Islamsantun.org. Pagi tadi saya membaca status kang Ulil Abshar Abdalla yang menurutnya dilandasi oleh pagi yang gabut. Ini response dari saya. Tabik kang Ulil!
Renungan pagi dari Gus Ulil Abshar Abdalla diatas membuat saya berpikir sampai siang ini tentang maksud utama dan terpendam dari tradisi kesarjanaan Barat dalam melihat Timur maupun Muslim yaitu hasrat untuk menggenggam, mendefinisikan dan pada akhirnya mengontrol Masyarakat Islam dan Timur yang pada akhirnya dari situ Barat menunjukkan distingsi dan superioritas dirinya dan selanjutnya pengetahuan tersebut menjadi legitimasi bagi proyeksi untuk menguasainya.
Dari situ misalnya muncul argumen white men burden, serta dari situ pula muncul pengetahuan tentang orang muslim/native malas, nggak produktif, barbarian, despot dan lain sebagainya. Wacana pengetahuan tumbuh bersama dengan hasrat kekuasaan. Dalam telaah akademik perspektif Edward Saidian ini saya sepakat lebih kuat argumen historisnya dari pandangan orientalistik macam Bernard Lewis dan seterusnya.
Berangkat dari renungan mantab kritikal dari Gus Ulil diatas menurut saya membuka penelaahan yang lebih kaya tentang bagaimana bukan saja relasi Barat dan Timur atau Eropa dan Islam, namun juga lebih dari itu dapat membongkar asumsi-asumsi pengetahuan arus utama yang tanpa kita sadari berakar pada asumsi2 orientalistik Khas Bernard Lewis yang akan membawa kita untuk memperluas horison analisis imajinasi sosiologis kita pada wawasan yang lebih kosmopolit dalam lensa critical seperti:
1) Thesis tentang the Clash Within Islam. Thesis yang banyak digemari oleh kalangan sarjana muslim kiwari, untuk melihat bahwa berbagai macam kondisi chaotik, fenomena terorisme global, respon reaksioner atas demokrasi HAM dan kebebasan berpendapat adalah problem tidak selesainya peradaban Islam dalam menyongsong buah kemajuan modernitas. Tanpa disadari bahwa argumen the clash within Islam itu ditulis oleh Bernard Lewis hampir bersamaan waktunya dengan thesis Samuel P Huntington the clash of civilizations.
Mahmood Mamdhani menulis buku yang tajam dan bernas melalui Good Muslim, Bad Muslim bahwa proyeksi pengetahuan imperial terhadap Islam telah membawa pada pengetahuan/kekuasaan untuk mengontrol dan mendefinisikan bahwa dalam kategori para intelektual western ivory tower Islam mereka definisikan ada sebagian kecil yang good dan sebagian besar yang bad.
Bagi sarjana seperti Lewis, dunia akan sampai pada sejarahnya demokrasi dan pasar bebas apabila Islam berhasil menuntaskan proses pergumulannya dengan kemenangan yang good atas yang bad. Kepentingan dari jejak orientalisme ini adalah bahwa segala macam kerusakan peradaban dunia bukan tanggung jawab kami (kaum imperial cuci tangan dari masalah peradaban) tapi karena tidak becus dan kurang pikirnya ummat Islam menyongsong berkah peradaban modern.
Kritik terhadap pendekatan orientalistik yang disodorkan Kang Ulil dengan berangkat dari kerangka Saidian secara dialektik membawa kita pada thesis bahwa sudah saatnya melihat problem peradaban keluar dari kerangka oposisi biner yang hanya menyudutkan Islam, tapi melihat ini semua dari sudut pandang problem struktural dunia dan respon2 dialektis terhadapnya.
2) Khazanah pengetahuan ilmu sosial bekerja secara dinamis dan dialektis. Maknanya adalah apabila ditelusuri bahwa tradisi orientalisme Eropa dan Amerika Serikat mulai dari era Renan sampai era Lewis, kalau ditelusuri secara lebih detail selalu tidak dapat dilepaskan oleh konteks kuasa ekonomi-politik yang lebih luas yakni imperialisme pada era abad ke-17 sampai era abad ke-20 dan kapitalisme neoliberal pada akhir abad ke-20 sampai abad ke-21.
Hal ini misalnya juga disadari oleh Edward Said dalam karyanya Culture and Imperialism. Para intelektual dunia, termasuk di Barat juga bertarung dengan kalangan intelektual yang mengidap cara pandang orientalistik. Sehingga muncul pula kalangan sarjana yang bersikap lebih adil seperti Maxime Rodinson yang penguasaannya atas bahasa Arab dan naskah-naskah kitab kuning sangat mumpuni.
Menurut saya ilmuwan seperti Rodinson memiliki niat yang lebih mulia. Ia melihat bahwa pengetahuan itu dia abdikan untuk merumuskan bagaimana resistensi terhadap narasi besar kekuasaan ekonomi-politik kapitalistik-imperialisme dan narasi politik kebudayaan orientalisme disudahi. Salah satu hasilnya adalah buku yang merangkum kumpulan karangannya Marxism and Muslim World.
Atau misalnya kehendak dan niat baik dari Jean Paul Sartre untuk “ngancani” Frantz Fanon ketika memberi kata pengantar atas bukunya The Wretched of The Earth yang dengan empatik melihat dan mendukung thesis2 pemikiran third world socialism Fanon untuk membangun kemanusiaan baru (new humanism) diatas humanisme lama sebagai baju dari superioritas Eropa.
Saat ini Fajar baru pengetahuan semoga akan hadir seiring keberhasilan kemanusiaan melawan covid-19, yang didalamnya ikatan kemanusiaan baru yang lebih menghormati yang lainnya hadir dalam kerangka baru tatanan dunia yang lebih adil dan bersolidaritas. Saya tidak tahu kapan terwujudnya, karena saat ini dunia sedang melewati fase interregnum ketika yang lama sudah mulai runtuh dan kesangsian terhadapnya mulai meluas, sementara yang baru masih baru untup-untup namun belum juga lahir.
Terima kasih Kang Ulil atas renungan paginya yang menstimulasi diskusi intelektual ini.
Foto diambil dari penguinrandomhouse.com