Islamsantun.org. Sepanjang Januari hingga Juni 2021 saya menguji 7 Disertasi (hanya menguji materi yang terkait dengan aspek-aspek bidang saya, Pemikiran Islam). Karena tiap disertasi ada dua ujian: tertutup dan terbuka (promosi), berarti saya sudah menguji 13 kali (satu belum promosi) dalam 6 bulan ini. Tentu saja, menguji bukan semata mencari kesalahan-kesalahan dan inkonsistensi karya akademik itu, tetapi yang terpenting—selain data-data berlimpah yang disajikannya–saya harus menelusuri pola pikir, konstruksi berpikirnya, argumen-argumen dan perangkat metodologis yang digunakannya. Terakhir saya menguji pemikiran politik Islam Ali Hasymi (tokoh Aceh) dan Wafaq atau Wifiq dalam tradisi intelektual Islam. Untuk yang terakhir itu bolehlah saya sebut si penulisnya sebagai salah satu “Doktor Wafaq” di Indonesia.
Karena sudah dinyatakan lulus semua, izinkan saya membuat catatan reflektif. Saya sangat senang dengan beberapa Disertasi yang bagus: Fikih Moderat Khaled Abou al-Fadl dan Hashim Kamali; Persepsi sbg Pengetahuan Inderawi Berkeley dan Ibn Sina; dan Bayangan Keindahan Terdekat Tuhan. Untuk yg terakhir ini, si penulis Disertasi menelusuri mengapa tradisi ikonoklasme atau seni figuratif, yang berkembang di Barat, tidak berkembang di dunia Islam? Misalnya karena hambatan teologis dan spiritualitas Islam yang melarang melukis dan membuat patung, menolak melanjutkan tradisi Yudaisme, dan secara sosio-filosofis menolak ikon-ikon dari tradisi Bizantium (saat itu) dan logosentrisme. Padahal kreasi seni figuratif sekarang punya aspek bisnis yang sangat mahal: hingga milyaran rupiah bahkan trilyunan.
Si penulis disertasi menunjukkan bahwa di tahun 2017 lukisan berjudul “Salvator Mundi” yang diduga dilukis oleh Leonardo da Vinci pada tahun 1500-an sebagai hadiah bagi Raja Louis XII dan permaisurinya, laku di New York dengan harga 450.312.500 US Dollar atau sekitar 5,85 trilyun rupiah. Harga yang sangat fantastis untuk satu lukisan yang menggambarkan sosok Yesus setengah badan sebagai sang Juru selamat. Di dunia seni Islam yang berkembang hanya tiga bentuk visual: Kaligrafi, Arabesk (biomorfi), dan bentuk-bentuk geometris.
Tiga ini saja sebenarnya sangat kaya dan sangat indah jika melihat peninggalan2 di Spanyol Islam, Baghdad Islam, di Iran dan negeri-negeri Muslim lainnya. Si penulis Disertasi kemudian mengajukan seni alternatif dari kemandekan seni figuratif, yakni Estetika Ekliptika berbasis eko-teologi (seni dengan jalur-jalur yang rumit dan indah, tetapi ramah lingkungan). Estetika Ekliptika dasarnya adalah bahwa setiap ciptaan Tuhan memuat satu gagasan Tuhan yang unik (khas). Ia indah pada dirinya (koheren) sekaligus bermanfaat (inheren). Karena itu, pada level praktis, memusnahkan satu ciptaan Tuhan berarti menghapus satu gagasan Tuhan yang sungguh indah: secara fisikal, moral dan spiritual. Menurut saya, dari sisi pemikiran Islam, Disertasi ini bagus.
Yang selalu membuat saya penasaran dan merenung—pada disertasi-disertasi yang saya uji– adalah “Thesis statement”, atau katakanlah minimal “temuan studi” yang kemudian direfleksikan dan diabstraksikan (syukur-syukur jadi Tesis baru). Disertasi tentang Khaled Abou al-Fadl dan Hashim Kamali misalnya, itu perjumpaan Timur dan Barat. Khaled yang lahir di Timur dan digembleng dalam tradisi teologi dan hukum Islam tradisional, namun kemudian mengajar, menulis dan merenung di dunia Barat yang modern (terserah apa pun pengertian modern). Itu perjumpaan dan proses pergumulan yang lama antara tesis dan antitesis (yang ia renungkan), hingga ia melahirkan sintesis (yang berarti tesis baru) tentang teologi dan hukum Islam yang progresif.
Gagasan-gagasan besar Khaled dan Hashim akan selalu cocok/ atau jadi pandangan alternatif bagi kaum Muslim modern yang progresif di tengah pertarungan yang melelahkan antara konservatisme religius versus sekularisme. Kalau mau berlebihan, bolehlah saya sebut ide-ide mereka berdua sebagai “renaisans Islam” yang lahir di Barat, tidak di dunia Islam.
George Berkeley, filusuf yang lahir abad ke-17 Masehi di Irlandia dan punya pengaruh besar terhadap gagasan filosofis di Eropa Barat khususnya, dan Ibn Sina yang hidup di abad 10 Masehi yang juga punya pengaruh besar di dunia Islam dan Barat sekaligus, sesungguhnya studi tentang “dua arus” besar filsafat: Timur dan Barat, pada dua era yang berbeda. Apa yang sama sekaligus berbeda, unik, dan khas tentang “Persepsi sebagai Pengetahuan Inderawi” dalam dua arus besar itu? Apa sumbangannya bagi ilmu pengetahuan dan kemanusiaan di Timur dan Barat? Saya kira ini mestinya menjadi refleksi yang penting dalam studi Humaniora, dan filsafat di dalamnya.
