يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (Al-Baqarah (2): 183).

Ketika bulan Ramadhan tiba, ayat di atas menjadi ayat paling laris dan sering banyak dibaca oleh para ustadz, khatib, pengisi kultum, termasuk penulis esai seperti ini.

Dengan ayat ini, sebagian besar dari mereka menyerukan perintah puasa di bulan Ramadhan. Tak sedikit pula yang menjelaskan keutamaan puasa dan balasan-balasan pahala yang diterima bagi seorang yang berpuasa.

Ayat di atas memang perlu kita resapi dan dalami kandungannya. Jangan sampai setelah banyak orang melafalkannya, sehingga hilang kandungan makna esensialnya. Ayat di atas dimulai dari seruan kepada orang-orang yang beriman untuk melakukan puasa sebagaimana diperintahkan pula kepada umat-umat terdahulu sebelum umat Muhammad yang tujuannya adalah agar menjadi orang yang bertaqwa.

Banyak hal yang dapat dijelaskan dari ayat ini, namun yang menjadi point dalam tulisan ini adalah perintah untuk berpuasa di bulan Ramadhan ini hanya bagi orang yang beriman.

Iman sendiri diartikan dengan tashdiqun bi al-qalbi wa taqrir bi al-lisan wa al-‘amalu bi al-arkan (Keyakinan di dalam hati diucapkan dengan lisan dan diamalkan dengan anggota badan). Sehingga dalam hal ini, syarat orang mengerjakan puasa adalah keyakinan akan adanya Allah yang memerintahkan. Jika Allah yang perintah, maka Allah sendiri yang akan menjamin segala konsekuensinya. Setelah yakin di dalam hati, tahapan selanjutnya harus diucapkan dan dideklarasikan. Setelah itu, seharusnya orang yang mendeklarasikan diri sebagai orang yang beriman melakukan perbuatan baik sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah, salah satunya adalah puasa di bulan Ramadhan.

Jika iman adalah syarat melaksanakan puasa, maka kita tidak bisa lagi memaksa orang lain melakukannya. Karena iman berada pada wilayah kebutuhan individu masing-masing manusia. Allah sendiri memberikan kebebasan kepada manusia fa man sya’a fal yukmin, wa man sya’a fal yakfur (Q.S. 18: 29). Al-Qur’an sendiri menegaskan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama laa ikraha fi al-din Q.S (2: 256). Bahkan Nabi Muhammad hanya diperintahkan untuk menyampaikan apa-apa yang datang dari Allah, yang dalam hal ini Rasul pernah ditegur dalam Al-Qur’an dengan kalimat

“أَفَأَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّىٰ يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ”

Apakah kamu (Muhammad) hendak membenci manusia hingga mereka beriman?).

Berkaitan dengan hal tersebut, pada bulan Ramadhan sebelumnya banyak orang yang merasa ingin dihargai ketika puasa. Sehingga banyak yang memaksa warung-warung makan, cafe, dan sebagainya untuk menutupnya pada siang hari. Alasannya karena hal itu dapat mengganggu umat Islam yang sedang menjalankan ibadah puasa.

Tuntutan seperti itu agak berlebihan nampaknya, jika melihat pada syarat di atas. Sebab, seharusnya memang kita lah yang harus menghormati orang yang tidak puasa, bukan sebaliknya. Kitalah yang harus bertanggung jawab membuat situasi damai dan nyaman bai siapapun, sebagai imbas dari puasa yang kita jalankan. Karena memang tubuh kita sudah terprogram dari dalam hati dan fikiran untuk kuat menjalankan puasa, termasuk dari godaan apapun.

Maka tak heran jika almarhum K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah mengatakan bahwa “puncak spiritualitas tertinggi orang yang berpuasa adalah ketika ia menghormati orang lain yang tidak berpuasa”. Semoga bulan Ramadhan kali ini kita diberi kekuatan dan kedamaian untuk menjalankan puasa. Selamat berpuasa!.

 

Komentar