Islamsantun.org – Saya termasuk kaum yang tidak suka dengan pertanyaan: Dia agamanya apa? Agamamu apa? Tapi begitu, tidak semua pertanyaan seputar agama apa yang dianut seseorang bernuansa intoleran, belum tentu bermotif intervensi. Belum mesti si penanya merasa agama yang dianutnya paling baik, paling benar, paling unggul. Pertanyaan “Agamanya apa” yang tidak saya suka adalah pertanyaan yang bernada sinis, bernuansa SARA, atau bermotif menyelidik dengan tujuan mengukuhkan bahwa agama si penanya paling baik, paling benar, paling unggul.
Setiap kata-kata punya konteksnya. Kata-kata yang sama dapat melahirkan makna dan kesan yang berbeda setelah kita paham konteks dan “setting” masing-masing yang melingkupinya. Ini hal penting yang harus kita pahami sebelum menghukumi, perkara serius yang harus kita pedomani sebelum melontarkan penghakiman. Setara dengan ini, keharusan kita “mengunyah” masalah secara tuntas. Jika yang sampai ke kita berupa potongan video, tahan dulu dari melontarkan “fatwa” atas apa yang tersaji dalam penggalan rekaman. Cari tahu dulu dari mana sumbernya, jika ternyata itu bagian dari rekaman berdurasi panjang, simak sesabar mungkin dari awal hingga akhir agar kita paham alur pembicaraan dan konteks serta berbagai instrumen yang melingkupinya. Pun demikian tatkala kita baca berita. Jangan berhenti di judul saja. Jangan terpancing menghakimi hanya dengan berbekal headline-nya semata.
Yang sedang cukup hangat pertanyaan Gus Miftah ke Farel Prayoga: “Agamamu opo to Le?” Di antara mereka yang merasa paling toleran, yang merasa paling nasionalis, paling terbuka, paling merawat nilai-nilai kerukunan dalam kebhinekaan; di antara mereka ada yang langsung “menyambar” pertanyaan Gus Miftah itu sambil memojokkan Gus Miftah sebagai bawel, kepo, tidak toleran, tidak pro kebhinekaan, dan sebangsa itu, yang intinya menyerang Gus Miftah sebagai “intervensi” dengan pertanyaan itu lantaran menyangkut salah-satu hal paling privasi dari seseorang, yakni agama.
Pertanyaan Gus Miftah itu ia sampaikan dalam satu pengajian di Banyuwangi dengan Bintang Tamu Farel Prayoga. Pengajian ini dapat kita simak rekamannya antara lain di Channel Yt: Btd Channel dengan durasi 1:18:41. Satu jam delapan belas menit empat puluh satu detik. Dialog Gus Miftah dengan Farel soal agama yang dianut Farel bisa kita tonton di menit 41. Sebelum bertanya, Gus Miftah membaca secarik kertas yang disodorkan Panitia: “Mohon izin Abah. Info dari Panitia, Mas Farel non-Muslim.” Segera setelah membaca itu, Gus Miftah langsung bertanya pada Farel: “Kamu non-Muslim ta Le?” Belum sempat Farel menjawab, Gus Miftah sudah duluan berkata:”Wes rapopo…” Setelah itu Gus Miftah bertanya lagi: “Agamamu opo to Le” Hingga di sini kita melihat Farel cukup “dewasa” dalam menjawab pertanyaan Gus Miftah dengan bilang: “Mbuh…privasi…!”
Sayangnya, mereka yang “malas” nonton video lengkapnya, meski mereka mengaku paling toleran, paling cinta akan keragaman, paling merasa merawat kerukunan; sayangnya hanya mencomot bagian: “Kamu non-Muslim to Le….Agamamu opo to Le,” dan jawaban “cerdas” Farel: “Mbuh…privasi.” Harusnya mereka nonton full tayangan videonya. Kalau dalam channel Yt yang saya sebut di atas, paling tidak seharusnya mereka menonton tayangan awal-mula dialog Gus Miftah dan Farel yang tidak dimulai di menit 41 melainkan mundur ke menit 33.
