Mukena Syahrini harga 3,5 juta laku 5000 potong. Berita itu lalu lalang di beranda media sosial saya tempo hari. Bersama dengan berita Rafathar yang dapat kado mobil mewah karena naik kelas. Membaca berita-berita itu saya tertawa dalam hati dan menyimpulkan bahwa Indonesia sedang baik-baik saja.

Ya, Indonesia sedang baik-baik saja. Setelah melewati peristiwa-peristiwa besar, yang salah satunya cukup mengkhawatirkan (kerusuhan 22 Mei), Indonesia kembali “normal”. Orang-orang sudah kembali ke dunianya masing-masing. Kembali dalam gegap gempita menyiapkan lebaran.

Kemarin, saya berada di Yogya dan mendatangi salah satu ruas jalan di Yogya dengan deretan toko-toko baju muslim. Mungkin ada lebih dari lima toko sejenis di jalan itu. Sebut saja Zoya, Mezora, Pand’s, Karita, Hijup, Elzatta. Menariknya, malam itu, hampir semua toko ramai diserbu pengunjung. Beberapa toko menawarkan diskon. Harga pakaian yang ditawarkan berkisar ratusan ribu hingga jutaan.

Berhadapan dengan toko baju muslim yang begitu padat di hari ke 25 Ramadhan, mungkin kita akan mempertanyakan narasi yang terus-menerus dihembuskan, bahwa hari ini rakyat hidupnya semakin susah. Apakah narasi itu hanya sekadar propaganda? Sekadar bahan menakut-nakuti? Toh rumah makan hampir tiap hari penuh dengan acara buka bersama, swalayan padat orang membeli gula, minyak, sirup dan biskuit.

Saya, tentu saja, bukan pakar ekonomi. Tapi rasanya taraf hidup masyarakat meningkat. Masyarakat hari ini lebih banyak punya pilihan pekerjaan. Tidak sebatas guru, petani, pedagang, atau PNS seperti zaman dulu. Saya kira ini salah satunya berkat “keajaiban internet”. Mahasiswa berpenghasilan lebih besar dari dosen kini lumrah belaka. Mereka ada yang jadi sopir ojol, ada yang jual sepatu online dll. Pekerjaan-pekerjaan itu belum kita temukan di tahun 2000-an ketika penggunaan internet belum semasif sekarang.

Kembali ke soal toko busana muslim yang dipadati pembeli, saya kira ini ada kaitanya dengan orang Indonesia yang cenderung konsumtif. Terutama generasi milenial. Seorang pakar digital lifestyle, Ben Soebiakto, menyebut bahwa generasi milenial yang konsumtif ini salah satunya dipengaruhi budaya digital dan penggunaan internet.

Menurut Ben, setidaknya ada faktor kenapa para milenial cenderung konsumtif. Pertama, karena peer pressure dari komunitas atau lingkaran pertemanan. Kedua, karena pengaruh dari influencer di media sosial. Endorsement lewat influencer media sosial adalah cara pemasaran produk yang lebih efektif bagi generasi milenial, dibanding iklan di televisi.

Mungkin paparan di atas bisa menjelaskan kenapa mukena Syahrini bisa laku keras, permintaan busana muslim meningkat tajam di bulan Ramadan, dan toko-toko seolah menolak sepi. Sebagaimana lagu Efek Rumah Kaca, kita seperti diajak “belanja terus sampai mati”. Apakah ada yang salah dengan belanja? Selama tidak berlebihan, dan bisa membedakan antara kebutuhan dan keinginan, kiranya tidak jadi soal.

Jelang lebaran, para dai sering meningatkan di mimbar-mimbar kultum bahwa lebaran bukan hanya perkara pakaian baru, tapi juga tentang bertambahnya ketakwaan dan ketaatan. Namun seruan itu tampaknya belum mampu meredam hasrat belanja dan keinginan tampil modis di hari lebaran. Bahkan, di Kartasura saya bertemu bazar baju di seberang masjid yang ramai diserbu pembeli sementara di masjid sedang berlangsung salat tarawih.

Sekali lagi berbelanja baju baru untuk lebaran bukan sebuah dosa. Namun, semoga kita bisa menangkap hal yang lebih substansial, bukan yang artifisial. Terlalu sibuk dengan urusan baju lebaran boleh jadi kita terlalu khusyuk dengan yang artifisial. Sementara output Ramadan (yang substansial) bukan itu.

Ngomong-ngomong, sudahkah Anda membeli baju lebaran? Berapa potong?

Komentar