Kalau kita ditanya, apakah ibadah puasa bisa mengantarkan seseorang menggapai takwa? Secara positif, kita semua akan menjawab pertanyaan ini dengan nada meyakinkan: Ya! Tetapi marilah kita rubah pertanyaannya sedikit saja. Apakah ibadah puasa yang kita laksanakan selama ini sudah membuat kita menjadi orang-orang yang bertakwa? Jawaban kita barangkali mulai ragu-ragu. Mau dijawab ya, tapi rasanya kita belum menemukan takwa. Kita belum bisa merasakan manisnya ibadah kepada Allah. Kita belum menemukan nikmatnya lapar dan dahaga secara spiritual. Ibadah-ibadah kita belum bisa menjaga kita dari maksiat secara utuh. Dan kita belum juga mendapatkan lezatnya khusyuk dalam bermunajat dengan Tuhan kita.
Namun mau dijawab belum, kenyataannya kita selalu berpuasa. Sudah seringkali kita bertemu dengan bulan Ramadhan. Setiap Ramadhan tiba kita selalu mengisinya dengan lapar dan dahaga. Kita hiasi malam-malamnya dengan senandung ayat-ayat Al-Quran dan shalat Tarawih secara berjamaah. Bahkan di akhir Ramadhan kita sempurnakan dengan i’tikaf serta ibadah-ibadah sunnah lainnya.
Kalau begitu kira-kira di mana masalahnya? Puasanya atau kita yang dalam melaksanakan ibadah puasa belum benar? Karena Al-Quran yang mengatakan bahwa puasa akan mengantarkan kita menjadi orang yang bertakwa. Sedangkan Al-Quran merupakan kalamullah yang mengandung kebenaran mutlak dan tidak tersentuh sedikit pun dengan kekeliruan, maka masalahnya terletak pada diri kita. Kita belum bisa menjalankan ibadah puasa dengan benar.
Ilustrasinya begini, bila kita diberi sebuah senjata super power yang mempunyai banyak kegunaan. Tapi dalam sentuhan tangan kita, senjata itu tidak bermanfaat, maka jangan salahkan senjatanya. Akan tetapi salahkan diri kita sendiri yang belum bisa menggunakannya dengan benar. Karena itu pada kesempatan ini mari kita bicarakan konsep-konsep berpuasa yang benar, dengan harapan kita akan meraih takwa dalam bulan yang agung ini.
Imam Ghazali, dalam kitabnya Ihya Ulumiddin, menyebutkan enam hal yang harus kita penuhi agar ibadah puasa kita sempurna dan membawa kita menjadi orang-orang yang muttaqin. Pertama, menahan pandangan mata dan tidak mengumbarnya pada hal-hal yang tercela dan dilarang, serta pada sesuatu yang dapat menyibukkan hati sehingga lalai dari mengingat Allah. Inilah yang pertama yakni menahan pandangan kedua mata dari segala hal yang mudarat. Menjaga pandangan seperti ini walaupun terlihat sederhana tapi akibatnya sangat besar. Ia akan memberi bekas pada hati dan melalaikan kita dari zikir, ingat kepada Allah.
Rasulullah Saw. mengingatkan kita semua dengan sebuah sabdanya:
أَلنَّظْرَةُ سَهْمُنْ مَسْمُوْمٌ مِنْ سِهَامِ إِبْلِسَ فَمَنْ تَرَكَهَا خَوْفَا مِنَ اللهِ أَتَاهُ الله إِيمَانَا يَجِدُ حَلَاوَتَهُ فِي قَلْبِهِ
“Pandangan itu merupakan anak panah beracun dari berbagai macam panah iblis. Siapa yang menahan pandangannya karena takut kepada Allah, niscaya dia akan merasakan manisnya iman di dalam hatinya” (HR. Al-Hakim).
Mungkin menahan pandangan mata ini terasa berat bagi kita yang masih remaja. Apalagi zaman sekarang di mana banyak para pemudi kita yang gemar memakai pakaian sangat mini dan menggoda setiap mata untuk menatapnya. Tapi di sinilah tantangannya. Kalau kita mampu menahan penglihatan mata kita dari hal yang terlarang tersebut, maka Rasulullah Saw menjanjikan bahwa Allah akan menuangkan perasaan manisnya iman dalam jiwa kita, “halaa watahu fi qolbih”.
Makanya bila kita selama ini belum merasakan manisnya iman dalam jiwa kita, padahal kita selalu mengerjakan shalat; Kita sudah rajin mengeluarkan sedekah; Kita pun rajin membaca Al-Quran dan sering berzikir. Kemungkinan besar ada sesuatu yang tertinggal, yaitu kita belum menjaga penglihatan mata kita dari hal-hal maksiat. Dalam konteks inilah, kita melihat betapa berbahayanya akibat yang ditimbulkan oleh pandangan mata. Bagaimana tidak berbahaya jika dampaknya akan membuat kita tidak pernah merasakan manisnya keimanan.
