Islamsantun.org. Tuduhan bahwa Imam al-Ghazali (w. 505 H/1111 M) adalah sumber kemunduran dunia Islam, sudah sering saya dengar, sejak saya masih menjadi mahasiswa di tahun 90an dan, anehnya, masih berlanjut hingga sekarang. Melalui kitabnya yang masyhur, Ihya’ ‘Ulum al-Din, al-Ghazali dianggap telah menanamkan mentalitas pasrah, fatalistik, dan “menyingkir” dari dunia (‘uzlah), dan dengan demikian menyebabkan kemunduran umat. Al-Ghazali juga dianggap sebagai “dalang” yang bertanggung jawab atas matinya filsafat di dunia Islam — tuduhan yang klise dan sudah banyak dibantah oleh banyak sarjana Barat sendiri. Karya paling mutakhir yang mengoreksi tuduhan ini adalah buku karya seorang sarjana ahli al-Ghazali, Frank Griffel, berjudul “The Formation of Post-Classical Philosophy in Islam” (terbit 2021).
Tuduhan serupa juga diarahkan kepada ulama dan sarjana besar lain yang menjadi “panutan teologi” kaum Sunni di hampir seluruh dunia Islam, termasuk di Indonesia, yaitu Imam Abu-l-Hasan al-Asy’ari (w. 324 H/936 M). Imam al-Asyari, pendiri sebuah mazhab teologi yang disebut dengan akidah Asy’ariyah itu, dituduh sebagai sumber kemunduran sains di dunia Islam karena ajarannya yang menolak teori kausalitas (nadzariyyah al-‘illiyyah), hukum sebab-akibat.
Teori kausalitas adalah asas utama perkembangan sains. Sains tidak bisa tumbuh tanpa fondasi hukum sebab-akibat ini; hukum yang menjamin prediktabilitas dan keteraturan dalam alam raya. Menyangkal teori ini, sebagaimana dituduhkan kepada Imam al-Asy’ari (juga al-Ghazali, sebab ia adalah salah satu tokoh penting yang berjasa dalam merumuskan doktrin Asy’ariyah), sama saja dengan menyangkal sains. Karena itu, al-Asy’ari dituduh sebagai pangkal kemunduran sains di dunia Islam. Ajarannya tentang “okasionalisme” (artinya: sesuatu terjadi bukan karena adanya hukum sebab-akibat yang “imanen”, tertanam dalam alam raya, melainkan karena intervensi Tuhan) dianggap membunuh sains.
Tulisan ini akan menjawab secara ringkas tuduhan-tuduhan itu. Inti jawaban saya sederhana: Tuduhan-tuduhan itu, menurut saya, meleset, tidak benar. Tetapi saya harus mengemukakan “disclaimer”: Dengan menyangkal tuduhan ini, bukan berarti saya mengingkari fakta bahwa dalam banyak hal, dunia Islam saat ini memang sedang mundur, terutama dalam hal pengetahuan dan sains. Fakta ini sama sekali tidak saya sangkal. Yang saya sangkal adalah tuduhan yang menjadikan dua ulama besar Islam itu sebagai pangkal masalah.
Saya akan membagi jawaban saya ini dalam tiga “cluster” atau gugusan isu. Gugus pertama berkaitan dengan kultur pengetahuan dan cara berpikir. Gugus kedua berkenaan dengan budaya, dan gugus ketiga berkenaan dengan masalah-masalah politik. Jawaban saya ini akan mengambil pengalaman umat Islam di Indonesia, terutama warga nahdliyyin atau NU, sebagai rujukan utama. Dalam tiga gugus ini, saya akan menunjukkan bahwa tuduhan-tuduhan itu tidak benar.
Baik, saya akan mulai dengan gugus pertama. Apakah benar terjadi kemunduran dalam hal kultur pengetahuan di kalangan (sebut saja) “anak-cucu” al-Ghazali dan al-Asy’ari? Apakah benar, dengan mengikuti ajaran kedua ulama besar ini, warga nahdliyyin mengalami kemunduran dalam aspek pengetahuan dan daya kritisisme? Sebelum melanjutkan jawaban ini, saya ingin menegaskan bahwa apa yang saya sebut dengan “anak-cucu” al-Ghazali dan al-Asy’ari dalam konteks Indonesia, tiada lain, adalah warga nahdliyyin, terutama para santri, mahasiswa, aktivis NU. Merekalah anak-cucu dan pelanjut ajaran-ajaran al-Ghazali di Indonesia, baik mereka sadari atau tidak.
