnya, ilmu-ilmu keislaman kerap didekati dengan sikap apologetik atau disubordinasikan ke dalam kerangka metodologi Barat, tanpa mempertanyakan fondasi epistemologinya. Padahal, dalam sejarah intelektual Islam, ilmu bukanlah entitas kosong. Ia sarat dengan nilai, spiritualitas, dan tujuan moral.
Dalam konteks inilah, dialog tentang integrasi keilmuan menjadi penting. Bagaimana seharusnya relasi antara ilmu modern dan Islam dibangun? Apakah perlu dilakukan Islamisasi ilmu pengetahuan? Atau justru membuka ruang dialog antar-ilmu dalam kerangka interkoneksi? Atau lebih radikal, membongkar ulang total warisan kolonial dalam sistem pengetahuan kita?
Esai ini adalah pembacaan ulang gagasan integrasi keilmuan khususnya di PTKI (Perguruan Tinggi Keagamaan Islam) yang didiskusikan dalam acara Peningkatan Kompetensi Dosen Pemula (PKDP) PTP UIN Raden Mas Said Surakarta pada sesi materi Paradigma Integrasi Keilmuan PTKI, 21 juli 2025 di Hotel Syariah, Solo.
Dekolonisasi, Islamisasi, dan Integrasi-Interkoneksi
Ide Dekolonisasi adalah ide yang hadir untuk membongkar fondasi epistemologi kolonial dalam ilmu-ilmu modern. Dekolonisasi menunjukkan bahwa banyak disiplin ilmu, seperti studi agama, antropologi, hingga studi Islam, dibentuk oleh proyek ‘orientalis’ dan logika kolonial Barat. Dekolonisasi bukan sekadar slogan-metaforik. Ia adalah proyek epistemologis untuk; Membongkar warisan kolonial dalam ilmu (baik dalam teori, konsep, maupun metode); Menghidupkan kembali warisan intelektual Islam (turāṡ) sebagai sumber epistemologi alternatif; Melawan klaim universalisme ilmu Barat yang sering dipaksakan ke dalam tradisi non-Barat.
Namun, penting dicatat, ide dekolonisasi tidak serta-merta menolak semua pengetahuan Barat. Ia tidak anti-Barat, tetapi anti-hegemoni epistemologis. Bagi dekolonisasi, Western knowledge is not the only reference; others are legitimate too. Yang menjadi masalah adalah ketika epistemologi Barat dipaksakan sebagai satu-satunya jalan ilmiah.
Dalam kerangka epistemik ini, turāṡ, sebagai warisan intelektual Islam, tidak dilihat sebagai nostalgia romantik, tetapi sebagai sumber etika, metode, dan horizon berpikir yang genuine, sah, setara, dan harus ditempatkan dalam posisi dialogis. Dekolonisasi epistemologi menjadi cara untuk memulihkan martabat ilmiah umat Islam.
Jika dekolonisasi adalah proyek pembongkaran fondasi kolonial, maka Islamisasi ilmu, menurut pengertian Al-Attas, adalah proyek membangun fondasi baru yang sepenuhnya berpijak pada pandangan hidup Islam (Islamic Worldview). Sejak 1970-an, Al-Attas telah memperingatkan bahwa ilmu modern mengandung worldview sekuler, humanistik, dan relativistik yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Al-Attas tidak sekadar ingin menyisipkan ayat-ayat al-Qur’an dalam buku sains. Ia menginginkan rekonstruksi sistem ilmu berdasarkan; Konsep wahyu sebagai sumber pengetahuan tertinggi; Fungsi akal yang tunduk kepada wahyu; Konsep adab (etika ilmiah) sebagai bagian dari ilmu; Tujuan ilmu sebagai pencapaian keadilan, kebenaran, dan kebijaksanaan.
Dalam bukunya Islam and Secularism, Al-Attas menekankan bahwa kerusakan utama ilmu Barat adalah pada pandangan metafisisnya, yang melepaskan hubungan antara ilmu dan nilai. Islamisasi ilmu, bagi Al-Attas, bukan hanya soal materi/konten, tetapi soal struktur ilmu itu sendiri.
Sementara itu, Amin Abdullah mengambil pendekatan yang lebih dialogis dan praktis. Gagasannya tentang integrasi-interkoneksi ilmu berangkat dari realitas institusional di kampus-kampus UIN; adanya pemisahan antara ilmu agama dan ilmu umum. Menurutnya, pemisahan ini bersifat artifisial dan justru memperlemah posisi keilmuan Islam.
