al-Zastrouw*
Muhasabah Kebangsaan
Sudah tiga jumat pak Mijan tIdak mengikuti shalat Jumat di masjid. Bukan karena malas atau sengaja mengabaikan perintah agama. Pak Mijan justru orang yang taat beribadah dan rajin menjalankan syariat agamanya, meski dia tergolong orang yang awam ilmu agama. Semua amal ibadah ini dilakukan sebagai wujud ketaatan pada ajaran agamanya. Selain itu juga karena dia merasa memperoleh ketentraman dan ketenangan hidup dari ibadah yang dia jalani. Agama bagi pak Mijan adalah tempat berteduh dan berserah diri mengjadapi kenyataan.
Namun akhir-akhir ini pak Mijan merasa tidak lagi memperoleh semua itu dari praktek beribadah yang dia jalani. Beberapa kali dia mengikuti pengajian di majlis taklim yang dia temukan justru keresahan dan kebingungan. Yang lebih membuat pak Mijan sedih, muncul sekat-sekat yang memisahkan antar sesama atas nama agama. Hubungan yang semula akrab dan bersahabat menjadi retak. Sikap yang ramah dan penuh kekeluargaan menjadi berjarak. Kehidupan seolah terbelah menjadi aku dan dia, kami dan mereka. Perasaan benci dan curiga pada kelompok lain yang berbeda faham keagamaan dan pilihan politik menyebar menjadi benteng pemisah antar sesama. Kehidupan sesama anak bangsa yang dulu rukun menjadi terkoyak dan retak. Dan sekat itu dirasakan pak Mijan makin lama makin tebal dengan jarak yang makin lebar.
Anehnya, semua ini terjadi karena ceramah agama yang disampaikan di majlis taklim dan di mimbar agama. Hampir semua majlis yang didatangi pak Mijan menyuarakan kebencian, caci maki dan penistaan pada kelompok lain yang berbeda dan hujatan pada pemerintah yang sedang berkuasa. Semua dilakukan atas nama amar makruf nahi mungkar. Alih-alih menjadi kritik dan tadzkiroh pada sesama, pak Mijan justru melihat ini sebagai ungkapan kemarahan, dendam dan kebencian yang dibungkus dengan ayat. Inilah yang membuat pak Mijan menjadi semakin resah.
Sebenarnya dia sudah berusaha bertahan dan mencoba menguatkan diri untuk mendengar semua itu. Tapi hatinya semakin berontak. Lebih-lebih ketika dia melihat banyak ummat yang terpengaruh oleh isi ceramah yang provokatif dan tidak mencerminkan ajaran dan etik agama.
Sebelum memutuskan tidak mengikuti shalat Jum”at dia pernah mencoba pindah masjid beberapa kali, mencari khatib yang bener-bener bisa menyejukkan, memyampaikan pesan agama dan kritik secara santun dan beretika. Tapi gagal, selalu saja dia menemukan khatib dan penceramah yang meteri dan gaya ceramahnya sama. Hingga akhirnya dia memutuskan diri untuk tidak lagi mengikuti shalat Jum’at karena merasa mimbar jum’at sudah menjadi ajang caci maki, mengumpat, menebar kebencian dan permusuhan pada orang-orang yang tidak sefaham dan berbeda pilihan politik.
Sebagai orang awam pak Mijan tidak tahu apakah yang disampaikan para khotib di mimbar dan para penceramah di majlis taklim itu fitnah atau kebenaran. Adaikan itu suatu kebenaran dia merasa tidak layak disampaikan dengan cara seperti itu, apalagi jika itu suatu fitnah. Karena bagi pak Mijan cara-cara seperti itu justru bisa membuat agama menjadi sumber perpecahan dan keresahan ummat.
Keputusan pak Mijan tidak menjalankan sholat jumat ini diambil karena dia takut hatinya terkotori oleh rasa benci, prasangka dan amarah karena terprovokasi oleh ceramah agama dan materi khotbah. Daripada mendengarkan caci maki dan penggunaan ayat suci untuk mengumpat sesama, lebih baik dia tenang di rumah menjalankan sholat dhuhur sendiri.
Apa yang dialami pak Mijan merupakan cerminan dilema beragama di era post truth, dimana kebenaran ditentukan oleh selera atau emosi pribadi/kelompok dengan berbagai kepentingan politik yang melingkupinya. Dalam era post truth ini toritas seorang pakar bisa dinafikan, tergerus oleh euphoria dan emosi massa. Pemikiran dan pernyataan seorang ulama besar yang alim bisa dikalahkan oleh ceramah seseorang yang tidak memahami dasar2 bahasa arab sehingga keliru (atau bahkan tidak tahu) mentashrif dan tidak bisa membedakan bentuk kata jamak dan mufrad.
Era ini telah membuat orang-orang seperti pak Mijan menjadi terasing dan tejepit dalam dilema. Terjadi pergulatan batin dan tarik menarik antara menjalankan kewajiban ritual formal dalam beribadah atau menjaga hati dari pengaruh buruk yang disebarkan saat beribadah. Bisa jadi orang seperti pak Mijan ini banyak jumlahnya.
Kegelisahan pak Mijan dan keputusan sikapnya tidak mengikuti shalat jumat ini bisa menjadi bahan kajian menarik bagi para ulama, khususnya ahli fiqh. Bolehkan meninggalkan sholat jumat demi menghindari kemadlorotan diri? Bagaimana hukumnya khotbah dan ceramah yang penuh caci maki mengobarkan kenencian dan kemarahan? Apakah sah shalat jumat yang khotibnya memcaci maki, menebarkan kebencian dan fitnah?
Jawaban ini perlu diberikan agar pak Mijan dan orang2 yang senasib dengannya tidak terlalu lama terjebak dalam dilema. Dengan jawaban yang jelas mereka bisa kembali shalat jumat dengan hati tenang, atau terus sendiri menjalankan sholat dzuhur di hari Jumat dengan perasaan lega, karena tidak dianggap meninggalkan kewajiban.***