Tulisan ini dipicu oleh beberapa pertanyaan dari sebagian teman, saat ngobrol santai sambil ngopi di teras rumah.  Ada pertanyaan-pertanyaan yang  menggelitik muncul,  bagaimana kita mestinya berinteraksi dengan bangsa Jin? Bukankah mereka juga sama-sama makhluk Allah Swt? Bukankah mereka juga sama-sama diciptakan untuk beribadah kepadaNya? Haruskan kita memusuhi semua bangsa Jin? Padahal sebagian mereka juga ada yang baik, ada pula yang jahat? Bolehkan kita bangsa manusia menikah dengan jin yang baik misalnya?

Ternyata secara tanpa sengaja, penulis mendapati penjelasan menarik dalam kitab Ahkâmul  Marjân fi Ahkâm al-Jân karya  al-Qadli Nurunddin al-Busytaki dari ulama Madzhab Hanafi sebagaimana dikutip Imam al-Suyuthi dalam kitab al-Asybah wa al-Nazhâ`ir  hlm. 161-162.  Di sana ada diskursus menarik tentang isu pernikahan manusia dengan golongan Jin. Sebab ada sebagian kisah di dalam kitab tersebut bahwa ada seseorang  yang menikah dengan bangsa jin. Penulis juga mendapat informasi bahwa di Gunung Kidul ada seseorang yang menikah dengan bangsa Jin. Terlepas apakah kisah tersebut benar atau salah, yang jelas narasi kisah manusia menikah dengan jin  tersebut dicantumkan dalam kitab al-Asybah wa al-Nazha`ir.

Dalam al-Qur’an, setidaknya kata jinn  terulang  sebanyak 19 kali, bahkan ada satu surat khusus, yaitu Surat al-Jinn yang menceritakan tentang fenomena jin mendengarkan bacaan al-Qur’an di zaman Nabi Saw.  Ini memberi isyarat  bahwa al-Qur’an mengakui eksistensi  bangsa Jin. Secara umum  para ulama sepakat  bahwa bangsa jin itu  termasuk golongan mukallafun (kelompok yang dikenai beban syari’at). Mereka juga diperintahkan  untuk beribadah (Q.S. al-Dzariyat: 56). Dalam beberapa riwayat  hadis juga disebutkan bahwa ada sebagian jin yang ikut shalat berjama’ah dengan Nabi Saw.  Nabi Saw sendiri juga pernah membaca al-Qur’an dan didengarkan oleh bangsa jin. Bangsa Jin itu ada yang kafir ada yang beriman ( Q.S. Jin: 2 dan 11). Yang kafir kelak juga akan masuk neraka dan mereka yang  beriman juga akan masuk surga. Hanya bedanya, kata Imam al-Suyuthi dalam al-Asybah wa al-Nazha`ir   kelak di akhirat, manusia  bisa melihat Jin, sedangkan Jin tidak mampu melihat manusia.

Dalam sebagian hadis, penulis juga mendapati bahwa Nabi Saw melarang kita untuk berisitinjak  (cebok dari buang air kecil atau buang air besar) dengan menggunakan kotoran onta yang mengering, sebab kotoran tersebut murupakan makanan buat bangsa jin.

Dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata, Rasulullah Saw bersabda:” Janganlah kalian ber-istinjak (cebok  setelah buang air kecil dan air besar) dengan menggunakan kotoran onta dan tulang, karena keduanya merupakan bekal (makanan) saudara kalian dari bangsa jin. (H.R. al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, No. 18)

Dari situ, kita bisa mengambil pelajaran  bahwa Nabi Saw sedang mengajari  cara berinteraksi yang baik dengan bangsa jin. Beliau mengajari kita cara menghargai  bangsa jin, dengan tidak menjadikan makanan mereka (kotoran onta) untuk cebok. Pendek  kata, secara umum kita wajib berinteraksi dengan baik dengan bangsa jin yang baik. Kita tidak boleh mengganggu mereka (bangsa Jin), selagi mereka tidak mengganggu kita.  Tapi ingat, bahwa kita tidak boleh bekerja sama dengan bangsa Jin. Sebab umumnya bangsa Jin akan menjerumuskan manusis kepada jalan dosa dan kesesatan.

Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.  (Qs. Jin: [72]:6)

Lalu  bagaimana kalau manusia dan jin ingin menjalin  persaudaraan melalui pernikahan? Apakah  boleh manusia menikah dengan bangsa jin? Dalam hal ini memang ada seorang ulama yaitu `Imad ibn Yunus dalam Kitab Syarh al-Wajîz  mengatakan boleh.  Beliau  memang tidak memberi argumentasi mengapa nikah dengan bangsa jin boleh.  Mungkin saja asumsinya bahwa kedua makhluk tersebut memang memungkinkan bisa saling jatuh cinta. Keduanya juga sama-sama punya rasa cinta kasih dan punya naluri seks untuk kawin. Dalam hal ini penulis tidak setuju dengan pendapat tersebut. Sebab pendapat  itu memiliki banyak kelemahan dan banyak dikritik oleh para ulama, terutama dari kelompok madzahab Syafi`i. Bahwa kedua makhluk tersebut (manusia dan jin)  memang sama-sama mukallaf, tetapi  keduanya berbeda jenis. Manusia tercipta dari tanah, sedangkan jin tercipta dari api (Q.S. al-A`raf: 17 dan Shâd: 76). Oleh sebab itu, para ulama Madzab Syafi’i  berpendapat tidak boleh manusia menikah dengan golongan jin.

Ada beberapa sanggahan dan kritik yang dapat dikemukakan untuk menolak kebolehan manusia menikahi jin.  Pertama, bahwa  di dalam al-Qur’an, istri yang dijadikan Allah Swt sebagai pasangan buat manusia adalah istri yang sama-sama dari jenis golongan manusia, sebagaimana dalam Q.S. al-Nahl: 72, al-Syu`ara’: 11,  dan al- Rum: 21. Para mufassir menafsirkan  frasa min anfusikum  pada ayat-ayat tersebut  dengan pengertian min nau`ikum aw min jinsikum (dari  jenis golongan kalian).  Dengan demikian,  menikah dengan  yang berbeda jenis golongan makhluknya hukumnya tidak boleh. Kedua, ada  hadis Nabi Saw, bahwa beliau melarang  menikah dengan bangsa jin. Ketiga, dilihat dari teori tafsir maqashidi,  bahwa tujuan  menikah (maqâshid nikah) salah satunya, agar manusia berkembang biak untuk menjaga  keturunan dan generasi (hifz nasl). Apakah mungkin perkawinan manusia dan jin bisa melahirkan keturunan (nasl) yang baik? Bahkan, jika memang manusia menikah dengan jin, apakah mungkin terjadi hubungan  seks dengannya secara biologis? Mengingat strukur anatomi tubuh   jin  itu berbeda dengan manusia, sebab asal-usulnya juga berbeda.

Masih banyak problem yang didiskusikan para ulama, terkait dengan dampak  pernikahan manusia dengan jin. Misalnya, apakah ada kewajiban menghadirkan wali nikah dari golongan jin? Siapa yang menjadi saksi, apakah dari golongan jin atau manusia. Bagaimana pula misalnya, jika istri yang nota bene dari bangsa jin itu  berubah wujud menjadi sosok lain yang tidak biasa dikenali oleh suaminya. Lalu dia mengaku bahwa ia itu istrinya.  Bagaimana pula kalau terjadi nusyuz (pembangkangan istri dari bangsa jin), lalu dia kembali ke alam jin, dan lain sebagainya. Belum lagi urusan administrasi di KUA dan Undang-Undang pernikahan di Indonesia yang juga sangat ketat.  Pendek kata, ruwet dan problematik jika manusia menikah dengan bangsa jin. Untuk itu menikahlah Anda wahai kaum lelaki,  dengan perempuan sama-sama bangsa manusia. Sebab hal itu lebih dekat  untuk mewujudkan sakinah ma waddah dan rahmah, katimbang menikah dengan bangsa jin, yang jelas karakternya sangat berbeda dengan bangsa manusia.  Wa Allahu alam bis shawab.

Komentar