Tanggal 15 Agustus 1945 Jepang menyerah pada Sekutu. Sekitar pukul 10 malam ketika Bung Karno (BK) lagi sibuk merencanakan rincian strategi untuk Proklamasi bersama Sayuti Melik dan istrinya Trimurti yang jadi sekretaris BK, BK dikasih tahu bahwa ada beberapa tamu yang ingin bertemu dengan beliau.
Satu delegasi pemuda menunggu BK di beranda. “Sekarang, Bung. Sekarang. Malam ini,” kata Khairul Saleh. “Mari kita kobarkan revolusi yang hebat malam ini juga. Kita memiliki pasukan PETA, pemuda, Barisan Pelopor, bahkan Heiho sudah siap semua. Bila Bung memberi sinyal, seluruh Jakarta akan terbakar. Ribuan pasukan bersenjata dan pasukan yang dipersiapkan akan mengepung kota, melaksanakan revolusi bersenjata dan menghancurkan seluruh tentara Jepang.”
Sukarni, salah satu pemimpin kelompok pemuda ini bicara, “Kita harus segera merebut kekuasaan karena Jepang tidak harus mengambil keputusan dalam menghadapi kita. Mereka tidak tahu apakah harus menghancurkan kita ataukah membiarkan kita jadi liar, karena bagaimana pun mereka sudah kalah. Sebelum mereka menyusun rencana yang konkret, kita harus memberikan kejutan kepada mereka.”
Di saat yang penuh ketegangan seperti itu, BK sangat tenang. Setiap orang gelisah dan letih. Tapi saat itu BK mengaku merasakan seluruh jiwa dan raganya dikendalikan oleh Yang Maha Kuasa. Beliau sangat tenang. Kepada para pemuda yang mendesaknya, BK berkata, “Apakah kalian mengira, aku tidak siap sepenuhnya dengan suatu rencana sebelum kalian memberi tahu tentang bagaimana dan apa yang harus dilakukan? Tetapi dalam taktikku, pertama-tama proklamasi harus dibacakan secara serentak di tiap daerah, kedua satu pidato yang menggeledek dan membangkitkan semangat untuk berontak dan yang terakhir baru mengobarkan revolusi. Urusanku adalah untuk mengetahui emosi orang-orang. Aku tahu, kalian memerlukan satu simbol agar rakyat dapat dikerahkan. Merekalah yang harus dijadikan kekuatan utama. Mereka akan dipersiapkan. Dengan penuh semangat. Pada saat gerakan dimulai, kaum Marhaen di setiap penjuru tanah air harus sudah siap, sehingga mereka sendirilah yang berteriak untuk mengobarkan revolusi. Saat ini, tak ada seorang di mana pun yang disiapkan untuk mendapat perintah.”
Meski terjadi perdebatan yang panas dan sengit, tak seorang pun memukul meja atau teriak. Suara mereka dapat dikendalikan.
Seorang dari pemuda itu mengejek BK dengan suara pelan, “Boleh jadi Bung Besar kita takut. Boleh jadi dia melihat hantu dalam gelap. Boleh jadi dia tetap menunggu-nunggu perintah dari Tenno Heika.” Wikana, pemimpin pemuda lainnya, ikut mengejek dengan gerakan yang mendadak dan mengejutkan. Dia menggertak BK, “Kami tidak ingin mengancammu, Bung,” dengan suara parau sambil menghunus pisau ke arah BK. “Tapi revolusi sekarang ada di tangan kami dan Bung di bawah kekuasaan kami. Kalau Bung tidak memulai revolusi malam ini, lalu…”
“Lalu apa…?” teriak BK sambil lompat dari kursi dalam keadaan sangat marah. “Jangan coba-coba mengancamku. Jangan kalian berani memerintahku. Justru kalian harus mengerjakan apa yang kuinginkan. Aku tak akan pernah mau dipaksa menururi kemauan kalian.”
BK melompat ke tengah para pemuda bersenjata itu. Beliau menekukkan kepalanya ke bawah, menjulurkan lehernya keluar, dan membuat gerakan untuk memotong tenggorokannya. “Ini,” kata BK dengan nada mencemooh. “Ini leherku. Boleh potong…Hayo, boleh penggal kepalaku…kalian bisa membunuhku…tapi aku tidak pernah mau mengambil risiko untuk melakukan pertumpahan darah yang sia-sia, hanya karena kalian hendak melakukan sesuatu menurut kemauan kalian.”
Mereka diam. Keheningan mencekam. Tak seorang pun tahu apa yang harus dilakukan. Tak ada yang bergerak. Mereka takut. Malu. Marah. Kecewa. BK menatap langsung wajah mereka. Satu demi satu mereka menjatuhkan pandangan. BK duduk. Butir-butir peluh menggantung di bibir atas BK. Dengan nada rendah BK memulai kembali percakapan, “Yang paling penting di dalam suatu peperangan dan revolusi adalah waktu yang tepat. Di Saigon aku sudah merencanakan seluruh pekerjaan ini untuk dijalankan tanggal 17.”
Sukarni bertanya, “Mengapa tanggal 17, tidak lebih baik sekarang saja atau tanggal 16?”
BK menjawab, “Aku percaya pada mistik. Aku tidak dapat menerangkan yang masuk akal mengapa tanggal 17 memberikan harapan kepadaku. Tetapi aku merasakan di dalam relung hatiku bahwa dua hari lagi adalah saat yang baik. TUJUH BELAS adalah angkat keramat. Pertama-tama, kita sedang berada dalam bulan suci Ramadhan, waktu kita berpuasa sampai Lebaran, benar tidak?”
“Ya.”
“Ini berarti saat yang paling suci, bukan?”
“Ya.”
“Hari Jumat ini Jumat Legi. Jumat yang manis. Jumat suci. Dan hari Jumat tanggal 17. Alquran diturunkan tanggal 17. Orang Islam melakukan sembahyang 17 rakaat dalam sehari. Mengapa Nabi Muhammad memerintahkan 17 rakaat, bukan 10 atau 20? Karena kesucian angka 17 bukanlah buatan manusia.
“Ketika aku pertama kali mendengar berita penyerahan Jepang, aku berpikir kita harus segera memproklamirkan kemerdekaan. Kemudian aku menyadari, adalah takdir Tuhan bahwa peristiwa ini akan jatuh di hari keramat-Nya. Proklamasi akan berlangsung tanggal 17. Revolusi akan mengikuti setelah itu.”
BK bangkit untuk membubarkan mereka. “Semuanya dihadapkan padaku! Aku menjadi pusat dari taufan. Setiap orang datang kepadaku, setiap orang merobek-robek aku. Tidak seorang pun datang kepada Hatta. Atau Syahrir. Atau kepada kalian. Tetapi mereka datang kepadaku.
“Aku memiliki pemuda di satu pihak, para pemimpin yang lebih tua di pihak lain, pemimpin agama di lain pihak lagi. Hatta menarik aku ke satu jurusan. Syahrir menarik aku ke jurusan lain lagi. Tapi aku harus mengikuti hati nuraniku sendiri. Karena hanya itulah suara yang tenang dan tidak dikuasai oleh perasaan semata-mata. Setiap orang bersedia memberikan nasihat, tetapi jika datang saatnya untuk bertindak kalian menahan diri dari tanggung-jawab dan menudingkan jarimu kepadaku.”
“Baik, bila kalian tidak dapat melakukannya sendiri dan bila kalian tidak melihat pemimpin lain yang sanggup dan bila aku satu-satunya orang untuk melakukannya, maka aku akan kerjakan, tetapi aku akan kerjakan dengan caraku.”