“Sejarah kebudayaan manusia adalah siklus pengulangan. Hampir tidak ada apa pun di dunia ini yang sama sekali baru. Dalam semua capaian kebudayaan, tidak mungkin orang bisa mengklaim sebagai yang pertama. Tidak ada generasi yang paling hebat dan paling kuat dalam perjalanan sejarah. Semua adalah rangkaian dan serpihan peristiwa yang berulang dan saling kait-kelindan. Kebudayaan dirajut dari generasi ke generasi, dari satu episode ke episode berikutnya. Kehebatan, kekuatan, bahkan kebenaran terikat oleh ruang dan waktu. Setiap tempat melahirkan tokohnya, setiap tokoh terikat dengan ruang sejarahnya. Setiap zaman ada tokohnya dan setiap tokoh ada zamannya. Itulah takdir Tuhan. Itulah kehendak sejarah. Wallahu A’lam” (Prof. Dr. Maftukhin, M. Ag, Rektor IAIN Tulungagung).
Refleksi Pak Rektor di hari ke-11 Ramadhan ini mengingatkan saya pada tiga nama: Syaikh Ahmad Badruddin Hassoun (Mufti Suriah), Mohammad Khatami (mantan Presiden Iran), dan Samuel Phillips Huntington (ilmiuan politik Amerika). Yang disebut pertama pernah menyampaikan pidato di depan Parlemen Eropa dalam ajang Pembukaan Tahun Dialog Antar Kebudayaan (al-Hiwar Bain al-Tsaqafat) tahun 2008.
Pada kesempatan itu, setelah membuka pidato dengan menyapa para anggota Parlemen sebagai “saudaraku sebumi, saudara se-ruh, dan saudara dalam kemanusiaan”, Syaikh Hassoun menegaskan bahwa hanya ada satu peradaban, yang banyak adalah kebudayaan. Kebudayaan yang beragam itu-lah yang memperkaya dan meluaskan peradaban kita yang satu, yaitu peradaban insaniah (hadharah insaniyah). Peradaban, tegas Syaikh Hassoun, adalah ciptaan kita bersama.
Masing-masing dari kita ikut membangun satu peradaban; peradaban kemanusiaan. Karena itu, bagi Syaikh Hassoun, tidak ada yang namanya benturan peradaban. Tunjuk satu pencapain modern, tantang Syaikh Hassoun, sejak zaman paling kuno hingga paling modern, maka akan kita temukan pencapaian itu merupakan hasil kerja dan kontribusi banyak orang dengan berbagai latar belakang agama, bangsa dan ideologi.
Kemudian Mohammad Khatami. Tahun 2001 Perserikatan Bangsa-Bangsa memproklamasikan sebagai Tahun Dialog Antar Peradaban atas saran Khatami. Pada Oktober 2009, Panitia Penghargaan Global Dialogue Prize menyatakan bahwa Dariush Shayegan dan Mohammad Khatami sebagai pemenang bersama penghargaan atas jasa mereka berdua dalam mengembangkan dan mempromosikan konsep Dialog Antar Budaya dan Peradaban.
Penghargaan Dialog Global adalah salah satu penghargaan paling signifikan di dunia untuk penelitian di bidang humaniora. Tapi pada Januari 2010, Mohammad Khatami menyatakan bahwa dirinya tidak dalam posisi untuk menerima penghargaan dan penghargaan itu diberikan hanya kepada Dariush Shayegan.
Lalu, Samuel P. Huntington. Berkebalikan dari Syaikh Hassoun dan Khatami, Huntington mengajukan teori “benturan peradaban” atau “clash of civilizations (CoC)”. Menurut teori ini, identitas budaya dan agama seseorang akan menjadi sumber konflik utama di dunia pasca-Perang Dingin. Teori ini dipaparkan Huntington dalam pidatonya tahun 1992 di American Enterprise Institute, lalu dikembangkan dalam artikel Foreign Affairs tahun 1993 berjudul “The Clash of Civilizations?”, sebagai tanggapan atas buku karya mahasiswanya, Francis Fukuyama, berjudul The End of History and the Last Man (1992).
Huntington kemudian mengembangkan tesisnya dalam buku The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order (1996). Frasa ini pernah digunakan oleh Albert Camus pada tahun 1946, dan Bernard Lewis dalam artikel The Atlantic Monthly edisi September 1990 berjudul “The Roots of Muslim Rage”. Frasa ini juga muncul di sebuah buku terbitan tahun 1926 tentang Timur karya Basil Mathews: Young Islam on Trek: A Study in the Clash of Civilizations.
Dalam amatan saya, renungan Pak Rektor kali ini sejalan dalam banyak hal dengan pernyataan Syaikh Ahmad Badruddin Hassoun di hadapan anggota Parlemen Eropa tahun 2008 dalam Pembukaan Dialog Antar Kebudayaan, dan seruan Muhammad Khatami kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang pentingnya membangun Dialog Peradaban. Di saat sama, renungan Pak Rektor berseberangan arah dengan teori “Clash of civilizations” yang dikemukakan Samuel Phillips Huntington. Sedikit perbedaan Pak Rektor dari Syaikh Hassoun dan Khatami terletak pada titik tekannya.
Pak Rektor menekankan aspek kebudayaan, sedang Syaikh Hassoun dan Khatami lebih mengarah ke peradaban yang tak lain bentukan dari kebudayaan. Pak Rektor juga menekankan kontinuitas dan orisinalitas kebudayaan; yakni “hampir tidak ada apa pun di dunia ini yang sama sekali baru. Dalam semua capaian kebudayaan, tidak mungkin orang bisa mengklaim sebagai yang pertama.” Nihil novum sub sole. Sedang Syaikh Hassoun dan Khatami, seraya sepakat dengan Pak Rektor bahwa tidak ada yang benar-benar baru, keduanya juga melihat bahwa sebuah peradaban merupkan hasil karya bersama. Semua memiliki kontribusi dalam membangun peradaban.
Terakhir, saya amat sepakat dengan Syaikh Hassoun bahwa peradaban manusia hasil kontribusi bersama itu haruslah melawan setidaknya tiga perkara: kebodohan, terorisme, dan ketertinggalan (al-jahl wa al-irhab wa al-takhalluf).