Zaman kecil dulu saya melihat orang-orang yang rumahnya di tepi jalan selalu menaruh kendi (rempat air minum dari tanah liat) di tepi jalan. Kendi itu diisi air kemudian ditaruh di satu tempat khusus yang terbuat dari anyaman bambu. Di daerah saya disebut bronjongan. Ada juga yang ditaruh di meja kecil atau kursi kayu.
Kendi berisi air itu disediakan bagi siapa saja yang lewat, baik pejalan kaki atau pengendara yang kehausan di jalan. Mereka tak perlu izin pada tuan rumah untuk meminum air kendi yang ditaruh di tepi jalan itu. Kapan saja para pejalan merasa haus, mereka dapat langsung meminumnya. Inilah cermin kepekaan sosial dan kepedulian pada sesama yang mewujud dalam tradisi.
Di masa kecil dulu, saya juga melihat tradisi “mbeleh wedus kendhit” (memotong kambing kendot) yang dilakukan secara gotong royong oleh masyarakat kampung. Tradisi ini diyakini sebagai upaya tolak balak ketika masyarakat menghadapi musibah “pagebluk” yang dalam bahasa kekinian disebut wabah penyakit menular. Selain tradisi “mbeleh wedhus kendhit” ada juga tradisi lain yang berfungsi sebagai tolak balak, misalnya sedekah bumi, ruwatan dan sejenisnya.
Jika dicermati, hampir semua tradisi yang terkait dengan tolak balak dilakukan dalam bentuk sedekah dan gotong royong. Artinya, keberadaan musibah menjadi sarana meningkatkan kepedulian pada sesama dan memperkuat kohesifitas sosial. Mereka bersama-sama menghadapi musibah dengan sedekah dan kerjasama (gotong rotong).
Tradisi inilah yang digali oleh Bung Karno, kemudian dirumuskan menjadi nilai-nilai Pancasila. Dalam tradisi Jawa, meminta minum adalah tindakan yang tidak mengenakkan, karena bisa menggangu orang lain. Karena bisa merasakan hal ini, maka orang-orang yang rumahnya di tepi jalan membalas perasaan tersebut dengan memasang kendi di tepi jalan agar orang-orang yang kehausan di jalan tapi sungkan minta minum itu bisa langsung minum tanpa merasa segan karena merepotkan orang lain. Inilah tepo sliro.
Tepo sliro itu kepekaan batin untuk saling memahami kesulitan dan keadaan orang lain. Pejalan kaki merasa repotnya orang yang dimintai tolong menyediakan minuman. Orang-orang yang tinggal di tepi jalan merasakan bagaimana susahnya orang menahan haus di perjalanan, maka dengan sukarela mereka menyediakan minuman. Perasaan ini tumbuh begitu saja tanpa ada yang memaksa dan mengarahkan.
Demikian juga sikap gotong royong dan bersedekah ketika menghadapi bencana. Saat muncul pageblug mayangkoro (penyakit menular yang mematikan dan belum ada obatnya) masyarakat saling bahu membahu, saling menguatkan untuk menerima musibah tersebut. Mereka juga mengunjungi keluarga yang terserang penyakit. Mereka juga melakukan upacara pengorbanan yang sarat dengan nilai sedekah sebagai upaya menangkal musibah yang sedang mewabah.
Berkembangnya wabah virus Corona saat ini merupakan pageblug, selain memiliki mematikan yang cepat juga belum ada obatnya. Tapi respons yang diberikan oleh masyarakat yang katanya modern, rasional dan beradab jusrru berkebalikan dengan masyarakat tradisional dan mistis. Alih-alih melakukan gotong mencari solusi bersama dan berbagi pada sesama. Mereka justru berebut memborong bahan makanan, masker, hand wash, sanitizer dan sebagainya hingga berdampak melambungnya harga-harga.
Tak ada lagi saling kunjung dan empati, yg ada justru sikap curiga, saling menyalahkan, isolasi yang berlebihan. Bahkan ada di antaranya yang menjadikan peristiwa pagebluk virus corona sebagai panggung politik untuk mendongkrak eksistensi diri. Suatu kenyataan paradoks masyarakat modern yang rasional, ilmiah dan beradab tapi justru sikapnya menjadi irrasional, emosional dan cenderung biadab. Rela mengorbankan orang lain demi keselamatan diri.
Kenyataan ini merupakan cermin betapa rapuhnya nikai-nilai Pancasila di kalangan masyarakat Indonesia. Kemanusiaan, keadilan dan kepedulian seperti lenyap ditelan ego dan ketakutan. Laku hidup Pancasila seperti yang dicontohkan dalam tradisi menaruh kendi di jalan, berbagi rejeki dengan melaksanakan upacara adat dan meningkatkan silaturrahmi untuk saling menguatkan hati serta kerjasama menghadapi musibah hampir tidak terlihat dalam kasus wabah virus Corona.
Ini merupakan tantangan besar dalam kerja pembudayaan dan revitalisasi Pancasila. Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) mestinya menjadikan wabah Virus Corona ini sebagai momentum menghidupkan kembali spirit Pancaaila dan rekonstruksi tradisi baik yang pernah dilakukan bangsa ini. BPIP bisa mengambil spirit dan nilai pasang kendi di jalan dengan menggerakkan pelajar, komuiitas dan anak-anak millenial untuk memasang hand wash dan santitizer di tempat strategis yang mudah dijangkau massa. Melakukan operasi pembagian masker atau penjualan masker murah. Dengan cara ini maka efek panic buying akan bisa dicegah atau paling tidak diminimalisir.
Selain itu, dalam upaya penanaman dan pengamalan nilai Pancasila di kalangan generasi muda dan masyarakat pada umumnya, BPIP bisa mempelopori kegiatan anjangasana dan kerjasama untuk menumbuhkan rasa emphati menguatkan hati dan kekompakan melawan wabah Corona. Mendirikan posko informasi dan tanggap darurat Corona dan sebagainya. Dengan demikian, masyarakat akan terhindar dari rasa panik dan ketakutan dan nilai-nilai Pancasila dapat diaplikasikan secara nyata sehingga manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat.
Fenomena Corona memang menakutkan, tapi ia bisa menjadi saranya dan momentum mengaktualisasikan tradisi yang sarat dengan nilai Pancasila. Tapi semua tergantung pada niat, kreatifitas dan kemauan bersama. Khususnya para elit sebagai pemimpin bangsa.*