Ia menawarkan pendekatan integratif yang berbasis pada tiga epistemologi; Bayānī, berbasis teks, khas ilmu tafsir dan fikih; Burhānī, berbasis rasional, khas ilmu logika dan filsafat; dan ʿIrfānī, yang berbasis spiritualitas dan intuisi, khas tasawuf.
Gagasan ini menyerap inspirasi dari filsafat ilmu kontemporer (Kuhn, Habermas, Gadamer), sosiologi pengetahuan, dan hermeneutika. Dalam kerangka ini, ilmu tidak lagi dipisah-pisahkan, tetapi dijalin secara transdisipliner dan kontekstual.
Menjaga Integritas
Lalu, perlukah kita memilih salah satu? tentu jawabnya tidak. Ketiga pendekatan ini saling melengkapi. Masing-masing memiliki kelebihan; Dekolonisasi memberi keberanian untuk membongkar ulang ilmu yang sudah dianggap mapan; Islamisasi menawarkan kerangka normatif dan spiritual untuk membentuk adab; Interkoneksi memberi solusi praktis untuk institusi pendidikan agar tidak terjebak oleh dikotomi.
Yang kita butuhkan adalah sintesis cerdas antara ketiganya. Misalnya, dalam konteks Universitas Islam, dekolonisasi bisa menjadi kritik terhadap kurikulum dan metodologi yang masih Euro-sentris yang tidak kompatible dengan nilai-nilai Islam, Islamisasi bisa memberi panduan normatif untuk membangun sistem nilai dan tujuan pendidikan, Interkoneksi bisa menjadi kerangka implementasi di level fakultas, prodi, dan penelitian.
Gagasan integrasi keilmuan juga tidak tanpa risiko. Ada dua bahaya utama; pertama, reduksionisme skripturalis. Yaitu, menjadikan integrasi ilmu sebagai ajang “copas” ayat-ayat pada teori Barat tanpa kritik epistemologis. Ini akan berujung pada tambal-sulam, bukan sintesis. Kedua, relativisme postmodern. Yaitu, menjadikan semua jenis ilmu dan pandangan dunia setara secara mutlak, tanpa tolok ukur etis. Akibatnya, tidak ada kejelasan orientasi. Ketiganya; dekolonisasi, islamisasi, dan interkoneksi, sebenarnya telah memperingatkan soal ini. Ketiganya sepakat bahwa integrasi ilmu harus tetap berpijak pada pandangan hidup Islam (Islamic Worldview), sekaligus membuka ruang kritis terhadap metodologi Barat.
Penutup: Ilmu untuk Peradaban, Bukan Sekadar Pekerjaan
Kita tidak sedang bicara tentang sekadar menyusun silabus atau mengganti istilah. Kita sedang bicara tentang masa depan ilmu pengetahuan dan peradaban umat. Apakah ilmu akan terus menjadi alat kuasa, dikotomik, kapitalistik, dan hedonistik? Atau kita ingin menjadikannya sarana ta‘abbud, tafaqquh, dan ‘imārat al-arḍ?
Integrasi ilmu bukan proyek temporer. Ia adalah jihād akademik panjang yang memerlukan keberanian berpikir, ketekunan menggali turāṡ, dan kejujuran untuk mengakui keterbatasan metodologi Barat. Dalam era pascakolonial seperti sekarang, umat Islam tidak boleh hanya jadi pengguna pengetahuan. Kita harus menjadi subjek epistemologis. Kita harus menjadi arsitek paradigma baru yang lebih adil, spiritual, dan bermartabat.
Dan itu hanya bisa dimulai jika kita punya keberanian untuk bertanya ulang; apa itu ilmu? untuk siapa? dan untuk apa?
*Cuplikan materi diskusi Paradigma Integrasi Keilmuan di PTKI yang disampaikan acara Peningkatan Kompetensi Dosen Pemula (PKDP) PTP UIN Raden Mas Said Surakarta, 21 juli 2025, Hotel Syariah, Solo.
Bahan Bacaan
Abdullah, Amin. Multidisiplin, Interdisiplin, & Transdisiplin Metode Studi Agama dan Studi Islam di Era Kontemporer.IBTimes, 2020.
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Islam and Secularism. ISTAC, 1993.
Muzakkir, Muhamad Rofiq. Dekolonisasi: Metodologi Kritis dalam Studi Humaniora dan Studi Islam. Yayasan Bentala, 2023.