Kedua, menjaga lisan dari segala ucapan yang sia-sia, seperti berbohong, menggunjing, memfitnah, bertengkar mulut, dan membiasakan diam serta sibuk berzikir kepada Allah. Lisan ini memang ringan sepertinya, tapi berat menjaganya. Mudah mengucapkannya, namun sulit mengendalikannya. Sampai-sampai Rasulullah Saw mengingatkan kita yang berpuasa untuk berdiam diri dan tidak membalas walaupun ada orang yang mencaci maki kita.
وَإِنْ سَابَكَ أَحَدٌ أَوْجَهِلَ عَلَيْكَ فَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ إِنِّي صَائِمٌ
“Apabila seseorang memakimu atau berbuat kurang ajar kepadamu, maka ucapkanlah: sungguh aku sedang berpuasa, aku sedang berpuasa” (HR. Ibnu Majah).
Rasulullah Saw melarang kita untuk membalasnya, karena secara psikologis orang yang sedang berpuasa itu sensitivitasnya tinggi. Mudah sekali terpancing emosinya. Sehingga dikhawatirkan akan terjadi pertengkaran yang menyebabkan batalnya puasa yang kita jalani.
Di samping itu, menjaga lisan kita dari menggunjing orang lain. Lebih-lebih jika hal ini sudah menjadi kebiasaan, tentu sulit dalam menjaganya. Padahal menggunjing dapat membatalkan substansi ibadah puasa yang sedang kita jalani. Secara jasmaniah, mungkin puasa kita tidak batal, tetapi secara ruhaniah puasa kita batal. Artinya kita tidak mendapatkan sedikit pun pahala puasa, justru mendapatkan dosa.
Dalam sebuah riwayat, di zaman Rasul saw ada dua orang perempuan yang sangat kepayahan dalam menjalani ibadah puasa. Mereka berdua sangat lapar dan kehausan, sampai lemah lunglai tubuhnya. Lalu kedua perempuan ini menghadap Rasulullah Saw dan meminta izin untuk berbuka (putus ruasa). Tapi di luar dugaan, beliau justru mengmbil mangkok dan menyuruh kedua perempuan itu muntah. Seketika itu juga, keduanya memuntahkan darah segar dan daging yang berbau busuk hingga memenuhi mangkok itu.
Ketika orang-orang yang menyaksikan peristiwa tersebut merasa heran, maka beliau menjelaskan bahwa kedua perempuan itu berpuasa dari apa yang dihalalkan Allah namun mereka membatalkan puasanya dengan sesuatu yang diharamkan oleh Allah. Mereka duduk-duduk sambil menggunjing, memperbincangkan kejelekan-kejelekan manusia. “Keduanya menggunjing manusia, inilah daging mereka yang dimakan oleh keduanya” (HR. Imam Ahmad).
Ketiga, menahan pendengaran telinga kita dari segala sesuatu yang dilarang. Alasannya, sebagaimana kita dilarang untuk mengatakan sesuatu yang terlarang, kita pun dilarang untuk mendengarkan segala hal yang terlarang. Kata Imam Ghazali:
لأن كلّ ما حرم قوْله حرم اْلإصْغاء إليْه
“Karena segala sesuatu yang haram untuk dikatakan, maka haram pula untuk didengarkan”.
Sementara Rasulullah Saw menegaskan: “Orang yang menggunjing dan orang yang mendengarkan itu sama dalam derajat dosanya.”
Keempat, menjaga seluruh anggota tubuh yang lain dari perbuatan maksiat. Menjaga perut kita dari makanan yang haram saat berbuka puasa. Kita jaga kedua tangan ini dari menganiaya dan memukul orang lain atau mengambil barang yang bukan milik kita. Serta menjaga kedua kaki kita dari menginjak-injak hak orang lain atau melangkah ke tempat-tempat maksiat.
Kelima, hendaklah kita tidak memperbanyak makan makanan yang halal pada waktu berbuka puasa. Syarat yang kelima ini kelihatannya sederhana, tapi amat penting sekali. Mengapa demikian? Supaya rasa lapar dan haus yang kita rasakan seharian penuh jangan langsung tertutup oleh rasa kenyang yang berlebihan. Agar kelemahan dan ketidakberdayaan yang kita rasakan pada siang dan sore hari tidak langsung hilang berganti dengan kekuatan setelah diisi dengan makanan yang terlalu banyak.
Lapar dan dahaga yang kita rasakan adalah sarana yang mengantarkan kita mengenal hakikat kelemahan kita. Selanjutnya, dengan ketidakberdayaan yang kita rasakan ini akan membuat kita menyadari kafakiran dan kebutuhan kita kepada Allah. Dari sini, sebagai konsekuensi akhirnya akan mengantarkan kita mengenal siapa Tuhan kita. Pada saat itulah kita memahami dan merasakan makna sebuah ungkapan:
مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ
“Siapa yang telah mengenal dirinya, maka sesungguhnya dia telah mengenal Tuhannya”.
