Muhammad Alfatih Suryadilaga*
Tulisan ini untuk mengenang wafatnya Mbah Muhammad Amin, seorang ulama di Pantura dan Pendiri Pesantren Tunggul Lamongan dan alumni pesantren Tebuireng Jombang. Beliau wafat pada tanggal 13 Ramadhan 1368 H. atau tanggal 9 Juli 1949 M. Beliau telah meninggal selama 74 tahun yang lalu namun nama besarnya masih tetap menggaung dan bergema sampai saat ini. Semangat dan perjuangan Kiyai Amin mengantarkan beliau sebagai seorang syuhada di medan perang.
Perjuangan dalam mencerahkan kehidupan bangsa dan bernegara dilanjutkan oleh putera beliau KH. Miftahul Fattah Amin, seorang putera keempat dan juga alumni pesantren Tebuireng Jombang dengan membesarkan Pesantren Tunggul yang kemudian menjadi Pesantren al-Amin Lamongan. Dengan demikian, perjuangan dan kiprah keilmuan Kiyai Amin dapat teraktualisasikan sampai sekarang.
Perjuangan dan dedikasi KH. Muhammad Amin (1910-1949 M.) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sangat besar. Semasa kehidupannya yang relatif singkat, beliau telah meninggalkan lembaga pesantren dan pendidikan di dalamnya yang terus berkembang pesat sampai sekarang. Darah biru yang mengalir dalam jiwa dan raganya menjadikan kiyai Amin sangat peduli terhadap masyarajat dan bangsa serta negara. Pendidikan agama sebagai sesuatu yang penting dalam hal ini. Dengan demikian, melalui keturunan yang baik inilah menjadikan sosok kiyai Amin memiliki beragam kepedulian yang tidak dimiliki oleh kebanyakan orang lain.
Secara akademik Kiyai Amin memiliki kemampuan yang luar biasa. Hal ini setidaknya dibuktikan dalam menghafal al-Qur’an hanya ditempuh dalam waktu sebulan. Tidak saja dalam menghafal al-Qur’an, Kiyai Amin juga menguasai beragam kitab kuning yang merupakan warisan ulama pendahulunya. Dengan demikian, sebagai seorang yang memiliki kematangan akademik yang tidak ada tandingannya.
Kenyataan di atas dialami selama belajar di Pesantren Tebuireng Jombang. Hal ini setidaknya ketika memasuki kelas 5 tidak ada seorang guru pun yang berani mengajar Kitai Amin. Kitab Alfiyah ibn Malik dapat dihafal hanya semalam saja. Kemahiran Kiyai Amin juga didukung dengan beliau melanjutkan belajar di beragam pesantren lain seperti Pesantren Termas, Salatiga, Ngelom Sepanjang Sidoarjo dan beberapa pesantren lainnya. Hal lain yang terpenting adalah Kiyai Amin memperoleh sanad hafalan dari KH. Munawwar Nur Sidayu. Beliau adalah satu dari beberapa ulama yang bermukim di Indonesia yang memegang sanad qiraat dari Rasulullah saw yang didapatkan ketika belajar di Makkah. Dengan demikian, kematangan akademik ini menjadikan Kiyai Amin sebagai seorang yang melampau banyak orang di masanya.
Beragam keunggulam di atas menjadikan Kiyai Amin dipercaya menjadi pengasuh pesantren. Hal tersebut dapat dilihat dalam tahun 1942-1945 di Pesantren Kranji yang kini terkenal dengan Nama Tarbiyatut Tholabah. Sebuah pesantren yang didirikan Ayah Kiyai Amin sendiri yakni KH. Mustofa bin Abd Karim. Dengan demikian, sosok Kiyai Amin menjadi seorang yang penting di kawasan pantura pada saat itu.
Selain di Kranji, Kiyai Amin juga sebagai pengasuh Pesantren Tunggul. Sebuah desa berjarak satu kilometer dari rumah ayahnya KH. Mustofa. Hal ini setidaknya dapat dilihat dengan banyaknya santri yang belajar di dalamnya. Santri-santri KH. Muhammad Amin generasi pertama adalah KH. Djabar Adelan pernah menjabat sebagai Rektor IAIN Sunan Ampel Surabaya tahun 96 dan KH. Hamdan Adelan (Keduanya Putera KH adelan Ali Cukir Jombang) juga merupakan masih keluarga dengan Kiyai Amin melalui isterinya Nyai Hj. Aminah bin Mahbub bin Muhsinah. Santri lain Kyai Amin adalah KH. Daud Munawwar, KH. Munir Munawwar, KH. Munir, KH. Daud, KH. Thahir, RHA. Suminto, KH. Mahbub, Ahmad Darsono, Dul Salam. Dengan demikian, beragam santri yang menjadikan menjadikan Kiyai Amin sebagai sosok yang dicari untuk mencari ilmu yang dikuasainya sejak di pesantren terkait ilmu agama dan bahkan ilmu kanoragan.
Kiai Amin adalah seorang pejuang dalam menjaga kemerdekaan bangsa Indonesia. Hal ini setidaknya dibuktikan dengan keberanian dalam mengusir agresi penjajah Belanda. Keberanian dan dedikasinya bagi bangsa dan negara tidak dapat diragukan lagi sehingga bangsa Indonesia dapat mengusir penjajah tersebut. Dengan demikian, semangat heroik yang terus dikobarkan merupakan bagian bela negara yang dilakukan para ulana pendiri bangsa.
Keberanian dalam mengusir penjajah dapat dilihat dalam keterlibatan perjuangan KH. Muhammad Amin dalam tentara Hizbullah. Hal ini dilakukan sebagai bentuk panggilan berjihad dalam mewujudkan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Perjalanan di militer inilah yang dijalani oleh Kiyai Amin muda selepas dari pendidikan dari Pesantren Tebuireng Jombang. Diceritakan Beliau dalam menjalankan misi militer ini kebal atas senjata apapun. Sehingga untuk melumpuhkan beliau sangat sulit dan sering tidak terlihat oleh kasab mata. Dengan demikian, melalui karir militer inilah menjadikan sosok Kiyai Amin dapat berbakti kepada bangsa dan negara.
Keahlian dan keberanian dalam melawan penjajah menjadikan Kiyai Amin diangkat sebagai pemimpin. Setidaknya dalam kegiatan militer menjadi komandan Hulizbullah dengan pangkat letkol. Tugas beliau adalah mempertahankan dari serangan Belanda dari wilayah Utara. Tepatnya, tugas tersebut di Surabaya Utara. Beliau meninggal dunia pada tanggal 13 Ramadhan 1949 M. ditembak oleh pasukan penjajah setelah mengumandangkan adzan. Dengan demikian, sosok kiyai muda ini memiliki keberanian tinggi dalam mengusir penjajah. (MAS).
*Cucu Kiyai Amin, Ketua Yayasan Pondok Pesantren al-Amin Lamongan dan Ketua Asosiasi Ilmu Hadis Indonesia (ASILHA)