Nur Rohman*

Dahulu, sewaktu SD saya diwajibkan oleh orang tua saya nyantri kalong di tempat seorang guru di kampung. Mbah guru Sujadi kami biasa memanggilnya, karena dulu istilah ustadz memang belum populer digunakan. Jika belum bergelar kyai, masyarakat lebih nyaman memanggil ‘mbah’ sebagai penghormatan terhadap orang yang berilmu.

Mbah guru saya adalah seorang guru berpangkat pegawai negeri yang cukup disegani, dan juga pernah menjadi pegawai di KUA di bawah kemenag. Dalam tradisi masyarakat desa, menjadi pegawai negeri adalah satu kemewahan dan kehormatan. Sehingga beliau menjadi salah satu orang yang ditokohkan, menjadi imam masjid, khotib jum’at, dan pemimpin ritual-keagamaan lainnya. Rasanya, tanpa beliau masjid di kampung saya tak berjalan normal. Belakangan, ayah saya juga bercerita bahwa beliau juga pernah menimba ilmu kepada beliau.

Meskipun tak seperti ngaji formal sebagaimana di pesantren pada umumnya, namun ketika itu sudah ada aturan-aturan (nidzom) yang disepakati bersama. Itulah sebabnya proses pembelajaran ini bagi saya lebih familiar dengan nyantri kalong dibanding dengan pengajian TPA (Taman Pembelajaran Al-Qur’an). Sebab, ketika itu kami tidak hanya belajar ngaji Al-Qur’an, hafalan juz ‘amma dan hafalan beberapa surat lain. Ketika itu kami juga diajarkan dasar-dasar nahwu seperti fa’ala, dhomir, dan sebagainya. Bahkan tahapan setelah selesai hafal juz ‘amma, ketika sudah masuk kelas tsanawiyyah, beberapa dari kami diwajibkan membaca terjemahan kitab Irsyadul ‘Ibad Ila Sabil Ar-Rosyad meskipun belum sampai selesai, saya harus melanjutkan belajar ke kota lain.

Ada cerita menarik dari mbah guru saya tentang seorang santri yang belajar ngaji (nyantri) kepada kyai, namun bertahun-tahun ia tak diajari ngaji.

Alkisah, datanglah seorang calon santri kepada kyai dengan tujuan ingin belajar ngaji (agama). Namun belum sempat menyampaikan keinginannya, calon santri ini tadi disuruh pulang lagi. Selang beberapa waktu calon santri ini datang lagi kepada kyai tadi. Baru kemudian calon santri ini diterima menjadi muridnya.

Namun keanehan lainnya terjadi. Selama berbulan-bulan santri ini tidak pernah diajar ngaji. Dia hanya ditugaskan menjadi tukang bersih-bersih pondok, menggarap sawah dan hewan peliharaan kyainya. Kejadian ini berlangsung bertahun-tahun dan dijalani dengan penuh keikhlasan dan rasa ta’dzim yang tinggi kepada kyainya. Hingga tiba pada suatu ketika santri itu dipanggil oleh sang kyai dan disuruh pulang untuk kembali ke masyarakat. Dengan perasaan bingung, santri ini melaksanakan perintah kyainya. Namun belakangan, santri ini kemudian menjadi kyai besar dan memimpin pesantren ternama.

Memang ketika cerita ini dikisahkan oleh mbah guru, belum dijelaskan secara pasti siapa santri dan kyai yang dimaksud. Namun belakangan saya menemukan cerita serupa tak hanya sekali. Di antaranya dalam buku Dari Bilik Pesantren karya Ahmad Khadafi yang bercerita kisah Kyai Abdul Mannan salah satu pendiri pesantren Al-Muayyad Surakarta. Selain itu, banyak juga cerita-cerita lisan tentang kisah serupa dari beberapa sesepuh.

Kisah tersebut sebenarnya ingin memberikan gambaran bahwa dalam belajar, hal pertama yang harus ditanamkan dalam diri seorang murid adalah keikhlasan dan rasa patuh serta hormat dengan gurunya. Dengan begitu, maka ilmu yang didapat akan menjadi berkah, sebab dilandasi dengan adab, keikhlasan dan rasa hormat.

Belakangan setelah saya membaca literatur tentang pesantren, saya menyadari bahwa pesantren lahir dari nilai bukan wujud material bangunan. Nilai-nilai keikhlasan dan ketulusan antara guru dan murid inilah yang terus menguatkan.

Konon pesantren lahir karena para santri yang datang untuk ngaji dan belajar ilmu-ilmu agama. Karena tempat kyai yang terbatas dan jumlah santri yang datang terus bertambah, maka kemudian para santri berinisiatif untuk membangun atau mencari tempat menginapnya sendiri. Oleh sebab itu, tak heran jika pesantren hingga kini tetap menjadi pusat pendidikan yang mengajarkan pendidikan karakter terbaik di Negeri ini.

Semoga Allah mengampuni dosa-dosa para guru yang telah mendahului kita, lahum al-fatihah.

*Dosen Fakultas Ushuludin dan Dakwah IAIN Surakarta

Komentar