Wafaq atau Wifiq atau Rajah biasanya berisi lafadz, huruf, dan angka. Tiga hal itu tidak “kosong” tapi sarat dengan simbol; mereka semua menyimbolkan banyak makna dan realitas di belakangnya. Pengetahuan tentang angka kelak jadi ilmu namanya Numerologi. Disertasi ini membedah kitab-kitab klasik babon tentang Wifiq dan Rajah, yang menjadi bagian dari Ilmu Hikmah, seperti Syamsul Ma’arif al-Kubra, Manba’ Ushul al-Hikmah, Asrar al-Huruf wa al-A’dad, Durrah al-A’dad, Futuhat Makkiyyah dll, yang sebagiannya akrab di dunia pesantren.
Yang menarik, pengetahuan tentang misteri huruf, lafadz dan numerologi adalah pengetahuan yang telah banyak dirintis jauh sebelum Islam, terutama dari Yunani, Romawi, Persia, dan mungkin India. Oleh para ulama pengarang kitab-kitab di atas, pengetahuan itu “dipabrikasi”, “dikreasi ulang”, atau katakanlah kemudian “diislamkan” dengan tiga cara: pengamatan inderawi, penggunaan rasio, dan intuisi (semacam tazkiyat al-qalb dan mukasyafah) setelah diracik dan dicampur dengan ayat-ayat Qur’an, hadis dan doa-doa ulama sehingga coraknya tidak lagi Yunani, Romawi atau Persia, tapi sudah “Islam”.
Dengan membedah 200 halaman lebih aspek ontologi dan epistemologi Wifiq, si penulis Disertasi, menurut saya, ingin menunjukkan bahwa Wifiq adalah salah satu ilmu klasik dalam Islam, yakni ilmu Hikmah, yang menjadi bagian dari peradaban masa keemasan Islam, dan sekaligus contoh konkret dari tradisi “kosmopolitanisme Islam”. Oleh para intelektual Islam di masa itu, Wifiq dan Rajah digunakan untuk menjelaskan “pengetahuan tinggi” tentang kosmologi misalnya, bahwa Allah menciptakan alam tertinggi adalah Arsy, lalu dibawahnya Kursiy, lalu dibawahnya Zuhal dst, dan pengetahuan tentang cakrawala bintang-bintang, bulan dll, yang nanti digunakan, pada level aksiologis, untuk kepentingan-kepentingan praktis agama dan dunia (menjadi arah/kompas untuk bepergian, pertanian, perdagangan, jodoh, rezeki, penglaris dll).
Hikmah adalah “al-‘ilm al’a’ly”: ilmu yang tinggi tentang misteri dan rahasia, tetapi di banyak pesantren di Indonesia seringkali hanya dipahami sebagai “ilmu kesaktian”. Begitu pula Wifiq dan Rajah banyak dipahami hanya sebagai jimat untuk “menarik jodoh, penglaris, tolak bala, keselamatan rumah/bangunan dll”. Degradasi ini, dengan hanya melihat aspek praktisnya saja, seolah menutupi fakta historis bahwa Ilmu Wifiq dan Rajah adalah bagian dari kebudayaan Islam yang filosofis, rumit, dan dahsyat pada masanya. Dengan telaah filsafat dan teologi, Disertasi ini, secara akademik, meyakinkan kaum Muslim dan dunia ilmu pengetahuan bahwa Wifiq ternyata memiliki aspek-aspek kebenaran koherensi/konsistensi, kebenaran pragmatisme, kebenaran performatif, dan kebenaran paradigmatik. Sangat menarik!
Saya hanya ingin mengapresiasi Disertasi-disertasi itu. Saya tahu betul bahwa menulis Disertasi tidak semudah “mengujinya” yang hanya 2 atau 3 jam 😀Ini Disertasi dan Program Doktor betulan, bukan yang abal-abal, bukan yang causa-causa-an, bukan yang bayar sekian puluh juta lalu diwisuda. Menulis Disertasi adalah pekerjaan berdarah-darah: pengorbanan biaya, waktu, kesehatan, keluarga dll. Apalagi jika si penulis Disertasi harus pergi ke beberapa negara untuk memburu “footnote” (referensi) seperti yang dulu saya lakukan. Ada Disertasi yang ditulis 7 tahun; ganti judul 7 kali; ganti promotor 5 kali. Ada juga penulis Disertasi kena sakit di tengah2 menulis dan harus dirawat bertahun-tahun. Ada juga Disertasi yang sudah selesai di satu universitas di Malaysia, Ketika mau diujikan si penulisnya (orang Indonesia) dipanggil pulang oleh Yang Ilahi (saya membaca Disertasinya.
Semoga Allah merahmatinya). Karena itu, ketika si penulis sudah menyajikan data yang sangat berlimpah dan mengolahnya, biasanya mereka sudah “ngos ngosan”, sudah kram otaknya. Meski begitu, ada banyak Disertasi yang kaya dengan data, bahkan si penulisnya mungkin “tenggelam” oleh footnote dan rujukan, tapi kemudian jadi Disertasi yang bagus. Ada juga Disertasi yang tidak terlalu tebal, asal memenuhi rukun dan syarat jumlah halaman, tapi karena kecerdasan si penulisnya, Disertasi itu jadi bagus sekali.
Di tengah gempuran informasi di medsos, yang mungkin lebih banyak “opini”nya daripada “data”nya, apalagi yang hoax-hoax, para penulis Disertasi adalah para “pemilik data yang kritis”. Mereka adalah para “penyelam kedalaman”. Ingat, kata sebagian orang, di masa depan “data adalah minyak”, “data adalah emas”.