Di sana, setelah Gus Miftah memberi taushiyah Maulid, ia memanggil Farel dan memintanya berdiri di samping Gus Miftah yang duduk di kursi. Gus Miftah bicara ke Farel layaknya orangtua ke anaknya, seperti umumnya penceramah agama ke anak-anak seusia Farel. Gus Miftah mengingatkan Farel meski sudah jadi orang terkenal untuk tetap sekolah. Gus Miftah lanjut bertanya apakah Farel sudah mengaji, sudah juz berapa. Farel, setengah berbisik ke Gus Miftah, menjawab ia tidak mengaji. Dengan nada dan gaya bercanda Gus Miftah berkata: “Lha kok nggak ngaji ini bagaimana?” Meski begitu, Gus Miftah mendoakan Farel jadi artis terkenal, artis top internasional. Jemaah mengamini doa Gus Miftah. Gus Miftah masih lanjut bertanya soal cita-cita Farel. Farel bilang ingin jadi pilot. Gus Miftah mendoakan cita-cita Farel terkabul. Jemaah lagi-lagi mengamini.
Selanjutnya Gus Mifta tanya ke Farel apakah bisa shalawatan. Farel jawab bisa. Farel pun melantunkan shalawat. “Shalallah ‘ala Muhammad…shalallah ‘alaihi wa salam…” Suaranya merdu sekali. Setelah itu, seseorang memberi Gus Miftah secarik kertas yang isinya sudah saya singgung di atas, yakni memberitahu bahwa Farel itu non-Muslim. Kontan Gus Miftah bertanya dengan motif murni ingin tahu: “Kamu non-Muslim to Le….Agamamu opo to Le.” Tidak terdengar nada intervensi, tidak terlihat bahasa tubuh merendahkan agama lain. Ketika Farel tidak mau menjawab agamanya apa, Gus Miftah bilang begini: “Ndak apa-apa…apa pun agamamu kamu harus taat beribadah sesuai kepercayaanmu. Jadi, umpama kamu Kristen ya berangkatlah ke gereja, umpama kamu Buddha ya berangkat ke vihara. Karena Indonesia semua agama dilindungi oleh Negara. Apa pun agamamu, jadilah hamba yang taat.” Bahkan kata-kata ini: “Apa pun agamamu, jadilah hamba yang taat” diulang-ulang Gus Miftah.
Tak terlihat perubahan raut muka Gus Miftah setelah ia tahu Farel non-Muslim. Tetap ceria, tetap “heboh”, bahkan sempat berseru: “Tepuk tangan untuk toleransi!” Jadi, tidak semua pertanyaan: “Agamamu apa?” bisa diartikan merendahkan agama lain. Jiga kamu mendapatkan pertanyaan itu dari potongan video misalnya, tonton lengkap videonya dari awal sampai akhir. Intinya, pahami segala sesuatu secara tuntas; kapan, di mana, tentang apa, tentang siapa, dalam hal apa, dalam konteks seperti apa. Jangan “maen samber” saja..!
Wahai kalian yang mengaku paling toleran, mengapa kalian penggal dialog Gus Miftah dengan Farel hanya bagian pertanyaan Gus Miftah: “Agamamu apa to Le?” dan jawaban Farel: “Mbuh…privasi!” saja? Mengapa kata-kata Gus Miftah yang diulangnya sampai tiga kali: “Apa pun agamamu, jadilah hamba yang taat” tidak kalian tayangkan, tidak kalian tunjukkan? Mengapa teriakan Gus Miftah: “Tepuk tangan untuk toleransi” tidak kalian munculkan?
Jangan sewot dulu kalau saya tanya agamamu apa. Saya tanya begitu, nanti setelah saya tahu agamamu Kristen misalnya, saya akan mengucapkan Selamat Natal dan hari-hari besar lainnya dalam agamamu. Saya akan ikut suka cita sebagaimana kamu merayakannya. Jika ternyata kamu tidak beragama, atau bahkan tidak bertuhan sekali pun, saya akan tetap memandangmu sebagai saudara dalam kemanusiaan. Jadi, dalam hal ini dengan tegas saya bersama dan membela Gus Miftah.