Saya masih ingat, sekitar tahun 2005 untuk pertama kalinya saya datang ke warnet di pinggiran kota Solo. Jika tidak salah tarif warnet masih 8 ribu perjam, itupun lemotnya minta ampun. Saat itu saya terkesima dengan email, betapa berkirim surat jadi sangat mudah dan gratis. “Media sosial” yang paling populer adalah Friendster. Harap maklum, waktu itu flashdisk masih jadi barang mewah, tak semua orang punya. Seingat saya, itu masa-masa peralihan dari disket ke flashdisk.
Zaman bergerak, internet berkembang pesat. Bisa kita saksikan kini jual beli terjadi di marketplace. Triliunan uang berputar di sana. Tinggal satu dua kali klik gawai, esok barang pesanan kita sampai. Begitu juga untuk memesan ojek, makanan, hotel dan tiket. Hanya butuh satu dua sentuhan saja. Bahkan untuk urusan mencari jodoh sudah tersedia aplikasinya.
Meski begitu internet juga menyimpan sejumlah “bahaya”. Kejahatan siber misalnya. Belum lagi orang-orang yang brutal dalam memanfaatkan sosial media. Tempo hari kita dengar berita sejumlah orang ditangkap karena menyebar kabar bohong di medsos. Ada pula kasus anak-anak kecanduan gawai dan game online. Ditambah dengan tren belajar agama online, belajar agama tanpa guru, yang makin marak.
Menurut Wilhem, setidaknya ada tiga cara pandang terhadap kemajuan teknologi (internet): utopian, dystopian dan technorealism. Utopian melihat internet sebagai teknologi yang akan mengubah semua segi hidup manusia, memberi arah baru dan meninggalkan pola-pola lama. Sementara dystopian memandang internet dengan kacamata yang lebih pesimitis. Bagi mereka, internet merusak kehidupan manusia, terutama merusak komunikasi dan ikatan emosional. Adapun technorealism, mendudukkan internet dengan pandangan lebih realitis, plus minus internet diterima, tak perlu dilawan, tapi tetap harus tetap diberi kritik.
Di Facebook seorang kawan mengomentari kasus “masuknya Atta Halilintar dalam soal ujian SD”. Ketika orang-orang menyalahkan pembuat soal, ia justru melihat dengan sudut pandang lain. Baginya tak ada yang salah dengan soal itu. Ia menemukan banyak anak SD hari ini yang memang bercita-cita adi Youtuber, bukan lagi dokter atau insinyur. Ini tak bisa dihindarkan, tinggal dibutuhkan penyikapan yang tepat. Ada peluang dan tantangan di sana, orang tua dituntut bijak.
Atta Halilintar memang Youtuber yang cukup menyita perhatian. Selain karena konten Youtube-nya yang dianggap kurang bermutu, Atta juga mendapatkan Diamond Award dari Youtube, sebab jumlah subscriber-nya mencapai 10 juta, terbanyak di Indonesia. Nyatanya Atta adalah sosok yang kini sedang digandrungi. Atta, boleh jadi, adalah salah satu penanda dari perubahan yang disebabkan internet. Tampaknya kita mesti merumuskan kembali makna “cita-cita masa kanak” dan “kerja cari uang”.
Di zaman internet, kiranya kita juga perlu memikirkan “cara berpikir”. Saya membaca buku The Shallows: Internet Mendagkalkan Cara Berpikir Kita? karya Nicholas Carr. Buku itu bikin gentar sejak dari judul. Alangkah mengerikan jika cara berpikir kita jadi dangkal karena internet. Memang, menurut Carr, internet menjadikan kita sulit berkonsentrasi, berpikir mendalam dan susah merenung. Sejumlah kawan mengaku mulai kesulitan melahap buku-buku babon setebal bantal. Sebagain anak muda malas membuka kitab-kitab klasik untuk menjawab persoalan agama. Maunya yang pendek-pendek saja, sependek cuitan di Twitter. Ringkas, meskipun dangkal.
Tampaknya Carr termasuk kelompok yang pesimistis dalam memandang internet. Namun, saya kira selalu ada cara untuk mengahadapi hantu kedangakalan berpikir itu. Mungkin Atta punya solusinya.