“Salah satu fungsi ilmu pengetahuan adalah melakukan prediksi-prediksi peristiwa yang akan datang. Dengan ilmunya itu, para ilmuwan dapat mengetahui peristiwa yang akan datang (meski tidak mutlak). Semakin dalam ilmunya, semakin matang pemahamannya, semakin tepat analisisnya, maka akan semakin tajam daya prediksinya. Sama dengan para ilmuwan, para spiritualis, para ahli ibadah, para sufi, para ahli tanggap rasa, juga dapat memprediksi peristiwa yang akan datang sesuai dengan kapasitas spiritualnya dan kedalaman waskitanya. Dengan begitu, para ilmuwan, para sufi, spiritualis, yang menguasai bidangnya, dalam menyelesaikan persoalan selalu proaktif, tidak kagetan, ora nggumunan, karena sudah mengetahui apa yang akan terjadi. Karena itu, jika ada orang yang bersikap reaktif, mereka belum mencapai puncak keilmuan atau spiritualnya. Wallahu Al’am” (Prof. Dr. Maftukhin, M. Ag, Rektor IAIN Tulungagung).
Segala sesuatu ada ilmunya. Segala hal ada ahlinya. Segala bidang ada pakarnya. Yang diminta dari kita dalam menghadapi atau menyikapi segala sesuatu adalah kesadaran; sadar tentang kemampuan diri, apakah mengetahui sesuatu atau tidak. Jika dirasa tahu, bolehlah angkat bicara tentang sesuatu yang sedang dibincangkan. Jika dirasa tidak tahu, diam sembari pasang telinga untuk menyerap wawasan dari ahlinya adalah tindakan bijak yang memang seharusnya ditempuh.
Salah satu kelemahan kita dalam hal ini adalah “keriuhan”; orang seakan berlomba bicara ketimbang memilih memasang telinga untuk mendengar dan menyerap pengetahuan. Forum riuh karena setiap yang hadir merasa tahu tentang topik yang sedang dikupas dan karenanya mereka berebut angkat bicara, alih-alih membuka buku catatan untuk menuliskan gagasan dan masukan dari mereka yang benar-benar paham.
Banyak (atau kebanyakan) dari kita lebih suka bicara tenimbang mendengar, lebih suka membuka mulut ketimbang membuka mata dan telinga, lebih tertarik dianggap tahu segala hal karena banyak bicara daripada dinilai sebagai pembelajar karena lebih banyak mendengar dan mencatat. Ketidaksadaran memang melahirkan keriuhan.
Orang-orang yang tidak sadar dirinya tidak mengetahui secara mapan tentang suatu perkara akan tertarik untuk bicara tentang suatu perkara itu meski tanpa ilmu, yang penting “tampil” dan dicap banyak tahu tentang sesuatu hal.
Semakin banyak orang unjuk bicara, terlebih jika hanya mengandalkan urat leher, semakin riuh sebuah forum, semakin jauh dari ketenangan suasana, semakin sulit menangkap kejernihan pikir, semakin susah mendapatkan kejelasan makna dan pengetahuan karena orang yang paham memilih diam, terkalahkan oleh orang-orang bodoh yang tak sadar akan kebodohannya.
Hal lain yang menimbulkan “keriuhan” adalah kebiasaan kita terlalu mudah untuk menceritakan ulang apa saja yang kita dengar. Padahal, jika memang kita tidak bisa mengendalikan telinga, kita seharusnya bisa mengontrol mulut; menahannya untuk tidak mengatakan semua yang didengar. Jauh-jauh hari Nabi sudah wanti-wanti terkait mulut: “Cukup bagi seseorang untuk disebut sebagai pembohong dengan menceritakan apa saja yang ia dengar.”
Untuk menjadi pembohong tidak selalu dengan mereka-reka cerita, membuat berita palsu, mengarang-ngarang kejadian. Itu semua terlalu nyata sebagai kebohongan. Tapi kegemaran mulut menceritakan apa pun yang didengar, itu saja sudah menjadikannya sah dicap sebagai pembohong. Setidak-tidaknya, kebohongan akan menemukan pintu terbuka lebar pada kebiasaan menceritakan apa saja yang didengar.
Mengapa menceritakan apa saja yang didengar itu tidak baik? Karena tidak semua yang kita dengar adalah baik. Karena tidak semua yang kita dengar adalah benar. Karena tidak semua yang kita dengar adalah sahih. Karena tidak semua yang kita dengar adalah maslahat. Karena tidak semua yang kita dengar adalah memaslahatkan.
Karena tidak semua yang kita dengar relevan dengan keahlian kita. Karena tidak semua yang kita dengar sejalan dengan tugas dan peran sosial kita. Apakah ini berarti kita harus membatasi telinga sehingga cukup hanya mendengar dari pihak tertentu saja? Tidak begitu juga. QS al-Zumar: 18 justru memuji Ulil Albab yang mempunyai ciri antara lain: “Mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.” Persoalannya bukan pada “mendengar”, melainkan pada sikap dan tidakan “pasca-mendengar”.
Jadi poinnya, tumbuhkan kesadaran, hindari keriuhan, kurangi bicara, perbanyak mendengar. Selanjutnya kita serahkan setiap urusan kepada ahlinya selaras dengan pesan QS al-Nahl: 43 dan al-Anbiya`: 7. Kita percayakan orang-orang berilmu pengetahuan melakukan “prediksi-prediksi peristiwa yang akan datang.”
Tentu saja prediksi-prediski dari mereka bersifat ilmiah, bukan ramalan hampa tanpa premis akademis-logis. Selain kepada para ilmuwan, kita juga mempercayakan persoalan kepada para spiritualis, para ahli ibadah, para sufi, dan para ahli tanggap rasa. Merekalah orang-orang yang dianugerahi Allah kapasitas spiritual dan kedalaman waskita.
Merekalah, kata Pak Rektor, orang-orang yang tidak kagetan, ora nggumunan. Tapi, meski kita bukan ilmuwan, spiritualis, ahli ibadah, sufi, atau ahli tanggap, kita juga tetap dituntut untuk tidak kagetan, ora nggumunan. Caranya? Dekat-dekatlah dengan para ilmuwan, spiritualis, ahli ibadah, sufi, atau ahli tanggap.