Islamsantun.org. Sejauh ini Amin al-Khuli (1895-1966) dapat dianggap sebagai tokoh paling menonjol sekaligus peletak dasar tafsir bercorak sastra (adabi) di era modern. Corak adabi dalam tafsir kerap pula disebut corak bayani. Yaitu tafsir yang banyak memperhatikan aspek-aspek balaghah (keindahan bahasa al-Qur`an) sebagai pendekatan dalam mengungkap isi-kandungan al-Quran.
Al-Khuli sendiri berpandangan bahwa al-Qur`an merupakan “Kitab Sastra Terbesar.” Pandangan inilah, kata al-Khuli, yang pertama-tama harus kita pedomani ketika berinteraksi dengan al-Qur`an. Al-Khuli berpendapat bahwa pengaruh terbesar dari “Kitab Sastra Terbesar” itu adalah pengaruh sastra. Al-Qur`an berperan besar melanggengkan bahasa Arab serta menjaga eksistensinya. Sedemikian penting dan sentralnya pendekatan sastra dalam tafsir, sampai-sampai al-Khuli berkeyakinan bahwa model kajian tafsir yang kita perlukan hari ini adalah kajian sastra. Tentu saja kajian kesastraan terhadap tafsir yang dimaksud oleh al-Khuli itu haruslah mengikuti metode yang sahih, jalan yang mapan, dan tujuan yang lurus.
Menyebut al-Qur’an sebagai “Kitab Sastra” sama sekali tidak mengecilkan keagungannya, tidak dimaksudkan untuk mempersempit keluasannya. Justru itu merupakan sebuah pengakuan bahwa al-Qur’an dengan segala kesempurnaan isi-kandungannya, dengan semua kelengkapan ajaran yang diusungnya, dengan segala keluhuran pesan moral yang dibawanya; dengan semua itu ia tetap mampu menjaga keindahan bahasa yang dengannya ia berkomunikasi.
Dalam keseharian, tak jarang sebuah pesan kurang bisa tersampaikan bukan karena tidak baiknya pesan itu, melainkan karena kurang baiknya bahasa yang digunakan. Sebagai Kitab Suci, tentu al-Qur’an “menyadari” hal itu. Terlebih ia turun di tengah sebuah bangsa yang terkenal sudah sangat maju dalam hal berbahasa. Seandainya saja bahasa al-Qur’an “asal-asalan”, alih-alih menjadi pusat perhatian yang menarik dan menakjubkan, malah jadi bahan olok-olok dan lelucon yang memalukan.
Al-Qur’an dan Amin al-Khuli
Kembali ke al-Qur`an sebagai kitab sastra terbesar. Dalam hal ini saya akan banyak mengutip tulisan M. Nur Kholis Setiawan dalam bukunya Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar. Judul Kata Pengantar ini memang saya ambilkan dari judul buku tersebut. Telah dikatakan bahwa pendekatan susastra al-Qur`an dimotori oleh Amin al-Khuli di paruh akhir abad keduapuluh. Keseriusan al-Khuli dalam mengkaji al-Qur`an tidak dapat dilepaskan dari kajian-kajiannya atas bahasa dan sastra Arab. Banyak tulisan al-Khuli yang membahas bahasa dan sastra.
Dua di antaranya Fi al-Adab al-Mishri dan Fann al-Qaul. Di kedua buku ini al-Khuli mendekonstruksi wacana sastra Arab. Dua metode kajian sastra diajukan dalam dua buku ini: metode kritik ekstrinsik (al-naqd al-khariji) dan kritik intrinsik (al-naqd al-dakhili). Dua-duanya berangkat dari keyakinan al-Khuli tentang pentingnya pemahaman turats secara total dan pentingnya menghidupkan budaya kritik atasnya. Jika keyakinan ini sudah dimiliki, barulah kita bisa bicara tentang pembaharuan.
Setelah mengarahkan perhatiannya terhadap sastra dan kesusatraan Arab secara umum, al-Khuli kemudian mengarahkan perhatiannya terhadap studi-studi al-Qur`an. Di bidang yang disebut terakhir, al-Khuli menawarkan metode tafsir susastra: Tafsir Susastra terhadap al-Qur`an (al-tafsir al-adabi li al-Qur`an). Sasaran metode ini adalah mendapatkan pesan al-Qur`an secara menyeluruh dan bisa diharapkan terhindar dari kecenderunag-kecenderungan individual-ideologis. Pertama-tama al-Khuli menempatkan al-Qur`an sebagai kitab sastra terbesar. Penempatan ini berimplikasi bahwa sebelum studi al-Qur`an diselenggarakan, terlebih dahulu al-Qur`an harus dianggap sebagai teks sastra suci. Jika seseorang ingin mendapatkan pemahaman yang proporsional tentang al-Qur`an, ia harus mengambil pendekatan sastra.
Tidak dapat ditampik bahwa secara historis al-Qur`an diturunkan dalam kemasan bahasa Arab. Bahasa Arab, dengan demikian, merupakan “kode” yang digunakan Tuhan untuk menyampaikan risalah-risalah-Nya. Dari sini maka kearaban al-Qur`an harus diperhatikan terlebih dulu sebelum hal-hal lain. Tafsir sastra atas al-Qur`an yang ditawarkan al-Khuli mengajukan dua langkah metodologis: Kajian sekitar teks (ma haula al-Qur`an), dan kajian tentang teks itu sendiri (fi al-Qur`an nafsih).
