Islamsantun.org. Lima tanda proses korupsi atau pembusukan agama, yaitu: klaim kebenaran mutlak (Absolute Truth Claims), kepatuhan buta (Blind Obedience), membangun zaman ideal (Establishing the “Ideal” Time), tujuan menghalalkan segala cara (The End Justifies Any Means), and menyerukan perang suci (Declaring Holy War). Apalagi dengan kepanikan moral, krisis identitas, faktor psikologis dan ekonomi yang terjadi sebagai akibat dari perubahan sosial, modernisasi, dan globalisasi yang telah memasuki sendi-sendi masyarakat, mendorong pandangan bahwa agama adalah jawabannya.
Jadi ada banyak bentuk intoleransi, ekstremisme, radikalisme, dan terorisme atas nama agama. Padahal tindakan tersebut di luar ajaran agama yang bersifat tekstual atau kontekstual. Aksi radikalisme bertujuan membela agama namun justru mengabaikan nilai-nilai agama sebagai pembawa damai dan kemanusiaan. Para pelaku radikalisme kurang menyadari bahwa memperjuangkan keadilan dan kebenaran dalam agama tidak dapat dibenarkan dengan menggunakan kekerasan. Sehingga mengguncang stabilitas politik dan keamanan hingga memicu konflik horizontal.
Charles Kimball berkata, “Ketika penganut agama mengangkat ajaran dan kepercayaan mereka ke tingkat klaim kebenaran mutlak, maka akan membuka pintu bahwa agama menjadi bencana.” Biasanya, ini karena penganut agama percaya bahwa kitab suci mereka memang mengajarkan kebenaran monolitik (tunggal). Tafsir kitab suci dengan demikian memainkan peran penting dalam mewarnai sikap umat beragama.
Akan berbahaya jika ada sikap eksklusif dalam beragama, seperti mengkafirkan, mudah menyalahkan, dan menyesatkan kelompok lain yang berbeda dengan dirinya dan kelompoknya. Salah satu contoh di Indonesia adalah kasus demonstrasi 212 tahun 2016 yang mengakibatkan ujaran kebencian, hinaan, caci-maki, hingga ancaman besar-besaran yang ditujukan kepada tokoh-tokoh yang berbeda pandangan dengan orang-orang yang tergabung dalam gerakan demonstrasi 212, seperti yang terjadi pada Buya Syafii Ma’arif, KH A. Mustofa Bisri di media sosial.
Beberapa kekerasan yang diakibatkan oleh sikap eksklusif seperti peristiwa 11 September 2001 di Amerika Serikat yang menyerang simbol-simbol kapitalisme dunia (Twin Towers of the World Trade Center, New York) dan arogansi militer (Gedung Pentagon); penembakan Juli 2011 oleh Anders Breivik, seorang Neo-Nazi Norwegia; serangan di Paris, Prancis pada November 2015; penembakan di klub malam Pulse di Orlando USA pada Juni 2016, dan lainnya.
Dalam kepatuhan buta (Blind Obedience), Kimball berpendapat bahwa “Ketika pemimpin agama memiliki kekuasaan besar terhadap pengikutnya, selalu ada potensi bahaya. Apalagi pengikutnya mematuhi tanpa kritik, kemungkinan adanya penyalahgunaan kekuasaan akan sangat besar”. Sebagai contoh kasus, James Warren Jones pada tahun 1978 yang memerintahkan pengikutnya meminum racun sianida agar segera masuk surga dan Ayatullah Khomeini yang berfatwa agar para pemuda Iran berperang melawan Irak (1980-1987). Peristiwa di atas memicu anggapan bahwa agama cenderung mengakomodasi kekerasan dan ketakutan.
Selain itu, jika situasi tersebut dibiarkan dan berlangsung terus-menerus, pada tingkat tertentu dapat mengakibatkan menguatnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem demokrasi, pemerintahan yang sah, dan aparatur negara. Ada asumsi untuk membangun zaman ideal. Beberapa Muslim memimpikan pemerintahan Islam, antara lain, yang diperjuangkan oleh Al Qaeda dan ISIS. Menurut Kimball, versi pemerintahan Islam Taliban (kelompok Islam ekstremis di Afghanistan) membahayakan penduduk negara dan masyarakat dunia pada umumnya. Taliban telah memberlakukan versi hukum Islamnya sendiri yang sangat kaku dan ekstrem. Taliban juga memberikan perlindungan kepada kelompok teroris Al Qaeda yang dipimpin oleh Osama bin Laden. Taliban adalah contoh nyata dari pemahaman ‘agama menjadi bencana’. Al Qaeda menginginkan pembentukan pemerintahan Islam di negara-negara mayoritas Muslim, termasuk Indonesia.
Penting untuk memahami esensi agama dengan baik dan benar. Beberapa orang mengatakan, “Agama adalah bencana”. Ada pula yang mengatakan, “Agama masih menjadi satu-satunya solusi bagi manusia”. Ada yang berpendapat bahwa agama tidak salah karena tergantung pada pemeluknya. Sedangkan orang kritis menyimpulkan bahwa mungkin ada yang salah dengan agama atau orang salah mengira tentang agama.
Ayu Kristina. Sekolah Pascasarjana Studi Agama dan Lintas Agama (CRCS) UGM
Referensi: Kimball, C. (2002). When Religion Becomes Evil. HarperCollins Canada.