Baru-baru ini ada usulan dari seorang pejabat tinggi negeri untuk memotong gaji ASN guna menyelesaikan krisis ekonomi di Indonesia akibat penyebaran virus Covid-19.
Usulan ini mengingatkan saya tentang krisis besar yang dilanda umat Islam di abad-13. Pada waktu itu Umat Islam berada dipuncak derita akibat serangan pasukan Mongol ke Asia Barat Daya (Timur Tengah sekarang). Dinasti Abbasiyah jatuh dan berakhir. Kerajaan kerajaan kecil di Syria, Palestina, dan lainnya memilih menyerah daripada mendapat serangan yang kejam dari tentara-tentara Mongol yang buas.
Di masa yang sama, serangan Mongol ke atas bumi Syam telah memutuskan kontak antara Mesir dan Syam. Tiada hubungan di antara keduanya. Mesir juga tidak mendapat bantuan dari Sudan dan negara-negara di utara Afrika. Ini menjadikan Mesir seolah-olah sendirian di tengah-tengah krisis yang terjadi di seluruh negara Islam.
Keadaan menjadi semakin buruk apabila Mesir juga pada masa itu ditimpa krisis ekonomi. Perang Salib yang terjadi sebelum itu telah melumpuhkan ekonomi Mesir. sebagian dari lokasi perang salib adalah di bumi Mesir. Tentara Mesir juga adalah Tentara yang banyak terlibat di dalam perang salib yang terjadi di tempat lain. Shalahudin Ayubi menjadikan Mesir sebagai salah satu benteng pertahanannya.
Disamping sebagian Tentara Salib yang masih ada di bumi Islam, masalah ditambah lagi dengan kedatangan musuh baru Islam yaitu Mongol.
Setelah kedatangan pasukan Mongol, Quthuz melakukan kudeta dan merebut kekuasaan dari tangan Al-Mansur Ali. Quthuz menaiki tahta Mesir. Nama Asli Quthuz ialah Mahmud bin Mahmud. Mongol menjuluki Mahmud dengan nama Mongol, yaitu Quthuz, yang berarti “Singa Yang Menyalak”.
Sebelum beliau menaiki tahta Mesir, Serangan Mongol yang mengkibatkan kejatuhan Baghdad (1258 M) telah pun terjadi dan meninggalkan kesan yang amat parah kepada umat Islam di luar Mesir. Selepas Quthuz menaiki tahta Mesir pula, Halab dan Damsyik jatuh ke tangan Mongol. Hal ini menjadikan keadaan di luar Mesir bertambah gawat. Kejatuhan Palestina keseluruhannya juga terjadi pada masa yang sama. Mesir berbatasan dengan Palestina di sebelah timur Mesir pada Kota Gaza.
Demikianlah kita melihat Quthuz terbebani dengan satu masalah yang cukup berat. Sasaran Mongol seterusnya adalah Mesir sedangkan Mesir tidak bersedia untuk menambah masalah baru disamping masalah-masalah internal dan eksternal yang sudah ada. Sikap yang ditunjukkan oleh Quthuz amat membanggakan umat Islam pada ketika itu. Sikap itu terus menerus menjadi puncak kepada keagungannya pada pandangan mata umat sepanjang zaman. Quthuz mengambil keputusan untuk menghadapi Mongol dan tidak akan lari sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian umat Islam.
Dia juga mengambil sikap tidak akan mengulurkan perdamaian kepada Mongol sebagai mana yang menjadi pilihan sebagian raja-raja Islam ketika itu.
Nah, dalam situasi Mesir yang mengalami krisis ekonomi ini, Quthuz mengharapkan ada bantuan dana dari masyarakat Mesir untuk biaya perang. Untuk memungut biaya dari masyarakat tentu tidak mudah, karena sebelumnya pungutan untuk kaum muslimin hanya berupa zakat. Itu pun hanya untuk mereka yang berhak, sebagaimana ditetapkan dalam Al-Qur’an.
Pembiayaan perang yang tidak sedikit menjadi masalah ketika itu, dibutuhkan biaya besar untuk perbaikan benteng, renovasi jembatan, penyediaan peralatan perang dan logistik. Quthuz mengumpulkan para menteri negara untuk bermusyawarah. Kas negara betul-betul tidak mencukupi maka pilihan yang ada adalah menarik dana dari rakyat dan harus dilakukan dengan segera. Tetapi Quthuz memerlukan dukungan para ulama untuk mengeluarkan fatwa. Tanpa fatwa Quthuz tidak akan melakukannya. Umat Islam di Mesir saat itu tidak mengenal pungutan selain hanya zakat.
Di antara yang dipanggil ketika itu adalah seorang ulama yang bernama Syaikh al-Izz bin Abdus Salam yang telah sepuh berumur 81 tahun dan terkenal karena ketegasannya. Beliau mengeluarkan fatwa yang cukup tegas:
“Apabila negara diserang musuh, maka wajib atas dunia Islam untuk memerangi musuh itu. Harus diambil dari rakyatnya harta mereka untuk membantu peperangan dengan syarat bila tidak ada aset yang tersimpan di dalam Baitul Mal. Maka setiap kalian (penyelenggara pemerintahan) hendaklah menjual seluruh aset yang dimiliki dan tinggalkan untuk diri kalian hanya kuda dan senjata saja. Kalian dan seluruh rakyat adalah sama di dalam masalah ini. Adapun tentang mengambil harta rakyat sementara pimpinan tentara masih memiliki harta dan peralatan mewah, maka penarikan harta rakyat tidak menjadi keharusan.”
Fatwa yang cukup tegas ini disambut dengan ketegasan Quthuz pula. Beliau menginstruksikan agar semua pembesar dan pimpinan perang menyerahkan seluruh aset yang mereka miliki sesuai fatwa tersebut. Hasilnya, Mesir menjadi negara yang kaya. Penyerahan harta oleh para pembesar dan pimpinan diikuti pula secara serempak oleh seluruh rakyat. Mereka menyumbangkan harta untuk memenuhi tuntutan pembiayaan perang. Fatwa Al-Izz bin Abdis Salam sangat ampuh menyelesaikan masalah keuangan dengan segera.
Singkat cerita Quthuz dan pasukannya akhirnya memenangkan pertempuran yang sangat dramatis di ‘Ain Jalut (1260 M.) yang mengusir penjajahan Mongol dari bumi Islam untuk selama-lamanya.
Nah. Beranikah pemimpin negeri ini menggunakan Fatwa Sulthanul-Ulama Al-Izz bin Abdus Salam di atas untuk menyelamatkan Indonesia dari krisis ekonomi akibat Pandemi Covid-19?