Jika kita telaah peta umat Islam di Indonesia saat ini, akan tampak gambar “kasar” seperti ini: segmen umat yang paling bersemangat untuk menerima gagasan-gagasan pembaharuan Islam justru datang dari kalangan anak-anak muda NU. Kalangan terpelajar Islam yang paling antusias membaca, menelaah, dan mendiskusikan gagasan-gagasan pembaharuan Islam yang dilontarkan oleh Nurcholish Madjid, Munawir Sjadzali, Harun Nasution, adalah justru anak-anak lulusan pesantren tradisional yang kemudian meneruskan pendidikan di IAIN/UIN. Sebaliknya, kalangan yang paling “enggan”, bahkan menyesatkan dan mengkafirkan para pembaharu itu, untuk sebagian besar, justru datang dari luar komunitas nahdliyyin.
Yang menarik adalah sosok Kiai Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Siapa yang bisa menyangsikan bahwa Gus Dur adalah bagian dari anak-anak cucu al-Ghazali di Indonesia? Ia pernah menempuh pendidikan Islam di pesantren tradisional di Tegalrejo, Magelang. Dia pernah menempuh pendidikan di Universitas al-Azhar, lembaga yang bisa kita anggap sebagai “pemangku” dan pelestari tradisi Islam Sunni yang mengikuti ajaran-ajaran al-Ghazali, al-Asy’ari, al-Maturdi, dll. Dari al-Azhar inilah lahir seorang ulama besar yang dianggap sebagai “Imam Ghazali Abad ke-20”, yaitu Syaikh Abdul Halim Mahmud. Kiai Mustofa Bisri alias Gus Mus adalah salah satu murid ulama besar ini.
Peran Gus Dur dalam mengenalkan kultur pengetahuan Islam baru yang lebih kritis dan progresif di kalangan generasi muda nahdliyyin, jelas amat besar. Gus Dur lah yang mengenalkan untuk pertama kali buku-buku pemikir besar asal Mesir yang meninggal pada 21/10 yang lalu, yaitu Hassan Hanafi. Pada tahun 90an, Gus Dur mengenalkan salah satu karya penting Dr. Hanafi kepada anak-anak muda nahdliyyin, yaitu “Min al-‘Aqidah Ila al-Tsaurah” (Dari Akidah ke Revolusi).
Melalui sebuah artikelnya di Jurnal Prisma pada tahun 80an, Gus Dur mengenalkan gagasan besar Hanafi tentang Kiri Islam atau al-Yasar al-Islami. Pada tahun 90an, Penerbit LKiS Yogyakarta (penerbit yang didirikan oleh anak-anak NU itu), pernah menerbitkan sebuah disertasi yang ditulis oleh seorang sarjana Jepang tentang gagasan Kiri Islam Hassan Hanafi itu. Pada zamannya, buku ini menjadi salah satu “kitab gerakan” dan bacaan penting bagi aktivis dan intelektual NU (bahkan meluas sampai ke kalangan di luar lingkaran NU) pada dekade 90, era keemasan gerakan-gerakan masyarakat sipil untuk melawan otoritarianisme Orba.
Begitu besarnya pengaruh Gus Dur dalam mengenalkan gagasan-gagasan Hassan Hanafi ini di kalangan aktivis NU, ssehingga sejumlah kiai muda pun tertarik membaca buku-buku Hanafi. Salah satunya adalah Kiai Ishomuddin Hadziq alias Gus Ishom, salah satu sepupu Gus Dur. Beberapa bulan sebelum wafat pada 2003, saya pernah bertemu dan berdiskusi lama dengan Gus Ishom tentang pemikiran Hassan Hanafi. Dari diskusi itu, saya tahu bahwa kiai muda yang digadang-gadang menjadi pengasuh Pondok Tebuireng itu, sangat akrab dengan gagasan-gagasan Hanafi. Gus Ishom membaca dengan cukup serius buku “Min al-‘Aqidah ila al-Tsaurah”.
Gus Dur tidak hanya mengenalkan Hassan Hanfi. Ada dua pemikir Islam lain yang dikenalkannya kepada anak-anak NU. Yang pertama adalah Muhammad Abid al-Jabiri (w. 2010), pemikir besar Islam dari Maroko. Saya adalah salah satu anak muda NU yang menerima “berkah pemikiran dari Gus Dur ini. Dari dialah saya mengenal mengenal bukul-Jabiri yang paling populer, “Naqd al’Aql al-‘Arabi” (Kritik Akal Arab). Saya harus membikin pengakuan di sini: buku ini saya curi dari rak pribadi Gus Dur di kantor PBNU (yang lama, sebelum dibangun dan menjadi bagus seperti sekarang). Pada tahun 90an, gagasan-gagasan Al-Jabiri banyak dibaca dan dikaji dengan penuh antusiasme oleh anak-anak NU.
