Abraham Zakky Zulhazmi

Buku itu berada di rak buku milik anak saya. Judulnya Kisah-Kisah Aku dan Ayah (Salam Kids, 2016). Ada banyak buku di rak, saya tak ingat kapan membelikan buku itu untuk anak saya. Karena tertarik dengan judul dan sampul, saya ambil buku itu dan membacanya. Sampailah saya pada kisah Lukmanul Hakim.

Awalnya, saya mengira ini kisah petuah Lukmanul Hakim kepada anaknya. Rupanya justru kisah tentang Lukmanul Hakim dan seekor keledai. Sebuah kisah yang sudah cukup terkenal sebetulnya. Tapi teta[ selalu menarik untuk diceritakan ulang. Begini kisahnya:

Suatu hari, Lukmanul Hakim berjalan-jalan di pasar bersama anaknya. Lukmanul Hakim menunggang keledai dan anaknya menuntun keledai itu. Ketika lewat depan kerumunan ia dengar omongan orang tentangnya.

“Lihatlah orangtua itu, sungguh tak punya kasih sayang. Anaknya dibiarkan jalan kaki, sedang ia malah menunggang keledai.”

Mendengar perkataan itu Lukmanul Hakim berujar kepada anakknya, “Anakku, naiklah engkau ke keledai ini, biar ayah yang menuntunnya.”

Mereka lantas melanjutkan perjalanan. Hingga kemudian bertemu sekelompok orang. Orang-orang itu melempar komentar demi melihat Lukmanul Hakim dan anaknya.

“Ya rabb… lihatlah anak itu! Sungguh tidak patut! Ayahnya yang tua disuruh menarik keledai, sedangkan ia yang masih muda justru berada di atas keledai.”

Komentar itu membuat Lukmanul Hakim tertegun. Ia lalu meminta anaknya turun. Keduanya kini sama-sama berjalan sambil menuntun keledai. Tak lama kemudian, mereka bertemu segerombolan orang. “Betapa bodoh dua orang yang menuntun keledai itu, harusnya mereka menungganginya, bukan menuntunnya seperti sapi atau kambing, hahaha,” kata orang-orang itu.

Lagi-lagi Lukmanul Hakim terdiam sesaat dan menyuruh anaknya naik ke atas keledai bersamanya. Keledai berjalan pelan karena dinaiki dua orang. Orang-orang yang melihat itu jatuh iba. “Sangat tidak berperasaan! Keledai sekecil itu ditunggangi dua orang.”

Lukmanul Hakim mengindahkan komentar itu, berpikir sejenak lalu memutuskan untuk turun dari keledai. Ia meminta anaknya untuk mengikat empat kaki keledai di sebilah kayu supaya dapat diangkat. Jadilah keduanya kini memikul seekor keledai. Melihat itu, orang-orang terbahak. “Ada orang gila memikul keledai,” teriak mereka.

Lukmanul Hakim lalu mengajak anaknya meletakkan keledai di tanah. Kemudian ia berpesan kepada anaknya, “Anakku, begitulah sifat manusia. Apapun yang kamu lakukan akan mendapat perhatian dari orang lain. Maka, jika kelak kamu menemukan kebenaran jangan sampai hatimu berubah hanya karena mendengar perkataan orang lain. Tetaplah yakin pada kebenaran itu. Selalu gantungkanlah harapan dan persoalan hanya kepada Allah.”

Cerita di atas memberi pelajaran kepada kita bahwa di mata orang lain, apa saja yang kita perbuat selalu tak sepenuhnya tepat. Ada saja pendapat mereka tentang kita. Jika kita tidak “kuat” maka kita akan selalu disibukkan dengan omongan orang lain.

Seorang mahasiswa tingkat akhir misalnya. Jika ia ingin lulus kurang dari empat tahun maka akan ada yang berkomentar, “buah yang matang di pohon pasti lebih enak, kenapa harus buru-buru lulus? Di luar banyak yang ingin bisa masuk kampus, ini malah buru-buru ingin keluar.” Sama halnya ketika ia lulus di semester 13 atau 14, orang-orang akan melabelinya sebagai mahasiswa abadi atau mahasiswa telat lulus. Apalagi ketika ia memutuskan untuk tidak meluluskan diri.

Contoh lain, ketika pilpres kita menyatakan dukungan untuk 01 dianggap salah, 02 juga salah, golput tambah salah. Perkara nikah pun begitu, nikah muda jadi bahan ghibah, nikah telat pun sama. Sudahlah, memang tidak akan ada habisnya mengikuti “lidah netizen yang budiman”. Memang kita harus banyak belajar dari Lukmanul Hakim dan keledainya.

Komentar