Dewasa ini, dunia virtual kita diramaikan dengan gerakan belajar Al-Quran. Sejumlah program menawarkan cara cepat membaca Al-Quran dalam hitungan hari bahkan jam. Hal ini disebabkan perkembangan teknologi yang kian pesat, membuat orang berpikiran instan dan cepat. Kecepatan informasi lebih utama daripada ketepatan substansi. Paradigma ini jugalah yang mempengaruhi pemikiran orang dalam belajar Al-Quran.

Padahal, jika kita kembali ke sejarah pewahyuan, Allah Swt mendidik Nabi Muhammad dan para sahabat secara bertahap. Ayat-ayat Al-Quran diturunkan berangsur-angsur di Mekah dan Madinah. Sekitar 23 tahun proses yang dibutuhkan untuk menancapkan ajaran Al-Quran ke dalam hati Nabi Muhammad.

Jika proses yang dibutuhkan begitu panjang untuk sekelas Nabi Muhammad, maka apakah bisa kita yang manusia biasa belajar Al-Quran dalam hitungan hari atau bahkan jam? Biarlah hati nurani kita yang menjawab itu.

Imam Ali Al-Shabuni dalam kitabnya, al-Tibyan fi ‘Ulum al-Quran menyebutkan beberapa hikmah yang terkandung dari pewahyuan Al-Quran secara bertahap (munajjaman). Di antaranya adalah untuk menguatkan kondisi psikologis Nabi Muhammad di tengah ancaman orang musyrik. Hal ini sebagaimana yang termaktub dalam Surat Al-Furqon ayat 32:

وَقَالَ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ لَوۡلَا نُزِّلَ عَلَيۡهِ ٱلۡقُرۡءَانُ جُمۡلَةٗ وَٰحِدَةٗۚ كَذَٰلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِۦ فُؤَادَكَۖ وَرَتَّلۡنَٰهُ تَرۡتِيلٗا

Berkatalah orang-orang yang kafir: “Mengapa Al Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?”; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacanya secara tartil (teratur dan benar).

Hikmah lainnya adalah tahapan dalam pelaksanaan ajaran Islam. Ini menjadi metode dakwah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad yaitu dengan pelan-pelan dan menyesuaikan kondisi masyarakat. Misalnya dalam penetapan hukum khamr, keharaman khamr tidak diturunkan secara langsung. Ada tahapan yang dilalui, mulai dari adanya informasi awal tentang manfaat khamr di saat tradisi minum khamr begitu mengakar di kalangan masyarakat Arab, tetapi bahayanya lebih besar. Kemudian larangan salat dalam kondisi mabuk, hingga puncaknya mengharamkan secara total setelah keimanan para sahabat Nabi menjadi kokoh.

Dengan demikian, melalui tahapan tersebut, kita dapat melihat betapa pentingnya sebuah proses. Tidak sekadar mengejar hasil, tanpa ada proses yang benar. Selain itu, dari proses yang panjang tersebut juga memudahkan masyarakat muslim untuk menghafalkan Al-Quran. Imam Al-Shabuni menegaskan, “Seandainya Al-Quran itu turun sekaligus, niscaya akan menyulitkan untuk dihafal, ditadaburi, dan dipahami maknanya.”

Oleh karena itu, kita dapat belajar melalui kehidupan Nabi Muhammad bahwa memahami Al-Quran itu adalah sebuah perjalanan yang panjang. Bahkan pada akhirnya Al-Quran tidak sebatas dihafal semata dalam wilayah kognitif, tetapi juga sudah menyatu dalam kehidupan Nabi Muhammad itu sendiri.

Hal ini pernah digambarkan oleh Sayyidah Aisyah, ketika ditanya bagaimana akhlak Nabi Muhammad. Beliau menjawab, “Akhlak Nabi adalah Al-Quran”. Nilai kemanusiaan dan keadilan bukan menjadi konsep yang dihafalkan, tetapi menjadi laku yang dijalankan.

Inilah refleksi yang dapat kita renungkan bersama memperingati Nuzulul Quran kali ini. Tahun ini peringatan Nuzulul Quran yang kita lakukan cukup unik dan menarik. Sebab, sudah beberapa minggu sebelum Nuzulul Quran ini, kita telah ber-uzlah di rumah masing-masing.

Mirip seperti apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad pra pewahyuan. Beliau lebih banyak menyendiri di Gua Hira hingga kedatangan Malaikat Jibril. Semoga di tengah suasana uzlah massal ini, kita bisa mentadaburi kembali nilai-nilai Al-Quran dan menghidupinya dalam keseharian.

Komentar