Fenomena serta isu-isu keagamaan yang disaksikan setiap waktu seperti halnya konflik keagamaan, penodaan agama, berita hoaks, dan sebagainya tidak lepas dari pengalaman dan ekspresi beragama masing-masing kelompok masyarakat. Pembelajaran mengenai agama untuk saat ini sudah tidak lagi dipahami dengan relasi manusia dengan Tuhan saja, namun lebih luas lagi kepada kesadaran sosiologis (berkelompok), antropologis (mencari asal-usul agama), psikologis (ketenangan jiwa), dan bahkan dorongan untuk meraih derajat kesejahteraan hidup (Habibi Zaman, 2014).
Dalam sejarah Islam pengalaman dan ekspresi beragama sangat signifikan sekali, terutama dimulai setelah Nabi Muhammad saw. wafat, tepatnya pada masa kekhalifahan Usman bin Affan dan Ali bin Ali bin Abi Thalib. Pada era awal islam ini, terbentuk aliran-aliran yang mengatasnamakan Islam yang paling benar. Hal ini menunjukan pengalaman dan pemahaman beragama mereka dalam mengekspresikan makna al-Qur’an dan Hadis berbeda-beda (Fahrurrozi, 2015). Oleh karena itu, bagaimana pengalaman dan ekspresi beragama itu diamalkan dan dipahami secara universal? Di sini lah penulis akan mencoba menjelaskan apa yang dimaksud dengan pengalaman dan ekspresi beragama itu sendiri, lalu konsep apakah yang diterapkan dalam pengalaman dan ekspresi beragama sehari-hari?
Pengalaman dan Ekspresi Keagamaan
Bila meminjam definisinya Willian James, pengalaman keagamaan itu dipahami sebagai pijakan untuk menguraikan fenomena mengenai hal yang bersifat abstrak dari dalam manusia sehingga memunculkan bentuk yang berbeda-beda (William Jame, 2013). Dalam KBBI, kata pengalaman itu adalah sesuatu yang pernah dialami, dirasai, dijalani. Kemudian kata “agama” disini, diartikan sebagai sistem kepercayaan yang diwujudkan dalam perilaku sosial tertentu (Khanif Rosidin, 2014). Imbuhan “ke” dan “an” pada kata agama—dibaca keagamaan—diartikan sebagai perilaku seseorang baik langsung atau tidak langsung yang berdasarkan pada ajaran agama-agama.
Sementara arti kata ekspresi menurut KBBI adalah pengungkapan atau proses menyatakan suatu hal, baik berupa gagasan maupun perasaan. Sehinggga dapat disimpulkan bahwa pengalaman dan ekspresi keagamaan itu keduanya bersifat saling tarik-menarik artinya sebuah pengalaman yang diperoleh manusia cenderung mengekspresikannya, jadi terbentuknya suatu ekspresi yang bermakna itu setelah seseorang telah mendapatkan sebuah pengalaman.
Pengalaman keagamaan itu bersifat pribadi (individual experience) dan unik. Artinya pengalaman keagamaan yang dialami seseorang akan mengalami perbedaan dengan pengalaman yang dialami oleh orang lain. Karena setiap individu yang melaksanakan ajarannya; ritus dan pengabdian, ia akan memperoleh derajat keagamaan (pahala) untuk diri mereka sendiri. Ini sebabnya pengalaman keagamaan seseorang bisa berbeda-beda (Dadang Kahmad, 2013).
Konsep Pengalaman dan Ekspresi Keagamaan
Mengutip pendapatnya Nurcholis Majid (1998), secara garis besar ada tiga tipologi orang beragama, yaitu Ekslusif, Inklusif, dan Pluralis. Pertama, sikap ekslusif adalah sikap yang beranggapan hanya agama sendirilah yang paling benar, agama selainnya dianggap sesat. Sikap ini cenderung menghasilkan sikap keagamaan yang fundamentalis, radikal, dan tekstualis. Kedua, sikap inklusif adalah sikap yang beranggapan bahwa agama lain merupakan implisit dari agamanya. Sehingga sikap ini cenderung menghasilkan sikap toleransi kepada agama lain. Ketiga, sikap pluralis adalah sikap yang beranggapan semua agama adalah sama, artinya sama-sama jalan menuju kebenaran yang sama (Nurcholish Madjid, 2008).
