“Dia khawatir lupa ayat-ayat al-Qur’an, makanya, dalam setiap komunikasinya selalu menggunakan kalimat-kalimat yang terdapat di dalam kitab suci itu. Kalau dia sampai lupa, takut Allah akan murka.” Begitu Ibrahim, Musa dan Yahya mengisahkan kebiasaan Ibunda mereka kepada Ibn al-Mubarak. Dan dia melakukan itu sejak 40 tahun.(Syekh Nawawi, Kifayah al-Atqiya’ [hlm. 57-58]).
Siapa pun bisa terkagum-kagum oleh wanita renta itu. Jangankan kita yang bukan siapa-siapa, sosok sekelas Ibn al-Mubarak saja dibuat terpana. Siapalah diri kita dibandingkan perempuan hebat itu. Jangankan membandingkan diri dengannya yang tiap waktu tak ingin lepas dari kalam-Nya, menyejajarkan diri dengan putra-putraya saja tidak selevel, apalagi dengan Ibn al-Mubarak yang jelas-jelas diakui dunia Islam sebagai salah satu tokoh penting dalam sejarah Islam.
Ya, data sejarah menunjukkan, ulama di masa lalu begitu akrab dengan al-Qur’an. Konon, al-Qur’an menjadi titik pijak pertama mereka sebelum belajar ilmu-ilmu lainnya, seperti hadis, fikih, kalam dan sebagainya. Atas dasar ini, tak heran bila kemudian kita jumpai banyak sekali tokoh-tokoh besar di masa itu yang sudah hafal al-Qur’an pada usia yang masih sangat belia.
Tentu, hal itu cukup menginspirasi, termasuk pada sebagian generasi hari ini. Hal ini, setidaknya, berdasarkan obrolan singkat kami dengan beberapa mahasiswa di salah satu Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN). Mereka bercerita, beberapa teman angkatannya bersemangat sekali menghafal al-Qur’an. Pada kondisi tertentu, tugas kuliah yang lain cenderung terabai. Bahwa di masa lalu, para ulama hafal al-Qur’an dulu baru memantapkan diri pada keilmuan tertentu, menjadi alasan yang paling dominan.
Di satu sisi, fakta ini perlu diapresiasi. Kita bisa optimis dan terus memupuk mimpi bahwa generasi ini bisa menjadi generasi Qurani, dalam pengertian begitu dekat dengan al-Qur’an. Namun, di sisi lain, tampaknya, kisah masa lalu itu belum mereka tangkap sepenuhnya. Seluruhnya. Mereka hanya bisa meraba bagian terpisah, kemudian menyebutnya sebagai representasi dari generasi emas saat itu. Mereka pun terobsesi untuk berada di posisi yang sama, atau mengandaikan diri seperti mereka.
Idealnya, situasi dan kondisi para ulama para penghafal al-Qur’an itu juga menjadi pertimbangan. Bagaimana pun, menghafal al-Qur’an di zaman itu jelas menjadi kebutuhan. Minimnya peralatan tulis, seperti kertas dan bolpen harusnya menjadi perhatian. Selain itu, tidak semua orang bisa dengan mudah mendapatkan mushaf. Kalau pun punya, kita pun tidak bisa mengandaikannya leluasa ditaruh di dalam tas kecil atau saku baju. Dengan hafal al-Qur’an, beberapa kendala teknis ini bisa diantisipasi dengan baik.
Kalau pun sebagian dari penghafal itu hidup di era industri, dengan mesin percetakan al-Qur’an di mana-mana, tetap saja mushaf-mushaf itu tidak sama dengan aplikasi al-Qur’an. Bila kebetulan perlu mencari sebuah kata dalam al-Qur’an, sementara mereka tidak hafal, maka mereka dipaksa untuk membuka lembar-demi lembar mushaf itu sampai ketemu. Hal ini berbeda dengan aplikasi al-Qur’an, tinggal klik di “Pencarian,” dan akan muncul hasilnya dalam waktu seperdetik. Lengkap dengan nomor ayat, tanda baca, tanda tajwid, hingga tafsirnya.
Ringkasnya, pada dasarnya tidak ada yang salah dengan obsesi menghafalkan al-Qur’an. Tetapi, pengabaian terhadap aspek lain yang tidak kalah penting, jelas kurang bijak. Aspek apakah itu? Kalau bukan ilmu-ilmu al-Qur’an dan tafsir, berarti ilmu hadis, serta perangkat keilmuan lainnya. Posisi al-Qur’an sebagai petunjuk, tidak bisa optimal hanya dengan hafalan. Bila sebuah petunjuk diumpamakan sebagai peta besar, maka hafal saja tidak menjamin kita tak akan tersesat jauh. Fungsi peta harus dipahami, terlebih bila memang banyak memuat kode-kode khusus di luar bahasa keseharian kita.
Hidup berjalan dinamis. Setiap fase kehidupan muncul dengan dinamika dan kompleksitasnya sendiri. Artinya, ulama masa lalu punya ruangnya sendiri, pun demikian dengan kita, punya kisahnya sendiri. Kalau pun kita tahu mereka menghabiskan beberapa tahun untuk menghafa al-Qur’an, jangan lupa, puluhan tahun berikutnya mereka gunakan untuk memahami al-Qur’an. Bahkan kita sering membaca kisah ulama yang keburu wafat sebelum menyelesaikan kitab tafsirnya. Yang mengalami kisah seperti tidak hanya satu orang. Banyak.
Jadi, misalnya, ada ulama ahli al-Qur’an, sejak umur tujuh tahun sudah hafal 30 juz, dan beliau wafat 67 tahun, itu artinya, sebenarnya sebagian besar hidupnya digunakan memahami al-Qur’an, bukan hanya menghafal. Perhatian besar ulama dalam rangka bagaimana memahami ayat-ayat suci, bisa dilihat dari ribuan lembar karya-karya dalam bidang ilmu al-Qur’an dan tafsir serta karya tafsir. Kita pun tidak akan pernah menemukan karya tentang bagaimana cara menghafal al-Qur’an yang setara dengan itu. Sampai di sini, paham, kan?
Tapi, kan, mereka sudah hafal sedari kecil, selebihnya mereka bisa fokus ngafal? Lah, iya, kita yang ngafalnya dari sekarang pun, tak lantas bisa abai terhadap sebuah fakta bahwa terdapat banyak sekali problem kehidupan yang membutuhkan cara pandang dengan dasar pemahaman yang baik terhadap kitab suci. Dan, yang jelas, ngafal saja akan dinilai kurang berkontribusi secara optimal.