Sudah sepekan, gema takbir memudar dari seluruh penjuru masjid. Malam yang semula hidup dengan kegiatan amal, perlahan mulai mati ditikam hiruk-pikuk urusan duniawi. Suara-suara kalam Ilahi yang berkumandang di sudut masjid perlahan-lahan memudar hingga tak lagi terdengar suaranya. Panggilan “sahur…sahurrr…sahurrr” pun turut menghilang dari seluruh komplek perumahan, berganti suara kentungan yang dibunyikan petugas jaga malam tiap jam-jam tertentu. Tak sampai di situ, saf-saf salat berjamaah mulai mengalami “kemajuan” yang bermakna semakin maju dalam arti sebenarnya. Dari yang awalnya sepuluh saf perlahan “semakin maju” hingga menjadi saf imam dan tiga makmum. Kemajuan tersebut berlaku untuk semua waktu salat, tanpa terkecuali. Fenomena tersebut menjadi tanda bahwa Ramadan telah pergi meninggalkan kita.

Fenomena semangat dalam beribadah yang terjadi selama bulan Ramadan sangat wajar, mengingat banyak sekali keutamaan yang ditawarkan oleh Syahr as-Siyam—nama lain bulan Ramadan. Sebut saja hadis-hadis Nabi ﷺ yang masyhur dibawakan pada kultum-kultum ramadan berikut.

مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Siapa yang berdiri (menunaikan shalat) pada malam Lailatul Qadar dengan (penuh) keimanan dan pengharapan (pahala), maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” [HR. Bukhari, no. 1910, Muslim, no. 760].

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Siapa yang berpuasa (di Bulan) Ramadhan (dalam kondisi) keimanan dan mengharapkan (pahala), maka dia akan diampuni dosa-dosa yang telah lalu”. [HR. Bukhari, no. 2014, Muslim, no. 760]

ومن قام رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Siapa yang berdiri (menunaikan shalat) di bulan Ramadan dengan iman dan mengharap (pahala), maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni”. [HR. Bukhari, no. 2008, Muslim, no. 174]

Kendati memiliki redaksi yang berbeda, esensi dari ketiga hadis tersebut menunjukkan keutamaan bulan yang jika diisi dengan amalan-amalan kebaikan dan disertai dengan pengharapan untuk diampuni, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni. Bukan hanya keutamaan tersebut, salah satu hal menarik yang ditawarkan oleh bulan Ramadan adalah terbukanya pintu-pintu surga, ditutupnya pintu neraka dan dibelenggunya setan-setan penggoda. Hal ini sejalan dengan hadis Nabi Muhammad ﷺ yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah R.A yang berbunyi:

إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتْ الشَّيَاطِينُ

“Ketika datang (bulan) Ramadan, pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup dan setan-setan dibelenggu”.

Dengan seluruh keutamaan tersebut, wajar saja kalau pelaksanaan ibadah di bulan Ramadan akan terlihat sangat antusias dilakukan oleh seluruh umat muslim. Namun kemudian muncul pertanyaan, kenapa semangat beribadah di bulan Ramadan tidak dilanjutkan setelah bulan tersebut berakhir? Padahal pada bulan-bulan lain juga memiliki keutamaan-keutamaan beribadah yang sangat dianjurkan.

Sebut saja keutamaan berpuasa enam hari di bulan Syawal yang kata Nabi ﷺ apabila disandingkan dengan puasa Ramadan, maka sama seperti berpuasa selama setahun penuh. Bukan hanya bulan Syawal, ada beberapa bulan yang mendapat keistimewaan di sisi Allah yang dikenal sebagai bulan-bulan Haram. Dijelaskan dalam hadis bahwa bulan haram terdiri dari empat bulan, tiga bulan berturut-turut dan satu bulan terpisah. Bulan yang berturut-turut itu adalah Zulkaidah, Zulhijah, Muharam dan satu bulan yang terpisah yaitu Rajab. Bulan-bulan haram tersebut memiliki keutamaan masing-masing sehingga seorang muslim haruslah memperhatikan amalannya di bulan tersebut.