Tiga tipologi ini—yang menurut teori Joachim Wach (1892-1967)—merupakan manifestasi dari ekspresi pengalaman keagamaan dan menjadi sesuatu yang dihayati sebagai realitas mutlak/yang bersifat ketuhanan (Joachim Wach, 1996).
Konsep yang telah diungkapkan di atas dapat dilihat dalam tiga bentuk. Pertama, ekspresi dalam bentuk konsep-konsep atau ajaran yang bercorak teoritis dan intelektualistis, seperti berbentuk simbol, mitos, dan dogma, seperti al-Qur’an dan Hadis. Kedua, ekspresi dalam bentuk amalan/tingkah laku, seperti kegiatan ibadah dan pengabdian, berkurban, atau mencontoh tingkah laku pemimpin agama, yakni Nabi Muhammad saw. Ketiga, ekspresi dalam bentuk sosialisasi, seperti saling mendoakan sesama muslim dan saling tolong menolong antar umat beragama. Dengan demikian, bila mana konsep ini telah ditanamkan dalam diri seseorang, niscaya kerukunan dapat dirasakan bersama, tidak ada lagi rasa benci terhadap sesama muslim dan menaruh sifat toleran antar umat beragama.
Bagaimana mengamalkan teks hadis atau al-Quran?
Pemahaman seseorang terhadap satu hadis atau ayat al-Quran cenderung berbeda-beda, hal ini merupakan suatu keniscayaan karena “li kulli ra’sin ra’yun” (setiap kepala itu memiliki perspektif masing-masing). Namun disamping itu pula, hendaknya seseorang tidak terburu-buru dalam mengamalkan atau menyampaikan kandungan hadis atau ayat tersebut sebelum crosschek kepada ahlinya “fas’alu ahladz-dzikri inkuntum laa ta’lamun”(bertanyalah kepada ahli dzikir bila engkau belum tahu), apakah sebuah hadis itu layak diamalkan dan dijadikan hujjah. Apakah sebuah ayat al-Quran bisa langsung diamalkan secara universal atau ada konteks-konteks tertentu? Belum berhenti disitu, seseorang juga harus meneliti apa yang melatarbelakangi hadis itu disabdakan (asbabul-wurud) atau asbab nuzul untuk kasus al-Quran. Bagaiamana kondisi kala itu dan bagaimana dikontekstualkan pada zaman sekarang, apakah masih relevan atau tidak.
Sehingga bila hadis atau ayat al-Quran dipahami demikian, maka seseorang akan mendapatkan makna kandungan hadis dan ayat secara utuh, tidak setengah-setengah. Dengan demikian pula, disamping al-Quran dan hadis sebagai sumber ajaran Islam, juga hadis akan terus hidup dalam situasi dan keadaan apapun. Maka benarlah bahwa al-Qur’an dan Hadis adalah “shalih li kulli zaman wa makan” (bermanfaat di setiap situasi dan kondisi).
Dalam akhir pembahasan ini, penulis mengajak kepada para pembaca, bahwa bagi yang hendak mengamalkan suatu hadis perlu untuk menguasai hal-hal yang berkaitan dengan ilmu tersebut. Supaya apa yang telah dipahami terhadap hadis itu, menjadi sebuah pengalaman pribadi baginya lalu kemudian mengekspresikan pengalaman tersebut untuk menjalankan rutinitas keberagamaannya, baik dalam bersinteraksi dengan sang penciptanya (hablun minallah) atau masyarakat (hablun minannas) ataupun dalam rangka menjaga kerukunan antar umat beragama.