Idul Fitri yang tidak lama lagi akan kita jelang, sering disebut oleh para ‎dai dan penutur agama sebagai Hari Kemenangan. Kita pun seolah mengamini ‎apa yang disampaikan para dai dan penutur agama tersebut dalam ceramah-‎ceramah mereka.‎

Pertanyaannya, benarkah Hari Raya Idul Fitri merupakan Hari ‎Kemenangan? Kemenangan dari apa? Menang karena berhasil menjalankan ‎puasa selama satu bulan lamanya? Menang karena tak putus mengerjakan ‎shalat tarawih? Menang karena mengkhatamkan al-Qur’an? Menang karena ‎bersedekah dan membayar zakat? ‎

Jika pengertian kemenangan itu adalah sebatas apa yang saya ‎sebutkan tadi, betapa sederhana dan mudahnya makna kemenangan itu? ‎

Bukankah intensitas ibadah yang demikian semarak dan menggebu ‎hanya sebatas satu bulan itu saja, di antara sebelas bulan lainnya? Itu pun ‎jika benar-benar semangat ibadahnya tulus (ikhlas) lillahi ta’ala. Itu pun jika ‎puasanya tidak sekadar menahan lapar, dahaga dan berhubungan seks ‎dengan pasangan saja, tetapi memuasakan seluruh indera serta anggota ‎tubuh kita, bahkan yang lebih jauh lagi memuasakan segala rasa yang ‎bersumber dari keinginan-keinginan hati kita. Itu pun jika tarawihnya tidak ‎sekadar adu cepat atau adu lambat. Itu pun jika tadarus al-Qur’annya tidak ‎sekadar kejar setoran harus khatam sekian kali, tetapi memahami makna dan ‎kandungan serta menanamkan nilai-nilai Qur’ani dalam diri. Itu pun jika ‎sedekah dan zakatnya tidak disusupi riya atau ingin dianggap sebagai ‎dermawan, tetapi berangkat dari rasa empati dan kemanusiaan sebagai ‎sesama makhluk Tuhan.‎

Ramadan itu ibarat ‘kawah candradimuka’, tempat training spiritual dan ‎sosial, yang diharapkan mampu membentuk karakter serta kepribadian ‎seorang muslim untuk menjadi mukmin kemudian selanjutnya mencapai ‎derajat muttaqin. Dan itu baru bisa dibuktikan hasilnya, ketika kelak alumni-‎alumni Ramadan itu keluar dari Ramadan menjadi manusia-manusia baru, ‎dengan kualitas pribadi yang baru, dengan tingkat kesalehan ritual dan sosial ‎yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Inilah menurut saya, makna ‎kemenangan sesungguhnya.‎

Tetapi jika sebaliknya, ketika di bulan suci Ramadan kita tampak begitu ‎khusyuk beribadah: puasa di siang hari, qiyam al-lail di malam hari, ditambah ‎lagi dengan tadarus al-Qur’an yang begitu intens, sedekah dan zakat yang ‎dikeluarkan dalam jumlah yang banyak, tetapi begitu memasuki bulan ‎syawwal, yang makna literalnya adalah ‘peningkatan’, juga bulan-bulan ‎selanjutnya justru mengalami penurunan kualitas dan kuantitas ibadah, maka ‎alih-alih mendapat kemenangan, justru kita sedang mengalami kekalahan.‎

Tidak perlu jauh-jauh menunjuk orang lain. Lihatlah diri kita sendiri, ‎apakah kualitas dan kuantitas ibadah kita jauh lebih baik di bulan-bulan selain ‎Ramadan ataukah justru ghirah atau semangat ibadah itu hanya tampak di ‎bulan Ramadan saja? ‎

Apakah semangat kita untuk shalat berjamaah di bulan-bulan selain ‎Ramadan lebih baik atau minimal sama dengan ketika berada di bulan ‎Ramadan? ‎

Apakah tadarus al-Qur’an kita di hari-hari biasa di luar bulan Ramadan ‎begitu intens seperti ketika berada di bulan Ramadan, ataukah sebaliknya?‎

Apakah semangat kita untuk berbagi kebahagiaan dengan memberi ‎sedekah kepada kaum papa di luar bulan Ramadan, setinggi semangat kita ‎bersedekah ketika di bulan Ramadan, ataukah justru menurun? Dan sejumlah ‎pertanyaan lainnya yang bisa kita ajukan terkait dengan aktivitas ibadah ritual ‎dan sosial kita.‎

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi barometer ‎apakah kita memperoleh kemenangan ataukah justru mengalami kekalahan?‎

Idul Fitri adalah kembali kepada fitrah insaniyah, kembali kepada ‎kesucian seorang manusia, seperti ketika baru lahir. Tak ada setitik noda dan ‎dosa yang melekat di jiwa. Bersih, suci, murni. Inilah kemenangan.‎

Idul Fitri adalah menyatunya nilai-nilai kemanusiaan (nasut) dengan ‎nilai-nilai ketuhanan (lahut). Manusia yang memperoleh kemenangan adalah ‎mereka yang di dalam dirinya menyatu antara nilai-nilai kemanusiaan dan ‎nilai-nilai ketuhanan sekaligus. Inilah makna kemenangan yang ‎sesungguhnya.‎

Jika pascaramadan justru nilai-nilai kemanusiaan kita kembali terjun ‎bebas ke titik nadir, dan nilai-nilai ketuhanan dalam diri kita semakin tak ‎tampak, masih pantaskah kita menyebut bahwa kita memperoleh ‎kemenangan? Mari sama-sama kita renungkan.‎

* Ruang Inspirasi, Sabtu, 30 April 2022.

Komentar