Salah satu bulan haram yang memiliki keutamaan tertentu adalah bulan Zulhijah yang juga dikenal sebagai bulan haji. Keutamaan bulan ini terdapat pada adanya hari Arafah. Hari Arafah merupakan puncak bagi umat Islam yang melaksanakan ibadah haji yaitu wukuf atau berdiam diri sejenak dan berdoa di suatu tempat bernama padang Arafah. Adapun yang tidak melaksanakan ibadah haji melaksanakan puasa Arafah. Keutamaan hari Arafah ini kemudian disebutkan di dalam hadis Nabi ﷺ yang diriwayatkan at-Tirmidzi berikut ini:

خَيْرُ الدُّعاءِ دُعاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ، وَخَيْرُ مَا قُلْتُ أَناَ وَالنَّبِيُّوْنَ مِنْ قَبْلِيْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ لَهُ المُلْكُ وَلَهُ الحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

Sebaik-baik doa adalah doa hari Arafah, dan sebaik-baik ucapan yang aku dan para nabi sebelumku ucapkan adalah La ilaha illallah wahdahu la syarikalah, lahul mulku walahul hamdu wahuwa ‘ala kulli syaiin qadir”

Banyaknya keutamaan yang ditawarkan oleh bulan selain Ramadan justru dapat menambah semangat untuk terus melakukan ibadah kepada Allah, bukan malah mengendurkan semangat dalam amalan yang mendekatkan diri kepada sang Khaliq. Berakhirnya bulan Ramadan tak serta merta menjadi alasan kita untuk mengendurkan semangat dalam melaksanakan ibadah, tetapi justru menambah motivasi untuk terus meningkatkan kebaikan sebelum kembali menyambut datangnya Syahrul Mubarak atau bulan keberkahan.

Bukankah terus meningkatkan ketakwaan dan terus melakukan amalan baik merupakan hal yang dipesankan oleh Ibnu Rajab al-Hanbali yang menyatakan bahwasanya “Siapa melaksanakan kebaikan lalu dia melanjutkan dengan kebaikan lainnya, maka itu adalah tanda diterimanya amalan yang pertama. Begitu pula siapa yang melaksanakan kebaikan lalu malah dilanjutkan dengan amalan kejelekan, maka ini adalah tanda tertolaknya atau tidak diterimanya amalan kebaikan yang telah dilakukan.” Kalimat tersebut harusnya menjadi salah satu pengingat bahwa setelah Ramadan berakhir, maka seluruh amal ibadah jangan dikendurkan apalagi sampai terputus. Teruslah menjalankan kebaikan meskipun sedikit demi sedikit dan perlahan-lahan. Terkait hal tersebut Nabi ﷺ pun menjelaskan dalam hadisnya yang mulia sebagaimana diriwayatkan oleh Ibunda Aisyah RA:

أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ

Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun itu sedikit.” (HR. Bukhari, no. 6465; Muslim, no. 783).

Hadis tersebut sudah cukup menerangkan bahwa amalan-amalan kecil yang konsisten dapat menjadi amalan yang dicintai oleh Allah. Oleh karena itu, sudah seharusnya seorang muslim melaksanakan kebaikan meskipun bulan Ramadan telah jauh meninggalkan kita semua.

Berakhirnya bulan Ramadan tidak seharusnya menjadikan semangat seorang muslim mengalami penurunan, tapi justru harus meningkatkan semangat keimanan dan ketakwaan dalam beribadah kepada Allah SWT. Hal ini sejalan dengan pesan Imam Asy-Syibli yang dinukil oleh Ibnu Rajab al-Hanbali ketika ditanya manakah bulan yang lebih utama, bulan Rajab atau Sya’ban, maka beliau—Imam Asy-Syibli menjawab:

“كن ربانيا ولا تكن شعبانيا”

Jadilah kamu seorang Rabbani (hamba Allah Subhanahu wa ta’ala yang selalu beribadah kepada-Nya di setiap waktu dan tempat), dan janganlah kamu menjadi seorang Sya’bani (orang yang hanya beribadah kepada-Nya di bulan Sya’ban)”

Pesan tersebut menyiratkan bahwa seorang muslim haruslah terus menjadi seorang Rabbani atau hamba Allah dan terus fokus beribadah setiap waktu, tanpa hanya fokus pada bulan-bulan tertentu saja. Sebab sebagaimana perkataan Imam Asy-Syibli tersebut, kita adalah Abdullah bukan Abdur Ramadan. Wallahu ‘alam bishshowab…

Izhar Arjuna, Alumni Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga, Freelancer Kehidupan

Komentar