Pemikir lain yang dikenalkan oleh Gus adalah Muhammad Arkoun (w. 2010), seorang pemikir Muslim yang “kontroversial” dari Tunisia. Arkoun melewatkan seluruh karir akademisnya di Universitas Sorbonne, Paris (universitas yang merupakan alma mater dari Hassan Hanafi). Dia dikenal, antara lain, melalui gagasannya tentang dekonstruksi” (tafkik) pemikiran Islam. Saya mengenal Arkoun melalui foto kopi salah satu karyanya (saya sudah lupa judulnya). Naskah asli buku ini ada di tangan Gus Dur. Foto kopi ini saya peroleh dari Abdul Mun’im Saleh, salah seorang staf redaksi Jurnal Pesantren yang diterbitkan oleh P3M (Mas Mun’im saat ini menjadi dosen di IAIN Ponorogo). Buku ini kemudian membawa saya berpetualang untuk mencari karya-karya Arkoun yang lain. Saya akhirnya berhasil memperoleh hampir semua karya dia.
Sebagaimana Hassan Hanafi dan Al-Jabiri, buku-buku Arkoun menjadi bacaan yang amat disukai anak-anak NU pada tahun-tahun 90an. Saya menjadi salah satu saksi sejarah dari generasi “pencerahan” dalam NU ini. Mereka tersebar di banyak kota: Yogyakarta, Jakarta, Semarang, Surabaya, dan Makassar. Di Yogyarta, anak-anak cucu al-Ghazali yang menjadi murid-murid Gus Dur itu berkumpul dalam sebuah gerakan, dan kemudian menubuh dalam sebuah lembaga bernama LKiS (Lembaga Kajian iSlam dan Sosial). Huruf “i” dalam singkatan itu sengaja ditulis dengan huruf kecil — menandakan suatu visi tetentu mengenai Islam. Lembaga ini kemudian berkembang menjadi sebuah penerbitan. Buku-buku terbitan LKiS menjadi salah satu bacaan favorit tentang isu-isu keislaman pada dekade 90an dan 2000an.
Gus Dur memang telah membukakan pintu pengetahuan yang “baru” dan “segar” bagi anak-anak NU. Setelah pintu itu terbuka, anak-anak NU kemudian melakukan penjelajahan sendiri ke segala penjuru. Mereka, dengan penuh semangat, membacai hampir semua pemikir-pemikir Muslim baru yang sulit diterima di negeri-negeri Muslim lain; salah satunya adalah Nasr Hamid Abu Zayd (w. 2010), pemikir Mesir yang pernah diadili di negerinya sendiri. Ia kemudian harus mengungsi (untuk kemudian mengajar) di Belanda. Salah satu buku Abu Zayd yang amat penting, “Mafhum al-Nass”, diterjemahkan oleh anak-anak NU di Yogya dan kemudian diterbitkan oleh LKiS.
Saat Nasr Hamid Abu Zayd berkunjung ke Indonesia pada 2009, sejumlah kelompok Islam di Indonesia mempersoalkannyan (siapa mereka, tentu anda sudah bisa menduga). Tetapi anak-anak NU membuka tangan lebar untuk menerima kedatangan pemikir besar ini. Gus Mus adalah salah satu tuan rumah yang menyambut kedatangan Abu Zayd. Saya bertemu Prof. Abu Zayd di “ndalem” Gus Mus di Rembang dan bercengkerma cukup lama di sana. Siapa itu Gus Mus? Dia tiada lain adalah bagian dari anak cucu al-Ghazali, bahkan murid langsung dari ulama besar penerus al-Ghazali pada Abad ke-20 yang sudah saya sebut di atas: Syaikh Abdul Halim Mahmud.
Yang menarik, anak-anak NU pula yang paling terdepan dalam menyambut gagasan-gagasan mengenai keadilan gender. Pikiran-pikiran Amina Wadud, Riffat Hassan, Ziba Mir-Hosseini, Fareed Essack, disambut dengan tangan terbuka dan dibaca dengan penuh semangat oleh generasi muda NU yang berwawasan Gusdurin. Dari kalangan NU pula lahir sejumpah pemikir yang memberikan kontribusi oenting dalam gagasan keadilan geder dari perspektif Islam. Sejbut saja nama-nama ini: Kiai Masdar F. Ma’sudi, Kiai Husein Muhammad, Nur Rofiah, Faqihuddin Abdul Kodir, Badriyah Fayumi, Imam Nakhe’i, dan, tidak boleh dilupakan, Lies Marcoes (meskipun sosok terakhir ini adalah hybrida atau campuran NU-Muhammadiyah). Para pemikir NU ini, dengan didukung oleh para pemikir lain (termasuk dari Muhammadiyah), telah berjasa besar untuk meggagas berdirinya KUPI (Kongres Ulama Perempuan Indonesia). Setahu saya, ini adalah satu-satnya organisasi ulama perempuan di dunia Islam saat ini (mohon dikoreksi jika saya keliru).
