Suatu kali, saya bertanya kepada mahasiswa saya di kelas: andaikan saja kalian sakit keras, sampai harus dioperasi, apakah kalian mengizinkan saya mengoperasi kalian?”

“Tidak,” jawab mereka serempak.

“Lho, memangnya kenapa? Apa kalian tidak percaya saya? Saya ini dosen, sudah S2, punya banyak pengalaman. Kalian masih tidak percaya?”

“Tidak,” lagi-lagi mereka kompak menjawab. Beberapa sambil tersenyum.

“Tenang saja, saya bisa belajar secara otodidak kok. Saya bisa baca buku-buku kedokteran. Saya juga bisa menonton tutorial bedah/operasi di Youtube, barangkali ada. Atau saya juga bisa bertanya ke teman-teman saya yang mengerti soal kedokteran. Bagaimana?”

“Tetap tidak percaya, Pak,” celetuk salah seorang mahasiswa.

“Bapak bukan ahlinya,” celetuk yang lain.

“Buat kesehatan kok coba-coba,” tukas mahasiswa yang duduk di barisan belakang.

Saya tersenyum saja melihat reaksi mereka, “Oke, soal kesehatan kalian tidak berani coba-coba, tidak mau menyerahkan urusan kesehatan kepada orang yang bukan ahlinya. Maunya ditangani dokter, itupun kalau bisa dokter yang piawai, bukan yang kaleng-kaleng. Lalu bagaimana soal agama? Apakah kalian juga menerapkan standar yang sama?”

Sesaat kelas hening.

“Apakah ketika kalian mengikuti seorang tokoh dakwah di Instagram atau media sosial lainnya sudah diawali dengan memeriksa latar belakang tokoh itu? Menakar kedalaman ilmunya sehingga kemudian memutuskan untuk mengikutinya. Atau hanya karena mereka populer, punya banyak follower, postingan sering viral, lalu kalian latah mengikuti teman-teman untuk mem-follow tokoh tersebut?”

Kelas masih sunyi. Tapi, salah seorang mahasiswa memecah keheningan, “Harusnya kita memilih seorang yang jelas keilmuannya, Pak. Jelas track record-nya. Mestinya kita belajar agama kepada kiai atau ustadz yang ilmu dan akhlaknya tak diragukan lagi.”

Tiba-tiba satu kelas bertepuk tangan menyambut jawaban dari mahasiswa itu. Saya pun membenarkan jawaban itu. Jika untuk urusan kesehatan kita tidak main-main, harusnya begitu pula untuk urusan agama. Harus diserahkan kepada ahlinya.

Harus saya akui bahwa analogi kiai dan dokter ini bukan murni datang dari saya. Saya pernah membacanya di postingan seorang kawan. Tapi saya tak ingat betul siapa yang pertama kali mencetuskan permisalan ini. Hanya saja, bagi saya permisalan itu sangat bagus dan logis. Lebih-lebih untuk kita sampaikan kepada generasi Z yang amat karib dengan internet dan sosial media.

Hari ini, sebagaimana kita lihat, banyak yang bergeser karena kehadiran internet. Dulu orang belajar agama tidak mantap rasanya jika tidak ke pesantren. Kiai menjadi sumur ilmu yang tak kering-kering. Kini, sebagian orang merasa cukup dengan hanya belajar agama di internet.

Sebelum internet, orang-orang akan mendatangi kiai untuk bertanya hukum memilih kepala daerah non muslim, misalnya. Bagaimana sekarang? Mungkin masih ada yang tetap datang ke kiai, tapi boleh jadi lebih banyak yang langsung ambil smartphone lalu googling. Selesai sudah perkara. Padahal, Google adalah rimba raya yang jika tak hati-hati kita akan tersesat.

Sekali lagi, tidak ada yang salah dengan pemanfaatan internet. Namun demikian, saya mendadak teringat judul buku Tom Nichols yang belakangan sedang ramai diperbincangkan: Matinya Kepakaran. Jangan-jangan di era digital seperti ini, ketika informasi bak air bah membajiri kita, kepakaran tak lagi relevan? Toh semua sudah tersedia di Google.

Matinya kepakaran ini juga barangkali berpengaruh pada acara belajar agama masa kini. Kita patut khawatir, kiai-kiai dan orang-orang yang alim dalam urusan agama makin ditinggalkan karena orang-orang makin merasa semuanya sudah tersedia di internet. Jika ada yang lebih mudah, murah dan praktis kenapa harus pilih yang susah dan ribet? Begitu pikir mereka.

Pun begitu, semoga ketakutan saya ini hanya merupakan suatu kekhawatiran berlebihan yang tak akan pernah terjadi. Wallahu a’lam.

 

 

Komentar