Mengenal diri sendiri di sini adalah memahami kelemahan dan ketidakberdayaan kita di hadapan Allah. Merasakan sepenuh jiwa kebutuhan dan kehinaan kita kepada Allah. Dalam kondisi seperti ini kita akan mengadu kepada Allah Yang Maha Kuat Lagi Maha Perkasa. Kita akan melabuhkan sejuta keluhan kepada Tuhan kita Yang Maha Mulia Lagi Maha Sempurna. Di sana kita menemukan kesejatian diri kita. Bahwa diri kita ini hakikatnya lemah dan Allahlah Yang Maha Kuat. Bahwa kita ini sesungguhnya tidak berdaya dan Allahlah Yang Maha Perkasa. Bahwa kita ini sebenarnya hina dina dan Allahlah Yang Maha Mulia.
Keenam, setelah berbuka puasa, hendaklah hati kita selalu berada di antara cemas dan harapan. Khawatir kita, kalau ibadah puasa kita tidak diterima oleh Allah. Takut kita, barangkali ibadah puasa kita banyak tercampuri maksiat sehingga ditolak oleh Allah. Resah kita, jangan-jangan ibadah puasa kita tidak ikhlas semata-mata karena Allah, sebab hakikatnya kita tidak tahu apakah ibadah puasa kita diterima oleh Allah atau tidak.
Memang betul, syarat diterimanya ibadah adalah benar secara syariat dan ikhlas karena Allah. Mungkin menurut pandangan kita sudah benar secara syariat dan kita merasakan ibadah kita sudah ikhlas karena Allah. Tapi bagaimana dalam penglihatan Allah. Belum tentu. Mungkin dalam puasa kita terselip riya yang tersembunyi. Dalam menjalankan puasa kita belum benar-benar lillahita’ala, masih ada motif-motif lain yang terpendam dalam hati kita. Padahal semua ini telanjang dalam penglihatan Allah. Dari sisi ini, kita semestinya takut kalau-kalau ibadah puasa kita tidak diterima oleh Allah.
Namun kita jangan tenggelam dalam samudera keputusasaan. Kita tidak boleh larut dalam gelapnya kabut pesimisme. Bila Allah Maha Adil dan Maha Teliti, maka Allah juga Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Bahkan kasih sayang Allah mendahului murka-Nya:
إِنَّ رَحْمَتِي سَبَقَتْ غَضَبِي
“Sesungguhnya Rahmat-Ku mendahului kemurkaan-Ku”.
Dari perspektif ini, kita seharusnya optimis, melabuhkan semesta harapan kepada Allah Yang Maha Welasasih. Itulah enam syarat yang diformulasikan Imam Ghazali agar ibadah puasa kita bisa menjadi sempurna. Keenam syarat ini hendaknya kita jadikan cermin untuk ibadah-ibadah puasa kita yang telah lalu. Bila ibadah puasa yang kita jalani selama ini belum juga membuat kita menemukan makna takwa yang sebenarnya dalam kehidupan, mungkin keenam syarat ini belum kita laksanakan dengan baik.
Memang kita sudah berpuasa pada bulan-bulan Ramadhan yang lalu. Tapi mungkin kita belum mempuasakan anggota tubuh kita dari hal-hal yang dilarang oleh Allah. Kita belum menjaga kedua mata kita dari dari sesuatu yang mungkarot. Kita belum memelihara kedua kaki kita dari tempat-tempat maksiat. Kita belum mengendalikan kedua tangan kita dari merampas hak-hak orang lain.
Besar kemungkinan kita sudah menahan rasa lapar dan dahaga pada bulan-bulan Ramadhan yang telah lalu. Tapi barangkali kita belum menjaga lisan kita dari membicarakan hal-hal yang terlarang. Kita belum menahan lidah kita dari membuka aib orang lain. Kita buka keburukan-keburukan saudara kita sesama Muslim. Kita caci maki dengan sumpah serapah orang-orang yang berbeda paham dengan kita. Atau mungkin kita sudah merasakan kelemahan dan ketidakberdayaan kita di siang hari. Tapi kelemahan dan ketidakberdayaan itu segera kita tutup dengan makanan dan minuman yang berlebih-lebihan saat berbuka puasa.
Kalau demikian yang selalu kita kerjakan dalam menjalankan ibadah-ibadah puasa kita selama ini sebelumnya, maka wajar bila kita belum juga menemukan makna takwa yang hakiki dalam kehidupan ini. Oleh karena itu, setelah mengetahui semua ini mari kita praktekkan keenam syarat ini supaya ibadah kita bisa sempurna.
Jika keenam syarat yang disarankan Imam Ghazali ini kita laksanakan, maka kita akan menemukan takwa tidak hanya dalam bulan Ramadhan, tapi juga dalam kehidupan kita sehari-hari setelah Ramadhan. Semoga Allah, Al-Qawiy Tuhan Yang Maha Kuat, memberi kekuatan kepada kita secara jasmani dan ruhani dalam mengaplikasikan keenam syarat ini supaya ibadah puasa kita sempurna sehingga kita bisa menemukan makna takwa secara hakiki. Amin ya Arhamar Rahimiin.