Sebelum menutup tulisan seri pertama ini, saya harus menyebut pemikir Muslim lain yang buku-bukunya juga banyak dibaca oleh anak-anak NU, yaitu Prof. Abdullahi Ahmed An Naim. Prof. An Naim adalah seorang pemikir Muslim asal Sudan yang terusir dari negerinya sendiri. Saat ini dia mengajar di Emory University, Atlanta, Amerika Serikat. Dia adalah salah satu murid dari seorang guru sufi di Sudan yang mati karena dihukum gantung, yaitu Mahmud Muhammad Taha. Salah satu buku penting An Naim adalah “Towards An Islamic Reformation”. Buku ini diterjemahkan, sekali lagi, oleh anak-anak NU di Yogyakarta dan diterbitkan oleh LKiS dengan judul yang agak “provokatif”: “Dekonstruksi Syariah”.
Antusiasme anak-anak NU untuk menyambut dengan tangan terbuka, marhaban ahlan wa sahlan, terhadap gagasan-gagasan Islam baru ini, menurut saya, amat mengesankan. Mahasiswa-mahasiswa berlatar NU yang belajar di Al-Azhar pada 90an dan 2000an, meneruskan semangat “keterbukaan intelektual” yang diajarkan Gus Dur ini. Merekalah satu-satunya kelompok mahasiswa internasional yang paling bersemangat membaca buku-buku pemikir Arab yang progresif seperti: Hanafi, Al-Jabiri, Abu Zayd, Husain Muruwwah, Ali Harb, Adonis, Sayyid Qimni, Muhammad Imarah, dll.
Keterbukaan anak-anak NU ini tidak berarti bahwa mereka meninggalkan tradisi sama sekali. Yang mengesankan bagi saya adalah bahwa mereka begitu bersemangat membaca pikiran-pikiran yang amat maju parai pemikir Muslim dari segala penjuru dunia itu, dan pada saat yang sama mereka tetap mempertahankan tradisi yang menjadi fondasi komunitas NU. Salah satu tradisi itu ialah hormat pada otoritas para kiai, Semua anak-anak NU yang “keranjingan” pada buku-buku Hassan Hanaf dan lain-lain itu, akan cium tangan jika bertemu dengan para kiai. Ini adalah bagian dari penghormatan kepada otoritas keilamuan.
Antusiasme anak-anak NU terhadap pemikiran-pemikrian baru dan semangat pemikiran keagamaan yang terbuka ini berlawanan secara kontras dan diametral dengan corak pemikiran keagamaan di kalangan lain di luar NU, terutama di kalangan aktivis-aktivis Islam yang belajar di universitas modern. Kalangan yang terakhir itu jelas bukan anak cucu al-Ghazali, bukan pula pengikut akidah Asy’ariyah. Mereka inilah yang justru menunjukkan praksis keberagamaan yang cenderung tertutup, penuh kecurigaan kepada kalangan non-Muslim, anti-Barat, dan konservatif.
Pertanyaan yang patut menjadi renungan bagi kita semua adalah: Jika benar ajaran-ajaran Imam Ghazali dan al-Asy’ari menimbulkan kemunduran, kenapa anak-anal cucuk dua ulama besar ini justru yang paling maju dan terbuka dalam hal pemikiran keislaman, dan paling toleran dan moderat dalam sikap-sikap keberagamaan, sekurang-kurangnya dalam konteks Indonesia kontemporer? Kenapa konservatisme Islam justru lebih menonjol di kalangan yang bukan merupakan anak-anak cucu al-Ghazali?
Tentu saja saya harus memberikan “caveat” atau catatan peringatan. Tidak semua yang saya sebut sebagai “anak-anak NU” memiliki sikap yang sama. Tidak semua setuju dengan gagasan-gagasan Islam baru itu. Bahkan ada sebagian dari kalangan anak-anak NU yang tidak sepakat pula dengan “semengat keterbukaan pemikiran” yang diajarkan Gus Dur. Saya tidak punya “ilusi” sama sekali bahwa anak-anak NU bersifat monolitik. Tidak. Ada banyak ragam “pemikiran” dalam NU. Tetapi ini justru menandakan sesuatu yang menarik dalam tubuh NU: kesediaan untuk menerima banyak ragam pemikiran, tanpa saling menyesatkan — sesuatu yang amat langka dalam praksis keberagamaan di Indonesia saat ini.
Ini baru cicilan pertama dari tiga seri jawaban yang saya rencakan. Masih banyak hal lain yang ingin saya kemukakan untuk menjawab tuduhan-tuduhan “miring” atas Imam al-Ghazali itu. Semoga teman-teman masih bersabar untuk membaca seri berikutnya.