Islamsantun.org. Maulana Jalaluddin Rumi (1207-1273) diutus oleh Tuhan semesta alam, baik ke Barat maupun ke Timur, untuk menjajakan dua hal sekaligus yang merupakan fondasi utama bagi ditegakkannya agama Islam dengan sempurna. Yaitu, kebenaran dan keindahan. Dan dengan segenap ketulusan dan kepiawaian menyampaikan keduanya, nama beliau kemudian menjadi sangat populer di dalam sejarah kesusasteraan dan sufisme.
Konon, kemasyhuran yang disandang oleh wali agung yang kuburannya begitu megah di Konya itu merupakan berkah dari doa salah satu gurunya, Syaikh Fariduddin ‘Aththar. Orang-orang suci memang seringkali dijadikan sarana olah Allah Ta’ala untuk memberkati kehidupan orang lain. Mereka adalah perpanjangan tangan-tangan Allah Ta’ala di dalam menanam benih-benih dan merawat pohon-pohon kebaikan dan kemulian.
Ketika Rumi kecil masih berumur sekitar sepuluh tahun, Bahauddin Walad yang tak lain adalah ayahnya sendiri, mengajaknya untuk menjumpai ‘Aththar. Oleh si penulis kitab Mantiquth Thayr itu, Rumi kecil dielus-elus kepalanya. “Kelak,” ungkap ‘Aththar kepada Bahauddin Walad dengan keyakinan dan kekuatan rohani yang sangat cemerlang, “anakmu ini akan harum namanya, baik di Barat maupun di Timur.” Sang ayah merinding menyimaknya.
Ada seorang sufi yang mengatakan bahwa ketika mengucapkan kalimat sakti itu ‘Aththar sebenarnya sedang meramal kegemilangan spiritual Rumi yang kelak akan menjadi berkah bagi banyak orang. Ada juga yang menyatakan kalau ‘Aththar pada waktu itu sesungguhnya tidak sedang meramal, tapi lebih dari itu beliau malah sedang mengukir perjalanan rohani kehidupan Rumi dengan izin dan pertolongan Allah Ta’ala.
Di dalam diri Maulana Rumi, kebenaran begitu sublim bersenyawa dengan keindahan. Beliau merupakan waduk spiritual yang sangat luas dan dalam di mana dam-damnya telah menjadi ambrol. Air yang jernih, hegenis dan menyuburkan itu mengalir ke mana-mana. Mengairi sawah-sawah, menyirami kebun-kebun bunga, menumbuhkan pepohonan demi pepohonan dan dikonsumsi, baik oleh umat manusia maupun oleh binatang.
Karena itu, kita tidak begitu sulit untuk memaklumi dan menikmati derasnya waduk spiritual pendiri Tarekat Mawlawiyah itu. Sebuah waduk rohani yang sumbernya adalah kebenaran dan keindahan hadiratNya itu sendiri.
Berlaksa-laksa kebenaran dan keindahan yang beliau sebarkan lewat puisi-puisinya sungguh sangat kuat mencengkeram jiwa-jiwa manusia. Maklum. Beliau sama sekali tidak mendengungkan konsep, rumus dan teori semata. Yang beliau jajakan dengan sepenuh kasih sayang tak lain adalah kelezatan pesta pora rohani yang sebelumnya telah dinikmati juga oleh para nabi, rasul dan wali.
Maka tidaklah mengherankan kalau beliau menyapa dan memandang segala sesuatu dengan paradigma cinta ilahiat semata-mata. Dipandanglah semua makhluk sebagai realisasi dari stempel keilahian yang menyembul bersama dengan degup dan nafas cintaNya yang sudah terinternalisasi secara sempurna ke dalam dirinya.
“Di dalam hatiku,” ungkap Maulana Rumi dengan sangat meyakinkan pada bait pertama kitab Rubaiyatnya di baris ketiga dan keempat, “ada api yang menyala karena keindahan kekasih. Wahai dukacita, jika kau punya nyali datanglah ke mari!”
Sungguh, bait di atas itu tidak saja merupakan simbol bagi cinta ilahiat yang sedang membara, tapi lebih dari itu juga menunjuk kepada keberanian yang luar biasa dalam menyeberangi medan kehidupan yang seringkali dihantam oleh badai dan berbagai malapetaka lainnya, ditikam oleh penindasan dan berbagai kelaliman lainnya.
Itulah efek terpuji dari kesadaran, ketulusan dan keberanian menenggak anggur rohani. Siapa pun aku, engkau, dia dan mereka: jika telah menenggak anggur rohani itu, pastilah akan menjadi kekasih Tuhan yang tidak akan pernah letih membagi-bagikan kebenaran dan keindahan, menjajakan makrifat, cinta dan kasih sayang. Wallahu a’lamu bish-shawab.