Islamsantun.org. Cuaca itu tak sebatas pada prediksi maupun perkiraan. Ia merupakan hal kompleks menjadi bagian tak dapat terpisahkan dalam kehidupan manusia. Kepada cuaca, manusia terus berusaha untuk menemukan sebuah teknologi sedemikian maju dan canggih agar hasil yang didapatkan sepresisi dan seakurat mungkin. Negara-negara dengan mengarusutamakan perihal sains dan teknologi tentu mengerti bahwa inovasi teknologi terbaru akan melahirkan cara pandang dalam peradaban dunia. Bahkan memungkinkan, negara penemu inovasi teknologi baru akan meraup banyak keuntungan terkait perkara bisnis dan ekonomi.
Kita membaca salah satu warta di Majalah Tempo edisi Juli tahun 1983 pada rubrik Sains dan Teknologi. Rubrik tersebut menjelaskan bahwa Amerika Serikat sedang mengembangkan teknologi terbaru terkait predisksi cuaca. Di berita bertajuk Dua Langkah Menebak Cuaca tersebut dijelaskan dengan perkembangan komputerisasi yang digunakan, peramalan cuaca jangka menengah lebih maju dua langkah dibanding sebelumnya. Disebutkan sebuah kalimat kiranya untuk menjadikan ingatan perkembangan teknologi di masa itu, “Komputerisasi mulai masuk bidang meteorologi. Toh Amerika bisa kecolongan. Di Indonesia, alat buatan 1960 masih diandalkan”.
Tiga puluh delapan tahun berselang, kita masih perlu megobrolkan perihal cuaca. Banyak orang masih kerap mengeyahkan pengetahuan dari sana. Sampai-sampai, keberadaan lembaga dengan peran mengabarkan informasi seputar cuaca maupun iklim hanya dianggap sebagai hal lelucon. Revolusi digital mungkin belum sampai pada kesadaran terkait perkembangan ilmu pengetahuan. Kebanyakan dari kita masih senang pada perkara lucu yang mengarah pada hal tidak masuk akal. Kita kehilangan beberapa lapis dalam kebudayaan ilmu pengetahuan pada zaman ini.
Kita membaca salah satu seri Pustaka Ilmu Life berjudulkan Cuaca, sebuah buku yang diterjemahkan dari naskah aslinya, Weather karya Phlilip D. Thomson dan Robert O’Brien, diterbitkan Tira Pustaka pada 1981 . Ia mengungkapkan bagaimana perkara cuaca sangat erat dengan campur tangan manusia. Aktivitas-aktivitasnya saling pengaruh dan mempengaruhi pada perkembangan cuaca. Kita menemukan sebuah kalimat di halaman 178, “Manusia telah mengubah cuacanya secara besar-besaran – tanpa sengaja, dan kerap kali mengakibatkan kerugiannya sendiri.”
Itu merujuk pada perkembangan di dalam kota-kota besar dengan mengedepankan pengembangan teknologi maju dan pusat industri tentu saja. Dimana, dengan dalih kepentingan ekonomi terkadang manusia tak sadar bahwa aktivitasnya banyak melahirkan masalah dalam kehidupan. Terlebih, pengembangan ranah industri tak diimbangi dengan kepedulian terhadap lingkungan. Polusi dan pencemaran udara banyak terjadi di setiap sudut kota, suhu rata-rata naik, curah hujan tak menentu, hingga peningkatan pembakaran karbon. Apa yang dilakukan manusia secara langsung mempengaruhi kondisi cuaca.
Kehidupan kita dalam beberapa tahun terakhir dibayangi sebuah ancaman berarti dalam kehidupan, salah satunya adalah terkait perihal krisis iklim. Akumulasi masalah-masalah tersebut kemudian menjadi gejala dalam peradaban umat manusia abad XXI. Kita membaca sebuah tulisan dalam rubrik Surat Pembaca Harian Kompas edisi 22 September 2021. Tulisan berjudul Cuaca Ekstrem kiriman dari Wening Cahyani itu mengetengahkan akan berbagai ancaman musibah bagi kehidupan.
Ia menuliskannya dalam kalimat, “Cuaca ekstrem itu mencakup hujan lebat, kilat, petir, banjir, dan tanah longsor. Bahkan, daerah Pacitan dan 25 daerah lain, menurut BMKG, berpotensi tsunami besar karena ada pergerakan lempeng tektonik Indo-Australia dan Eurasia di selatan Jawa.” Ia juga menaruh harapan pada banyak pihak untuk senantiasa waspada dan hati-hati, “Oleh karena itu, semua pemangku kepentingan harus bekerja sama mengantisipasi. Banyak hal harus dikerjakan, mulai dari mengeruk sungai, memangkas pohon-pohon tua, membersihkan gorong-gorong, hingga memeriksa keamanan pemasangan baliho. Ini ibarat sedia payung sebelum hujan.”
Kita diingatkan untuk merawat perihal cuaca. Upaya membaca cuaca sebenarnya di tiap daerah telah menjadi sebuah pengetahuan dengan berbagai ragamnya. Ia adalah upaya pendekatan manusia dengan menggunakan kemampuan akal dalam merumuskan berbagai kemungkinan yang terjadi. Di kebudayaan pengetahuan Jawa misalnya mengenal istilah tersebut dengan sebutan pranata mangsa. Percakapan manusia dengan keadaan yang terjadi di atmosfer itu kemudian menjadikannya memahmi hakikat cuaca, tidak lain adalah perubahan sebagai ingatan kolektif dalam menjalankan kehidupan.
Dalam situasi dan kondisi terus menggejala, kita masih berkutat pada kelengahan demi kelengahan dalam hidup, bagaimana keharusan manusia menjalankan hubungannya dengan dimensi alam semesta. Di sisi lain, krisis iklim nyata mengancam. Di era kemajuan teknologi, informasi, dan komunikasi, kita mungkin mudah menampik pada perhatian akan cuaca sehari-hari. Kita menganggap hal itu biasa saja Lembaga penelitian dimiliki pemerintah terus berupaya menyajikan prediksi sedemikian rupa dan membagikannya ke publik, kehadirannya belum tentu membuat orang kembali mengingat.
“Minimal, mulai sekarang, kita (sebagai anggota masyarakat), harus lebih aware (peduli) memperhatikan peringatan cuaca yang sering disampaikan BMKG di berbagai platform. Jangan sibuk tak kenal waktu melototi mereka yang berdendang dan bergoyang Mendung Tanpo Udan, yang lagi hit di Tiktok dan Instagram. Kalau itu sih cukup selingan saja sambil dasteran atau sarungan.”
Di bagian penutup tulisan berjudul Peduli Cuaca rubrik Sketsa Harian Media Indonesia edisi 26 September 2021, lagi-lagi kita diingatkan kembali untuk merawat ingatan akan cuaca oleh seorang wartawan Harian Media Indonesia, Adiyanto. Ia menjelaskan bagaimana perubahan demi perubahan cuaca dalam bulan September ini di beberapa daerah. Sikap peduli dimaksudkan olehnya khususnya bagi masyarakat umum berupa mengikuti perbaruan informasi dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Mungkin, memang sulit menyadarkan akan pentingnya pengetahuan di benak banyak orang. Toh, memang nyatanya itu masih kalah jauh ketimbang narasi lain mudah membuat orang terlena.