“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (Q.S. Al-‘Ashr: 1-3)
Nabi Muhammad Saw. mengingatkan, ada dua nikmat besar yang sering diabaikan oleh manusia, yaitu: nikmat sehat, dan nikmat waktu luang. Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim ini menunjukkan betapa pentingnya kedua nikmat tersebut dalam kehidupan kita, yaitu kesehatan dan waktu luang.
Kita seringkali merasakan betapa nikmatnya kesehatan justru ketika tengah terbaring sakit. Kita juga kerap menganggap betapa pentingnya waktu, justru ketika kita dalam kondisi sempit atau usia telah uzur.
Dengan demikian, tepat sekali pesan al-Qur’an dalam surat al-‘Ashr di atas, bahwa demi waktu, sesungguhnya manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh, serta saling menasehati untuk kebenaran dan juga saling menasehati untuk kesabaran.
Syekh Nawawi al-Bantani, dalam kitab tafsirnya, Marah Labid menjelaskan bahwa maksud dari kalimat wa al-‘Ashri, adalah bahwa Allah Swt. bersumpah dengan masa atau zaman, di mana di dalamnya terdapat rangkaian peristiwa kehidupan, seperti: lapang dan sempit, sehat dan sakit, kaya dan fakir, senang dan sedih serta beragam kisah kehidupan yang melingkupi setiap manusia.
Dalam menjalani beragam peristiwa dan kisah hidup tersebut, manusia selalu berada dalam kerugian, kecuali mereka yang memegang teguh empat prinsip hidup yang diajarkan al-Qur’an.
Keempat prinsip hidup tersebut adalah: 1) Iman; 2) Amal saleh; 3) Saling menasehati untuk kebenaran; 4) Saling menasehati untuk kesabaran.
Ketika menafsirkan makna ‘kerugian’ dalam Q.S. Al-‘Ashr tersebut, ‘Abd al-Karim al-Khathib dalam karyanya Al-Tafsir al-Qur’ani li al-Qur’an menjelaskan bahwa kerugian yang dimaksud adalah kesesatan. Hal ini disebabkan karena ketidaktahuan manusia akan kualitas dirinya (qudrat) yang sesungguhnya, serta keengganannya untuk mencapai posisi (maqam) yang mulia di sisi Allah. Padahal, Allah Swt. sudah menciptakannya dalam bentuk terbaik di antara ciptaan Allah lainnya.
Ironisnya, manusia justru tidak menyadari kualitas serta potensi dirinya. Dia tidak menempuh jalan menuju kemuliaan, malah justru memperturutkan hawa nafsunya, menyejajarkan dirinya dengan binatang, yang hanya mengejar kenikmatan jasmani semata, seperti makan, minum, dan berhubungan seks. Hanya sedikit saja di antara manusia yang memahami hakekat kemanusiaannya, yang mau menempuh jalan untuk menjadi manusia mulia yang tinggi derajatnya di sisi Allah Swt.
Untuk mencapai posisi mulia, yaitu manusia dengan derajat yang tinggi di sisi Allah, maka empat prinsip yang sudah disebutkan di atas, yaitu: iman, amal saleh, saling menasehati untuk kebenaran dan kesabaran harus selalu kita pegang teguh.
Dua prinsip pertama, yaitu iman dan amal saleh ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan, saling terkait erat satu sama lain. Bukti iman seseorang harus mewujud dalam tindakan nyata sehari-hari. Pun demikian, tindakan serta aktivitas sehari-hari harus selalu didasari oleh keimanan.
Adalah omong kosong belaka ketika seseorang mengaku beriman, tetapi tidak ada dampak apa pun dari keimanannya yang tampak dalam aktivitas sehari-harinya. Tidak ada aktivitas positif (amal saleh) yang dilakukannya, serta perilakunya jauh dari nilai-nilai keimanan.
Demikian halnya, kebaikan yang dilakukan seseorang, yang hanya ditujukan untuk mengharap sanjung puji dari orang lain, bukan karena ketulusan hati yang didasari keimanan, maka hal ini juga tidak disebut dengan amal saleh.
Intinya, antara iman dan amal harus saling berkait kelindan satu sama lain. Jika keduanya bersinergi dengan baik, maka itulah yang akan menghindarkan seseorang dari kerugian, sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas.
Dua prinsip berikutnya adalah saling menasehati untuk kebenaran dan kesabaran. Az-Zamakhsyari dalam tafsir Al-Kasysyaf menjelaskan bahwa makna wa tawashaw bi al-haqq (menasehati untuk kebenaran) adalah saling menasehati untuk tetap dalam bertauhid kepada Allah, taat kepada-Nya, mengikuti kitab-Nya, meneladani rasul-Nya, zuhud dalam urusan dunia serta semangat dalam urusan akhirat. Sedangkan wa tawashaw bi al-shabr (menasehati untuk kesabaran) adalah saling menasehati untuk tetap sabar dalam ketaatan kepada Allah dan dalam menjauhi maksiat kepada-Nya.
Keempat prinsip hidup yang dijelaskan Q.S. Al-‘Ashr itulah yang akan menyelamatkan umat manusia dari kerugian.
* Ruang Inspirasi, Selasa, 8 Februari 2022.