Yang pertama melakukan penelusuran latar belakang al-Qur`an mulai dari proses pewahyuan, perkembangan dan sirkulasinya dalam masyarakat Arab sebagai objek wahyu beserta kodifikasi dan variasi cara baca. Termasuk pula aspek sosio-historis al-Qur`an yang meliputi situasi intelektual, kultural, dan geografis masyarakat Arab abad ketujuh ketika al-Qur`an turun. Singkatnya, kajian sekitar teks menyasar aspek-aspek historis sosial, kultural, dan antropologis wahyu bersamaan dengan masyarakat Arab abad ketujuh sebagai objek langsung teks wahyu.
Dengan melibatkan aspek-aspek humaniora dalam kajian al-Qur`an seperti tersebut di atas, al-Khuli sedang menyadarkan kita bahwa memahami wahyu tanpa melibatkan ilmu-ilmu humaniora yang selalu berkembang akan menyulitkan kita untuk sampai ke makna yang diinginkan teks. Harus segera diingkatkan bahwa hal ini sama sekali tidak menghilangkan sakralitas teks al-Qur`an. Pelibatan cabang-cabang humaniora justru untuk mempertegas bahwa dalam saktralitasnya yang tetap terpelihara, teks-teks itu hidup secara dinamis dan responsif terhadap dinamika realitas sosial yang menjadi konsideran nilai filosofis dari teks (wahyu). Di titik ini al-Khuli bertemu dengan pemikiran tafsir Muhammad ‘Abduh yang mengedepankan sosiologi (‘ilm ahwal al-basyar) dan dengan proposal pemikiran Fazlur Rahman yang menekankan historisitas dan kontekstualitas al-Qur`an agar mendapatkan pemahaman menyeluruh tentangnya.
Fi Al-Qur`an Nafsih
Kemudian yang kedua, yakni kajian tentang teks itu sendiri (fi al-Qur`an nafsih). Tentang hal ini, al-Khuli mengawali dengan investigasi terhadap kata-kata individual al-Qur`an (mufradat), sejak pertama diwahyukan, perkembangan, serta penggunaannya dalam al-Qur`an, dengan tujuan agar kata-kata itu dapat dipahami secara totalitas. Setelah mufradat, al-Khuli melanjutkan ke kata-kata majemuk (murakkabah). Sudah barang tentu, analisis-analisis al-Khuli dalam kajian ini tidak lepas dari ilmu gramatika dan balaghah. Hanya saja, dua ilmu ini “dipinjam” sekadar untuk meneguhkan keindahan sastra teks.
Pengakuan Bint al-Syathi tentang metode yang diajukan al-Khuli menutup Kata Pengantar ini. Kata Bint al-Syathi, prinsip metodologis dalam tafsir yang dikembangkan al-Khuli ini merupakan cara pemahaman yang objektf. Metode ini dicurahkan untuk mengkaji entitas tunggal di dalam al-Qur`an, sehingga dari sini, semua ayat dalam al-Qur`an yang berbicara mengenai objek tertentu dibawa bersama agar penggunaan kosa kata dalam al-Qur`an tersebut, serta strukturnya, dapat dipahami. Metode penafsiran ini berbeda dengan metode penafsiran surat per surat di mana kosa kata maupun kalimat dalam ayat dilihat secara terpisah dari konteks pembicaraan yang spesifik, yang diperjelas pula oleh konteks umum. Untuk itu, model penafsiran ayat per ayat dan surat per surat seperti lazimnya dilakukan oleh para mufassir dalam pelbagi karya tafsir mereka, tidak akan mampu memahami secara utuh kosa-kosa kata yang digunakan al-Qur`an.
Saya tambahkan. Al-Khuli, dengan metode tafsir al-Qur`an yang diajukannya, mengajak kita untuk menyelami kedalaman makna dan keluhuran pesan al-Qur`an dengan berbekal dua peranti secara bersamaan dan saling menguatkan. Peranti pertama meminta kita untuk melibatkan kesadaran historis dalam setiap pembacaan atas teks-teks al-Qur`an. Bahwa ia tidak turun di ruang hampa. Ia tidak bicara sendirian. Ia berdialog dan berdialektika dengan masyarakat dengan segala dinamika dan setting sosialnya. Sedang peranti kedua menuntut kita untuk berkesadaran bahwa segenap makna dan pesan al-Qur`an dikemas dalam kata-kata bahasa Arab. Bahasa Arab yang mengemas atau membingkai segenap makna dan seluruh pesan al-Qur`an itu bukan bahasa Arab “asal-asalan”, melainkan bahasa Arab dengan tingkat dan nilai sastra luar biasa tinggi dan besar.
__
Status ini insyaallah akan jadi Kata Pengantar untuk buku karya sahabat saya, Dr. KH. Hasani Ahmad Said , dengan judul “Corak Sastra Tafsir al-Qur’an; Studi atas Tafsir Al-Azhar Karya Hamka.”