Anak Pramuka tentu tidak asing dengan judul di atas. Secara spontan ingatan mereka (mungkin kita juga) akan langsung tertuju kepada sepuluh ‘rumus’ yang jadi pedoman hidup.

Penulis ingin mengajak pembaca yang budiman untuk sedikit bernostalgia. Dulu saat kita masih menginjak bangku sekolah dasar, kita pasti sudah hafal luar dalam sepuluh Dasa Dharma Pramuka (bahkan sampai sekarang). Dan judul di atas adalah dharma yang terakhir yang masih relevan jika kita bahas sekarang.

Suci dalam pikiran tidak bisa terlepas dari niat. Kita dianjurkan oleh Nabi Muhamad saw untuk selalu mengawali setiap pekerjaan dengan niat. Karena ke depannya apa yang akan kita lakukan tergantung dengan niat di awal yang kita ucapkan.

Apalagi di bulan yang suci ini, Bulan Ramadan. Bulan yang penuh rahmat, ampunan dan pahala. Ikhlas tidaknya, bagus tidaknya amal kita ditentukan oleh niat. Dalam Islam, dalam melakukan sesuatu harus kaffah atau menyeluruh. Jangan setengah-tengah, apalagi dalam kebaikan. Maka, suci dalam pikiran merupakan key point kita melakukan amal baik.

Kedua, lisan ibarat pisau bermata dua. Satu sisi penuh dengan kebermanfaatan, di sisi lain bisa juga membunuh siapapun dan apapun. Dalam pribahasa arab dikatakan

“الكلام ينفذ ما لا تنفذه الإبر”

Artinya: Perkataan bisa menembus apa yang tidak bisa ditembus oleh jarum.

Ucapan kasar, menghina, rusuh bahkan hate speech bisa kita temukan setiap hari di sekeliling kita. Terutama di media sosial. Suci dalam perkataan bak oase di tengah gurun. Sebagai orang yang terdidik apalagi yang mempunyai gelar akademik tertinggi sekalipun tidak pantas kiranya menggunakan kata-kata kasar di ruang publik.

Media sosial sudah menjadi urat nadi, media ekspresi manusia zaman now. Coba Anda cek sendiri akun politisi di negeri tercinta ini. Mayoritas kata yang berkonotasi negatif dominan digunakan untuk menjatuhkan lawan politiknya. Sungguh tidak menggambarkan orang yang terdidik dan beradab. Tidak ada batasan dalam penggunaan medsos juga membuat pengguna yang di bawah umur gampang meniru. Misuh bukan hal yang biasa.
Penulis khawatir jika ini dibiarkan berlarut-larut akan berdampak pada generasi yang akan datang. Mereka akan menjadi generasi yang mudah menghujat, mudah terpengaruh, dan mudah menghakimi. Kita harus mawas diri. Jangan sampai kemajuan zaman membuat kemunduran akhlak prilaku. Seyogyanya kaum terdidik memberikan contoh yang baik dalam hal apapun.

Ketiga, implementasi dari pikiran dan perkataan yang baik adalah perbuatan yang baik pula. Tempo hari, penulis berada di Bali untuk mengikuti suatu kegiatan. Saat malam tiba, penulis dan beberapa rekan berkunjung ke monumen Ground Zero. Monumen yang dibangun untuk mengenang tragedi bom Bali. Di balik dentuman musik yang hingar bingar dan lalu lalang turis di sekitar lokasi. Ada pemandangan aneh yang penulis lihat. Ada seorang ibu muda dan anaknya menghentikan motor tepat di depan monumen. Mereka memberikan sebungkus nasi dan minuman kepada pemulung yang kebetulan berada di sana. Penulis berdecak kagum melihat kejadian yang sangat mulia ini. Bukan tanpa sebab, di balik ramainya tempat hiburan di Bali dan mayoritas daerah Legian adalah orang londo yang nge-fly, pemandangan seperti itu jarang sekali terjadi. Jadi benar apa yang dikampanyekan oleh komedian Tretan Muslim, Humanity Above Religion, nilai-nilai kemanusiaan harus kita junjung tinggi. Kebaikan yang kita lakukan semestinya tanpa memandang ras, suku dan agama. Toh, Tuhan itu adalah milik sesama.

Mengawali bulan yang berkah ini, mari kita patrikan dalam diri untuk selalu suci dalam pikiran, perkataan dan perbuatan. Jangan sampai penyesalan menggrogoti kita di kemudian hari akibat kita menunda-nunda kebaikan, menghina orang lain, menyakiti hati orang bahkan berbuat jahat karena kita benci.

Sekarang adalah waktu yang tepat untuk muhasabah diri. Sebagai penutup, mari kita renungi sajian dari Pram,

“Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan”. (Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia, 1975.)

 

Komentar