Suatu saat Imam Abu Yazid Al-Busthami kedatangan seorang pencuri kain kafan. Maksud kedatangan pencuri itu adalah untuk bertobat di hadapan Abu Yazid. Tentu saja niat bertobat itu disambut gembira oleh Abu Yazid.

“Syukurlah kau mau bertobat. Tapi apa sebabnya?” Tanya Abu Yazid.
“Aku pernah menggali kubur kurang lebih seribu kali. Kebanyakan mayat di dalam kubur itu berpaling dari kiblat. Hanya ada dua mayat yang tetap menghadap kiblat,” jawab pencuri kafan itu.

“Kasihan mereka, keragu-raguan tentang rezeki Allah telah memalingkan mereka dari kiblat,” ujar Abu Yazid.

Kisah pencuri kafan dan Abu Yazid mengandung pelajaran penting untuk kita renungkan. Terlebih pernyataan akhir Abu Yazid yang menohok itu. Tentang mayat-mayat yang berpaling dari kiblat, karena meragukan rezeki Allah.

Padahal, kita tahu, tak ada satupun binatang melata di muka bumi ini yang tidak diberi jaminan rezeki dari Allah. Hanya saja, manusia sering kali putuh asa dan berburuk sangka kepada Tuhannya manakala rezeki yang diharapkan dan diinginkan tak kunjung tiba.

Bicara perihal rezeki, saya teringat teman-teman saya ketika kuliah di Jakarta dulu. Mereka adalah anak-anak rantau yang menyewa satu petak rumah. Di akhir bulan, seperti kebanyakan anak kos lain, mereka dilanda “kekeringan” alias bokek. Kiriman dari kampung halaman belum datang. Stok beras menipis.
Makan sehari sekali adalah hal lumrah. Makan sekali tapi harus dalam porsi besar agar kuat menjalani hari. Untuk mengelabui rasa lapar mereka minum air putih banyak-banyak. Tiba-tiba, di tengah “kekeringan” itu mereka mendapat undangan tahlilan. Berangkat lah mereka dan asupan gizi bisa terjaga.

Beberapa hari kemudian, warga setempat ada yang menggelar pernikahan, mereka juga diundang. Lagi-lagi mereka “terselamatkan”.

Saya kira, kisah-kisah serupa itu bisa dengan mudah kita temui di manapun. Di tengah keterbatasan, mereka tidak mengeluh, menjadi melodramatis atau putus asa. Yang terjadi kemudian justru mereka mendapat rezeki dari sudut tak terduga.

Rezeki tak terduga ini menarik. Karena tak terduga, tentu tak bisa diprediksi dan dikira-kira kapan datangnya. Hanya Allah yang paham dan tahu hitung-hitungannya. Pas butuh pas ada. Pas motor butuh servis dan ganti onderdil ini itu, pas honor menulis turun. Ketika dompet tipis dan ATM kering, ketika itu juga teman datang membayar hutang. Menyenangkan betul matematika Tuhan ini.

Rezeki, saya kira, juga bukan soal uang melimpah. Berada dalam lingkar pertemanan yang baik juga merupakan rezeki. Waktu luang untuk kita melakukan hal-hal baik juga rezeki. Bagi mahasiswa, rezeki bisa berupa kelancaran dan kemudahan mengerjakan skripsi. Bisa lulus di waktu yang tepat, setelah lulus langsung dapat kerja, dst.
Berkaitan dengan rezeki, sikap berbaik sangka kepada Tuhan adalah hal utama. Benar apa yang disampaikan Sujiwo Tejo, menghina atau menistakan Tuhan itu mudah, khawatir besok tidak bisa makan sudah termasuk penghinaan dan penistaan. Meragukan rezeki Tuhan seolah Ia tak membagikan rezeki kepada makhluknya sama saja meragukan kemahabesaran Tuhan.

Soal berbaik sangka terhadap Tuhan, saya ingat cerita seorang kawan. Saat itu, a baru saja lulus SMA dan mendengar kabar bahwa ayahnya meninggal. Mulanya ia putus asa untuk bisa melanjutkan kuliah. Ayahnya adalah satu-satunya tulung punggung keluarga. Ia anak pertama.

Bisa saja ia depresi dan menganggap Tuhan jahat atau tak adil. Namun ia lebih memilih untuk melihat semua itu dari kacamata yang jernih. Selepas SMA ia memang tak langsung kuliah. Tapi berkerja mengumpulkan uang untuk persiapan kuliah. Apapun dilakukan, mulai dari jual pulsa sampai jadi petugas kebersihan.
Tahun berikutnya ia bisa kuliah sambil mengelola online shop.

Usahanya terus berkembang hingga akhirnya ia lulus kuliah. Kini ia hidup mapan, penghasilannya jauh meninggalkan saya dan teman-teman sebayanya. Saya kira, kawan saya itu sedang memberi contoh kepada kita tentang berbaik sangka pada Tuhan, juga tentang betapa luas rezeki-Nya.

Komentar