“Setiap orang yang memeluk agama
dan mazhab kami akan menyaksikan
seratus ruh lepas dari badan kami.
Dan setiap orang yang menenggak
minuman kami akan menjadi mabuk
dan akan melihat malam kami
berubah menjadi siang.”

Puisi Maulana Jalaludin Rumi (1207-1273) di atas kuterjemahkan dari bahasa Arab yang sebelumnya telah diterjemahkan dari bahasa Persia oleh Dr. ‘Isa ‘Ali al-‘Akub. Baris-baris teks pada bait ke-47 tersebut termaktub dalam sebuah kitab Ruba’iyyat Jalaluddin ar-Rumi (Demaskus: Dar al-Fikr, cet. I, 2004) yang menghimpun hampir 2000 puisi rubaiyat dari sufi-penyair agung dalam sejarah kesusastraan Islam itu.

Baris-baris teks di atas menyentak kesadaran religius kita, terutama ketika kita dihadapkan kepada sistem keagamaan yang tertutup, gempal dan kasar. Yaitu, sebuah panorama perilaku keagamaan yang kurang indah yang kita saksikan pada hari-hari ini di mana kelompok-kelompok dalam Islam tidak saja memperlihatkan perilaku-perilaku sinis di antara sesama mereka, tapi lebih dari itu juga memperlihatkan adanya hal-ihwal yang lebih mengerikan: saling menista, saling mempermalukan, bahkan saling melaknat di antara mereka.

Dalam sistem dan perilaku keagamaan yang suram itu, sungguh yang ada hanyalah malam, hanyalah kelam, hanyalah nestapa, hanyalah kegundahan. Memang masih ada kemilau rembulan dan bintang-gemintang di cakrawala yang luas dan agung, tapi cahayanya yang temaram sudah tidak begitu dihiraukan.

Meletupnya kontroversi pernyataan Ahok tentang surat al-Maidah ayat 51, berlangsungnya gelombang demonstrasi damai pada 4 November yang lalu yang konon diikuti oleh ratusan ribu orang, juga terjadinya demonstrasi susulan pada 2 Desember yang lalu yang sungguh damai, mengagumkan dan menggetarkan: tidak bisa dipungkiri bahwa semua itu telah menimbulkan disharmoni antara kelompok yang pro dan yang kontra, juga melahirkan ekses-ekses negatif lainnya yang sangat tidak menguntungkan bagi kalangan umat Islam itu sendiri secara keseluruhan.

Suasana keagamaan yang destruktif itu begitu meledak-ledak dan menyayat-nyayat di media-media sosial. Tengoklah perdebatan-perdebatan tidak sehat yang begitu sengit dan penuh dengan kebencian di Facebook, Twitter dan media-media sosial lainnya. Di situ begitu nyata bahwa akal sehat mulai terpinggirkan ke pojok-pojok kedaifan, perannya kemudian digantikan oleh amarah dan caci-maki yang tidak karuan.

Di tengah kosmologi dan nalar agama yang rusak itu, betapa pentingnya berikhtiar dengan sungguh-sungguh untuk memasuki telaga spiritualitas sebagaimana yang tergambar dalam puisi Maulana Rumi di atas. Yakni, memerdekakan ruh sebagai sais perjalanan hidup manusia dari penjara badan yang terlampau profan dan kelam.

Sebagai bayang-bayang kehadiran Tuhan dalam diri manusia, roh tak lain merupakan sebuah lentera cemerlang yang bernuansa transendental dan diberi tugas untuk membawa kehidupan manusia kepada hadiratNya dengan menekuk berbagai macam rintangan dan aral yang melintang.

Itulah gambaran peta rohani yang ideal. Dan ketika hal itu menjadi sebuah kenyataan, maka sifat-sifat Tuhan akan dengan mudah diintrodusir ke dalam kehidupan manusia dan menjelma sebagai kenyataan historis yang begitu indah yang bisa diinvestigasi oleh generasi-generasi yang akan datang. Cinta, kasih-sayang, sikap santun, toleransi dan penghormatan di antara sesama manusia akan menjadi pemandangan sosial yang begitu menakjubkan.

Kenyataan indah semacam itu yang disebut sebagai realisasi dari agama cinta. Siapa pun yang mengalaminya akan bisa melakukan akselarasi dalam perjalanan rohani, melampaui segala kefanan semesta, menjadikan hatinya sepenuhnya tertambat pada kedamaian dalam kehidupan ini dan kemegahan akhirat yang telah lama menanti.

Dengan demikian, idiom agama pada konteks puisi di atas tentu saja tidaklah menunjuk sama sekali terhadap formalitas keagamaan yang seringkali bikin bising dan menciptakan berbagai macam keruwetan di hetrogenitas kehidupan sosial. Akan tetapi sepenuhnya tertuju kepada keberhasilan orang-orang beriman dalam mendewasakan jiwa-jiwa mereka. Sehingga selain sanggup menciptakan tatanan kehidupan dunia ini penuh dengan berbagai macam progresivitas, mereka juga mampu menampilkan bayang-bayang kehidupan surgawi yang begitu nyata dalam medan hidup yang fana ini.

Agama cinta dalam konteks kehidupan mereka itu pasti tidaklah terutama muncul sebagai mikrofon yang berkoar-koar dengan begitu nyaring. Tapi sepenuhnya muncul sebagai suatu realitas di mana segala kefanaan telah “disulap” menjadi sesuatu yang abadi. Segala yang profan mengalami migrasi,
melompat menuju gugusan nilai-nilai yang bernuansa transendental.

Maka dapat dipastikan bahwa siapa pun yang telah memeluk agama cinta yang oleh Maulana Rumi diungkapkan dengan “menenggak minuman kami”, pastilah dia akan mengalami mabuk Ilahi di mana hatinya terbuhul dengan segala sesuatu yang mulia yang tak lain merupakan pantulan dari keindahan-keindahan Tuhan itu sendiri.

Di taman keindahan agama cinta itu, segala sifat dan perangai manusia yang destruktif yang disemprongkan oleh kekelaman nafsu amarah dan kefanaan badan akan menjadi tersingkirkan dan lenyap, digantikan oleh kesadaran spiritual, cinta dan persaudaraan yang begitu menawan.

Akankah orang-orang beriman di Indonesia yang menyebar dalam berbagai agama sanggup menciptakan suasana surgawi semacam itu? Semoga.

Komentar