Sahabat, kadang saya bingung, kenapa seringkali terjadi pertentangan yang sangat tajam di kalangan sesama umat beragama dalam memahami doktrin agama. Di satu sisi, ada kalangan yang mengkampanyekan perdamaian dan toleransi atas nama agama, serta mengunakan doktrin agama dengan mengutip berbagai ayat Al-Qur’an untuk mengkampanyekan misinya tersebut. Pada sisi yang lain, tidak sedikit juga pihak yang menggunakan doktrin agama dan lagi-lagi mengutip ayat Al-Qur’an untuk menghakimi orang lain, melakukan penindasan, menggunakan kekerasan, bahkan melakukan pembunuhan.
Di satu sisi, karena doktrin agama, banyak yang termotivasi untuk mengembangkan keilmuan dengan mengamati gejala alam dan sosial, di sisi yang lain, karena doktrin agama, ada yang menutup diri atas berbagai fakta temuan keilmuan dengan dalih ajaran agamanya sudah lengkap dan mampu menjawab berbagai persoalan keumatan.
Banyak sekali jawaban yang akan didapatkan jika kegelisahan saya diatas ditanyakan ke orang yang berbeda. Jawabannya sangat bergantung kepada sudut pandang orang yang menjawab. Tapi, pada kesempatan yang berbahagia ini, di tempat yang mulia ini (kaya lagi pidato, hehe..) ijinkan saya untuk mengemukakan jawaban dari perspektif saya sendiri.
Sahabat, jangan-jangan, banyaknya pertentangan itu karena kita tidak menggunakan kerangka berfikir fiosofis dengan mencari tujuan dasar diturunkannya agama ke muka bumi ini. Jangan-jangan, pertentangan itu terjadi karena kita memahami agama secara verbal, tidak melihat konteks ketika doktrin agama (Al-Qur’an maupun Hadis) tersebut diturunkan.
Perintah untuk berfikir secara mendalam (berfikir filsafat) sejatinya merupakan perintah Allah yang berkali-kali disampaikan dalam Al-Qur’an. Misalnya saja perintah melalui penggunaan bahasa Afalaa ta’qilun (Tidakkah kalian berfikir), Afalaa tadabbaruun (Tidakkah kalian merenung) afalaa tandhuruun (Tidakkah kalian melihat), Afalaa Yasma’un (Tidakkah kalian mendengar) dan lain-lain. Selain itu, Allah juga menekankan perbedaan antara orang yang mengetahui dan tidak mengetahui (afalaa yastawil a’ma wal basyiir), bahkan ayat yang pertamakali turun pun berbunyi Iqro (bacalah!). Sedikit penggalan ayat yang dikutip diatas merupakan bukti, bahwa berfikir secara mendalam (filsafat), merupakan sesuatu yang sangat diperintahkan Allah kepada manusia.
Hasil kajian dengan menggunakan kerangka filosofis menghasilkan sederet tokoh Islam melalui berbagai karyanya. Misalnya saja Fazlur Rahman dengan pemikiran Neo-Modernisme Islam (Islam and Modernity), Hassan Hanafi dengan Kiri Islam (al-Yasar al Islami), Mohammed Arkoun dengan Re-Thinking Islam, Nashr Hamid Abu Zayd melalui karyanya berjudul “Tekstualitas al- Qur’an: Kritik terhadap Ulumul Qur’an (Mahfum an Nash Dirasah fi Ilmil al-Qur’an)”, Abdullah. Ahmed An- Naim melalui karyanya berjudul “Dekonstruksi Syari’ah (Toward and Islamic Reformation Civil Liberties, Human Right and International Law). Di Indonesia juga muncul tokoh-tokoh intelektual seperti Harun Nasution dengan Islam rasionalnya, Nurcholis Madjid dengan Islam Inklusifnya, Abdurrahman Wahid dengan Pribumisasi Islamnya dan Moeslim Abdurrahman dengan teologi transformatifnya.
Kalau kita mau berfikir filosofis dengan mencari tujuan mendasar diturunkannya agama, maka kita akan mendapat garis yang lurus dan berkelanjutan (kontinyum) antara satu ajaran (ayat) dengan ajaran lainnya. Misalnya saja, ketika kita menyimpulkan tujuan mendasar diturunkannya agama adalah untuk mewujudkan keadilan sosial, memerangi kemiskinan, kebodohan, dan segala penindasan dalam bentuk apapun sebagaimana tawaran teologi islam transformatifnya Moeslim Abdurrahman, maka kita akan memahami doktrin agama pada hakekatnya untuk mewujudkan tujuan diatas, meskipun dalam konteksnya yang berbeda. Wallahu A’lam..